Kawanan Siput dan Titanic Syndrome

Siput
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Alkisah, ada seorang wakil raja siput yang sudah hampir satu tahun diresmikan sebagai raja. Ia dilantik sebagai raja, karena raja sebelumnya menjadi tersangka karena dituduh menggelapkan uang kerajaan. Sebagai raja baru ia butuh pengikut.

Karena ia siput, ia tidak ingin orang di sekelilingnya melebihi setiap keterlambatannya. Ia ingin orang dibelakangnya lebih lambat dari dirinya agar ia bisa dibilang cepat di antara orang-orang yang lambat. Di antara kawanan siput di kerajaannya, merapatlah siput sastrawan, siput seniman, ditambah lagi dewan siput. Tidak ketinggalan teknokrat dan birokrat merancang grand design “Rencana Kerja Kerajaan” bertema “Keterlambatan”. Karena mereka yakin dengan tema itu maka semua rakyat siput bisa maju dalam arti selambat-lambatnya.

Terdapat nukilan dari hasil kesepakatan itu, siput seniman dan siput sastrawan yang hobinya mengkritik era raja sebelumnya diberikan jabatan dan diberi dana kegiatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Kerajaan. Dengan kompensasi itu otomatis mereka tidak akan mengkritik lagi. Kerajaan siput pun tenteram tanpa pergolakan politik.

Ketenteraman itu mereka kira sebagai suatu kemajuan. Mereka tidak tahu kalau apa yang mereka rasakan adalah virus yang dinamakan Titanic Syndrome. Merasa besar, tak terkalahkan, paling suci, dan mustahil tenggelam. Padahal itu semua semu, karena semua telah dikondisikan dengan baik. Semua hanya seolah-olah baik dan seolah-olah maju. Akibatnya karena terlalu tenteram, mereka tak sadar kerajaan siput itu tak lama lagi akan mengalami turbulensi.

Dari kisah imaginer di atas, seharusnya kita mampu mengambil hikmah bahwa keadaan sehari-hari kita memang begitu. Kita harus jujur dan sadar, itulah realitas yang harus dihadapi di sana-sini dalam sendi kehidupan Pemerintahan. Begitu pula dengan perekenomian bangsa kita yang sedang dirundung keterombang-ambingan.

Satu persatu investor hengkang. Mereka memilih pergi untuk menyelamatkan cashflow perusahaan daripada terus menerus merugi. Surat kabar yang kita baca setiap hari menunjukan ada sesuatu yang tidak beres di negeri ini.

Belum lagi pulih luka-luka ekonomi bangsa. Alih-alih bekerja untuk kemajuan, salah satu gubernur di Banten malah melindungi tersangka korupsi. Hebat, katanya ia berani menjaminkan dirinya untuk menjaga tersangka tersebut. Janji tinggal janji untuk memberantas korupsi dan memajukan ekonomi. Semua carut-marut tak bertepi. Benar-benar tanpa prestasi.

Anehnya, setelah menjamin tersangka korupsi, ia tetap ongkang-ongkang kaki. Begitu percaya diri di depan kamera dan media cetak. Bahwa ujarnya Banten tidak apa-apa, semua berjalan normal seperti biasa. Ia tidak tahu, kalau ada 80 ribu orang yang akan menjadi calon pengangguran setelah keputusan pailit perusahaan diterbitkan.

Sementara itu, bila merujuk pendapat Philip Kotler (2011) dalam bukunya ‘Chaotics’, telah memperingatkan kepada CEO perusahaan maupun pemerintah bahwa era abad ini adalah abad ketidakpastian. Kondisi daerah akan dipenuhi keterkejutan. Maka dari itu, semua harus bersiap-siap, tidak bisa berleha-leha dalam menghadapi turbulensi yang kapan saja bisa terjadi.

Turbulensi dimaknai sebagai situasi gangguan yang di luar kenormalan. Dalam ilmu alam, turbulensi dianggap mengganggu keseimbangan yang telah mapan. Keseimbangan terganggu ketika ada satu kejadian yang di luar kebiasaan. Misalnya banjir bandang, longsor, gempa bumi, dan sebagainya. Tak jauh berbeda, begitu pula turbulensi mengenai sosial dan ekonomi. Turbulensi tersebut terus-menerus menghantui kita semua. Tidak dapat terprediksi kehadirannya. Tiba-tiba, mendadak, dan mematikan.

Era yang penuh ketidakpastian ini perlu disikapi dengan arif dan bijak oleh kita semua. Terutama mereka yang memegang kendali kebijakan. Sebagai nakhoda kapal Negara mereka perlu menyiapkan rencana tambahan dalam buku pemikirannya. Tidak bisa hanya secara regular menjalankan pemerintah sesuai tugas pokok dan fungsinya saja. Sebab dunia telah berubah. Karena satu Negara dengan Negara lain tidak ada lagi batas yang menghalangi. Satu kejadian di satu Negara akan berakibat langsung kepada Indonesia.

Banten perlu mempersiapkan ini. Kita tidak bisa hanya percaya diri dengan peluang dan potensi alam yang besar. Banyak sekali kegagalan-kegagalan pembangunan dan kekurangan kapasitas birokrat yang membuat Banten di ujung tombak kemunduran yang relatif lebih buruk dari sebelumnya.

Data tren keuangan, inflasi daerah, konflik birokrasi, mitigasi bencana alam yang tidak memiliki grand design, dan indeks pembangunan manusia yang masih di bawah standar harus menjadi alarm awal yang mengingatkan kita bahwa Banten sewaktu-waktu dapat berduka. Jangan lagi terlambat. Perkembangan dunia sudah menyamai kecepatan cahaya. Dalam hitungan detik semua yang tadinya normal berubah tidak normal. Semua yang nampak baik-baik seketika hancur tanpa sisa. Itulah turbulensi yang harus kita hadapi bersama. Bergandengan tangan pastinya, tidak sendiri-sendiri apalagi merasa benar sendiri.

Perubahan itu harus disambut dan diatur agar tidak kocar-kacir membombardir ketahanan ekonomi, dunia usaha, dan kebudayaan masyarakat. Perubahan yang telah disiapkan akan memberi keuntungan tersendiri bagi kita. Bila terjadi hal yang terburuk. Kondisinya tidak terlalu lama jatuh dalam jurang kegagalan. Namun cepat bangkit untuk menyongsong era baru yang sama sekali berbeda.

Sayangnya, pejabat-pejabat kita nampaknya terkena Titanic Syndrome. Saya khawatir kisah imaginer yang saya sampaikan di awal adalah fenomena gunung es. Sehingga, seluruh elemen pemegang kebijakan terlampau percaya diri melewati laut ekonomi. Tidak pernah terpikir bila bisa jadi sewaktu-waktu kapal akan jatuh dan robek lambungnya oleh karang yang tidak terduga. Berlayar tanpa tahu arah mana yang harus dituju, kesejahteraan rakyat atau kesejahteraan rumah tangganya sendiri yang diperjuangkan.

Dari sinilah kita semua harus sadar. Mereka para pejabat itu harus diketuk hatinya. Karena saya khawatir rasa ibanya telah tiada. Kita berharap, sejatinya nurani menjadi basis tindakan. Apalagi ketika kita sebagai rakyat sudah memberi kontribusi maksimal untuk pemerintah. Dan memberi makan pejabat dengan pajak yang kita berikan setiap waktu. Bila pajak itu digunakan kampanye pribadi dan hanya menyelamatkan koleganya, mari kita sebut mereka hanyalah sebatas kawanan siput. (Tulisan ini dikirim oleh Dede Qodrat Alwajir, Banten)