Hanya Aku dan Alam
- U-Report
VIVA.co.id – Hujan deras. Tak apa menangis, bahkan langit pun menangis. Aku takut akan kehilangan, bukankah hilang adalah simbol lain dari kepedihan? Kehilangan hanya akan menimbulkan kesadaran. Rasa mengikhlaskan yang sering kali ditampar oleh kebencian. Kehilangan sangat menyakitkan. Sebelum kehilangan, hendaklah kita menghargai anugerah sebelum semua itu musnah tak berbekas.
Lagi, tak jarang tamparan kebencian melemparku ke masa lalu. Menusuk bagian hati terdalam. Terngiang perkataan ibu, “Apa yang kau tangisi? Kehilangan atas dirinya? Untuk apa?” Saat itu aku hanya membalas dengan emosi. Sekarang aku tersadar, perkataan ibu adalah sebuah pelajaran. Dua hal yang paling menyakitkan di dunia ini, pertama kehilangan orangtua dan kedua adalah kehilangan orangtua. Hanya itu. Kehilangan orangtua adalah ketakutan yang paling nyata.
Di masa lalu, aku menangisi akan kepergian seorang pacar. Ajaran mendiang ibu kini terkuak. Aku tak menyangka akan secepat ini. Sekarang aku menyesal, setiap titik air mata yang pernah tumpah untuk seorang pacar ingin sekali aku kumpulkan untuk menyirami makam orangtuaku. Sekarang aku hampir sendiri, hanya Tuhan dan alam bersamaku. Tiupan angin sepoi-sepoi terkadang memaksaku menutup mata. Hujan deras dan sentuhan ajaib Tuhan terkadang mengingatkanku akan kisah lama. Seperti hari ini, hujan turun dan langit mengamuk, menumpahkan segala amarah dalam bentuk hujan tak berujung.
Lagi, aku terpaksa untuk menutup mata. Aku benci ketika harus menutup mata di kala hujan karena semua itu hanya akan memojokkanku pada ruang kepala. Tak jarang, dokumen menyakitkan itu kembali terhempas terbang ke seisi pikiran. Membuatku semakin percaya Engkau ada di sana. Sekejap, guntur membentur daratan, menarik kelopak mataku secara tak sopan. Membuat semua kembali nyata. Hal yang nyata saat ini adalah, orangtuaku telah pergi untuk selamanya.
Entahlah, aku pun tak pernah mengerti mengapa alam tak pernah mengajariku tentang sesuatu yang ada di belakang. Ia juga tak pernah menjelaskan mengapa manusia hanya sadar ketika semua sudah lepas. Bahkan tak pernah ada tertulis mengapa kehilangan selalu menyakitkan.
Sering kali aku berkelahi dengan matahari. Ia seolah-olah tersenyum setiap hari. Ia bersama awan yang tiap pagi menyeretku ke tanah lapang. Aku berteriak, menantang sang surya. “Mengapa engkau tersenyum? Apakah esok kau akan tertawa? Enyahlah kau, biarkan rembulan yang menjadi teman. Tidakkah kau mengerti ini semua? Tidak ada yang lucu dari kehilangan sesuatu yang dicinta.”
Tuhan, mengapa Engkau merebut kedua orangtuaku? Tuhan, mengapa aku tak pernah sanggup melewati ini semua? Jika cermin selalu memantulkan kejujuran, berarti inilah aku, terlihat kumuh! Tak pantas bila dikatakan rapih sedikit pun. Barusan, hujan deras di awal berhenti dan menyisakan pelangi. Kembali mengingatkan aku untuk kembali. Kembali menjadi yang dulu, melupakan yang berlalu. Aku harus kuat dan bangkit. Aku harus kuat melawan siksaan sakit.
Hujan deras ini mengajarkan banyak hal. Yang terpenting, aku sudah lepas. Lepas mengartikan sesuatu yang bebas. Kini, “bebas” itu mau bersamaku dengan satu syarat, kembali menjadi sosok yang ceria, tak kenal menyerah, dan menghapus semua ucapan keluh. Aku ingin terbang di tengah hujan, aku hanya ingin mencoba seberapa kuat aku menghadapi badai. Sehingga, ketika badai lain menyusul aku tidak akan jatuh.
Ayah, ibu, akan aku lewati semua badai di depan. Ini kan yang kalian mau? Bertahan dan terus berjalan, tak lagi menengok ke arah belakang. Yang sudah lalu biarlah tersapu. Aku tahu kalian adalah suatu anugerah yang datang. Terimakasih atas semua ajaran. Kini, aku bersama alam, bulan, bintang, matahari, awan, langit, dan Tuhan. Bersama mereka aku tak mengenal kepedihan.
Layaknya pagi tadi, ketika pelangi muncul setelah hujan deras. Aku telah melewati hujan deras di hidupku. Kini, giliran pelangi mengambil kemudi. Jika esok adalah sebuah rahasia, maka langkah hari ini, pagi ini, yang kau ambil adalah caramu untuk menerka. (Tulisan ini dikirim oleh Alexander)