Kado dari Langit

Kado Dari Langit
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Pagi yang cerah di hari lahirmu yang ke tujuh belas. Sweet seventeen, saat yang telah lama kau tunggu, sebuah masa kau merasa tak lagi belia. Sebuah momen kau merasa berhak diperlakukan layaknya remaja yang beranjak dewasa. Sekaligus sebuah tantangan untuk menjadi lebih baik lagi. Hari ini akan lebih spesial bila dirayakan dengan cara yang spesial pula.

Ya, kue tart yang di atasnya terdapat tujuh belas lilin menyala, dikelilingi orang-orang spesial, memejamkan mata, make a wish, membuka mata, lantas meniup lilin. Sederhana tapi berkesan. Lihatlah, wajah ovalmu dipenuhi keceriaan, rambut lurus sebahumu terkibas-kibas. Tubuhmu yang tinggi ramping berjalan riang, keluar kamar menuju ruang makan. Langkahmu tertahan ketika melewati dapur. Mama tampak sibuk mengerjakan sesuatu. “Pagi, mam!” sapamu sambil mengedarkan pandangan ke setiap sudut dapur.

Gunungan nasi kuning kokoh di atas baki besar, dihiasi lauk pauk dan lalapan, bikin lidahmu ngiler. “Pagi juga, sayang! Ceria sekali hari ini.” Mama balas menyapa. Tangannya tengah menggerakan mixer di atas adonan. Tampaknya ia sedang membuat kue. “Masak besar nih?” tanyamu senang. Jauh di lubuk hati, kau merasa terharu. Pagi-pagi mama sudah sibuk di dapur membuat nasi kuning dan kue-kue untuk merayakan ulang tahunmu. Mama memang is the best, pujimu dalam hati. “Ini pesanan dari ibu-ibu PKK untuk acara nanti sore.” jawab mama tetap fokus membuat adonan. Ia bahkan tak melirikmu, tak tahu jika raut wajahmu mendadak mendung. “Ooh!” ucapmu kecewa, lantas berlalu menuju meja makan.

Di sana tak ada siapa-siapa, pun tak ada apa-apa, hanya sepiring nasi goreng yang tergeletak lesu, menunggu kau menyantapnya. Satu piring lain di dekatnya tampak kosong. Papa pasti sudah lebih dulu sarapan. Kau menduga kalau ia harus ke kantor lebih awal. Benar saja, papa sudah siap berangkat. Ia berpamitan dengan mama, kemudian mendekatimu sambil menenteng sebuah bungkusan yang terkemas rapi.

Kadokah? Kira-kira apa isinya? Pertanyaan-pertanyan itu menggelitik hatimu. Jika dilihat dari bungkusnya yang mungil, kemungkinan tablet, i-pad, atau bisa juga powerbank, begitulah tebakan yang bersemayam di benakmu. Papa memang penuh kejutan. Tipe pria romantis. Wajar saja jika mama tergila-gila kepadanya. Selain tampan, papa juga penuh perhatian. Papa menyodorkan bungkusan tersebut kepadamu, “Berangkatnya mampir ke jasa pengiriman, kan jaraknya hanya beberapa meter dari sekolahmu. Tolong kirim ini, kilat khusus ya!” Kau menelan ludah. “Siska bisa telat, pap!” jawabmu. “Kantornya buka setengah tujuh, masih ada waktu,” bujuk papa.

Kau menerima bungkusan itu dengan wajah bersungut-sungut. “Ini uangnya, kembaliannya ambil saja.” Papa memberimu selembar uang lima puluh ribuan. “Jangan lupa, kilat khusus.” Kau mendengus kesal, bukan karena disuruh, namun karena di rumah ini tak ada yang ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunmu. Mama setali tiga uang dengan papa. Sepertinya mereka lupa, atau barangkali sedang menyiapkan surprise?

“Papa berangkat dulu, sayang.” Papa mengecup keningmu, kemudian keluar rumah. Dengan kesal kau menempatkan pantatmu di kursi meja makan. Nasi goreng kesukaanmu sudah tak menggugah selera lagi. Nafsu makanmu terampas harapan kosong, yaitu harapan akan ada perhatian kecil atas hari istimewamu. Kau tak habis pikir, kenapa mama dan papa tak ingat dengan peristiwa penting hari ini. Jika tahun-tahun sebelumnya mereka tak memberimu kado, atau bahkan tak pernah sama sekali, kau bisa memakluminya. Tahun-tahun sebelumnya mereka selalu mengucapkan selamat, memberi kecupan, juga memberi hadiah. Tapi mereka justru tak ingat di tahun yang paling spesial, sweet seventeen!

***

Sayup-sayup terdengar nada panggil dari ponselmu yang berada di atas meja belajar. Kau terlanjur malas melakukan sesuatu, bahkan sekadar untuk melirik layar, mencari tahu siapa yang menghubungimu. Ketakutanmu akhirnya terjadi, kau terlambat sampai di sekolah. Pintu gerbang sudah tertutup rapat setibanya di sana. Pak Yadi, satpam sekolah yang galaknya tak tertolong itu berdiri di balik pintu gerbang. Melihat kumis lebatnya saja sudah bikin siswa ngeper, apalagi melihat wajah garangnya. Posturnya lebih cocok menjadi centeng juragan beras daripada sebagai satpam sekolah. Matanya silih berganti menghunus lima anak, termasuk kau. Celakanya, cuma kau yang perempuan.

Ini semua gara-gara karyawan jasa pengiriman yang lemotnya tak bisa ditolerir. Mengurusi tiga pelanggan saja seperti mengurusi ratusan antrean pembagian sembako, kerjanya lamban, masih sempat-sempatnya memainkan ponsel lagi. Menjengkelkan! Ingin sekali kau menonjok wajahnya yang cengengesan itu. “Orang yang suka cengengesan memang enggak pernah beres kerjanya,” gerutumu dalam batin. Empat siswa kompak mendekati pintu gerbang dengan langkah gamang. Terpaksa kau mengekor. Tak ada pilihan selain tetap masuk sekolah, walaupun itu harus dilalui dengan hukuman berat.

Tidak mengikuti upacara bendera sanksinya lebih berat dari sekadar terlambat. Tidak mengikutinya tanpa ada keterangan akan dihukum melakukan upacara bendera sendiri. Semua tahapan dilakukan sendiri, dari mulai menyiapkan pasukan, mengibarkan bendera, menyanyikan lagu wajib, membaca pembukaan UUD 1945, membaca teks pancasila, sampai berpidato. Upacara seorang diri, menjadi peserta, berperan sebagai inspektur, juga petugas komponen upacara. Itu sangat memalukan ketimbang dijemur di bawah tiang bendera.

“Kalian baru saja menyulitkan diri sendiri!” hardik satpam sambil membuka pintu gerbang. Kau dan empat siswa lainnya hanya diam, tak berani memandang wajah angker itu. “Ikut saya ke lapangan!” Kalian pun menuruti perintah satpam, mengekornya sampai ke lapangan. Sampai di sana, upacara sedang berlangsung. Kalian disuruh berbaris di bawah tiang bendera dengan posisi menghadap seluruh peserta. Kini kau mengalami bagaimana rasanya menjadi pusat perhatian ratusan orang, ditertawakan, diolok-olok, belum lagi nanti setelahnya pasti menjadi bahan ledekan. Teriknya matahari masih belum seberapa daripada malu yang harus kau tanggung.

Sikap diam yang ditunjukkan oleh teman-teman se-gank kepadamu membuatmu bete. Nelly, teman sebangku yang biasanya ceriwis, seolah menganggapmu tak ada di sampingnya. Setiap kali ditanya, ia hanya mengedikkan bahu. Bahkan beberapa kali ia tak menanggapi ucapanmu. Wajah cute-nya berubah jutek saat melirik kepadamu.

Saat jam istirahat, Anto dan Yanti langsung keluar kelas, seperti malas berada di sampingmu. Andien yang tertinggal di dalam kelas, sikapnya lebih tak bersahabat dari Nelly. Saat kau bertanya tentang sikap aneh mereka, ia malah memasang muka geram. Alih-alih menjawab, ia meninggalkanmu begitu saja. Sejak jam pertama sampai sekarang, mereka seperti sedang menghukum tanpa memberi tahu letak kesalahanmu. Namun, kau berusaha berpikir positif, bisa saja mereka sedang menyiapkan sebuah kejutan. Kau merasa harus waspada jika tiba-tiba mereka menceplokkan telur di kepalamu, atau menaburkan tepung ke sekujur tubuhmu.

Bel tanda usai pelajaran berbunyi. Mereka kompak langsung keluar kelas. Kau hanya terpaku, masih belum tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan mereka. Satu per satu teman-teman sekelas meninggalkanmu. Tak ada satu pun yang mengucapkan selamat ulang tahun. Dengan gontai kau keluar kelas. Sepanjang koridor sudah mulai lengang, hanya beberapa yang masih tampak duduk-duduk. Sementara teman-teman se-gank-mu entah berada di mana.

***

Di sebuah belokan, tampak Anto dan Yanti sedang duduk bersebelahan, kelihatannya sedang menunggumu. Kau percepat langkahmu, menemui mereka. “Hai!” sapamu canggung. Anto mengangguk malas. Yanti menatapmu tajam. “Yang lain pada ke mana?” tanyamu. “Apa pedulimu?” tanya Yanti ketus. Sungguh ucapannya baru saja melukai perasaanmu. “Kalian kenapa sih? Sejak pagi sepertinya menghindar,” ujarmu parau. “Kamu egois! Tahu enggak?” tuduh Yanti marah. “Aku?” tanyamu bingung.

Kau menatap Anto, mencoba meminta penjelasan darinya. Hanya ia yang paling bijak di antara teman se-gank-mu. Sementara bicara dengan Yanti hanya akan menguras kesabaranmu. “Rahma kabur dari rumah,” ucap Anto pelan. Kau tercengang, sejak pagi kau bahkan tak menyadari kalau Rahma tak masuk sekolah. Pikiranmu habis terbuang percuma, mencari jawab atas sikap aneh teman-temanmu. Sekarang kau ingat, Sabtu sore Rahma meneleponmu, menceritakan semua masalah yang sedang dihadapinya. Malamnya, Anto mengabarkan bahwa Rahma mabuk berat di sebuah diskotek.

Sudah lama hubungan Rahma dengan orangtuanya tak akur, terutama dengan papanya yang sering main tangan. Mamanya tak bisa berbuat banyak, justru cenderung membela papanya. Kekerasan yang dialami Rahma membuatnya sering kabur. Itu membuat keadaan bertambah parah. Puncaknya ketika papanya tahu Rahma mabuk di diskotek. Ia dikurung di dalam kamar. Senin dini hari, Rahma mengirim sms ke teman-teman se-gank bahwa ia ingin mati saja. “Kenapa pagi tadi kau tak menjawab panggilan teleponku?” Kau menepuk jidatmu. Baru kau sadari ternyata panggilan telepon tadi pagi teramat penting.

Tiba-tiba kau mengutuk diri sendiri yang telah mengabaikannya. “Tadi aku ingin memintamu untuk ke rumah Rahma. Rumahmu kan paling dekat. Kami khawatir terjadi sesuatu sama dia. Kami berharap kehadiranmu bisa menenangkannya,” jelas Anto dengan nada menyalahkan. “Maafkan aku,” ucapmu penuh penyesalan. ”Maafmu tak bisa mencegah Rahma kabur dari rumah. Dia pergi bersama cowok enggak jelas yang ia kenal lewat media sosial,” kata Anto sedih. “Aku sungguh menyesal,” ucapmu sambil menahan isak.

Kau tak akan bisa memaafkan dirimu sendiri jika sampai terjadi sesuatu dengan Rahma. Kau tahu benar, gadis itu sangat rapuh dan mudah terpengaruh. “Penyesalanmu tak mengubah apa pun!” ucap Yanti marah, menatapmu kesal, lantas berlalu dari hadapanmu. Anto mencoba mengejarnya. Tinggal kamu seorang diri, terpaku memandang kepergian dua sahabatmu dengan penyesalan yang dalam.

Malam tak berbintang. Gelap menyelimuti langit, semuram wajahmu. Beberapa menit lagi hari spesialmu berlalu. Belum seorang pun mengucapkan selamat ulang tahun, sungguh sweet seventeen yang kelabu. Kau mengutuk diri sendiri, menganggap semua ini salahmu. Kau berpikir seandainya tadi pagi menjawab panggilan Anto mungkin tak ada masalah besar ini. Yang membuatmu tertekan adalah tak hanya kehilangan kenangan indah yang hanya ada sekali dalam hidupmu, tapi juga bisa kehilangan teman-teman terbaikmu.

Teleponmu bergetar. Pemanggil tak dikenal. Meskipun begitu kau tak akan mengabaikannya. Bisa saja itu panggilan penting. Cukup sekali saja kesalahan fatal kau lakukan. Bahkan kau tak peduli meski ternyata itu panggilan teror sekali pun. “Hallo.” sapamu. “Sis, maafkan aku sudah bikin kalian susah.” ucap seseorang dari seberang sana. “Rahma?” tanyamu setengah terpekik. “Kau di mana? Bagaimana keadaanmu?” tanyamu. “Aku di rumah. Tadinya aku akan pergi ke rumah nenek. Aku minta tolong seseorang untuk mengantarku, tapi dia malah menyarankanku untuk kembali saja ke rumah. Dia menasihatiku untuk bicara baik-baik dengan orangtuaku. Setelah kupikir-pikir, benar juga sarannya. Meskipun belum ada kesepahaman dengan orangtua, namun aku akan hadapi masalah ini. Sekarang aku sadar, seringkali Tuhan memberi hadiah terbungkus masalah, aku hanya perlu membuka bungkusnya,” jawab Rahma. “Syukurlah.” Kau menghela napas lega.

Satu masalah sudah teratasi. Ketakutanmu akan terjadi sesuatu dengan Rahma berangsur mencair. Sekarang tinggal memperbaiki hubunganmu dengan teman se-gank. “Met ultah ya. Maaf enggak bisa kasih hadiah.” ucap Rahma. “Terima kasih, Rahma.” ucapmu terharu. “Kau pulang ke rumah dan berani menghadapi masalah, itu sudah merupakan hadiah yang sangat spesial, kado dari langit yang luar biasa indah. Benar katamu, seringkali Tuhan memberi hadiah terbungkus masalah, kita hanya perlu membuka bungkusnya. Tinggal Nelly, Anto, Yanti, dan Andien yang belum memberiku hadiah. Besok akan aku buka bungkusnya.” Rahma terkekeh. “Kita buka bareng bungkusnya.” Tanpa dikomando kalian kemudian tertawa bersama. (Cerita ini dikirim oleh Akhmadalhasni)