Pengalaman Unik saat Interview Kerja

Ilustrasi interview kerja
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Belum lama ini saya ada janji makan siang sama teman saya yang bekerja sebagai seorang HRD di sebuah perusahaan besar. Waktu saya mampir ke kantor dia, saya perhatiin sedang banyak orang yang menunggu panggilan buat interview kerja. Reaksinya beragam. Ada yang tenang, ada yang gelisah, ada juga yang sibuk main handphone.

Entah kenapa, gara-gara lihat para job hunter ini, ingatan saya jadi kembali lagi ke kejadian tahun 2009 silam. Tidak semua orang tahu sih tentang cerita ini. Awalnya enggak ada angin, enggak ada badai, pada tanggal 13 Januari 2009 tiba-tiba saya disuruh ayah saya datang ke sebuah perusahaan di Jalan Surya Sumantri, Bandung. Ayah saya bilang ada temannya yang merekomendasikan saya untuk tes kerja di sana.

Serius, saya bingung banget. Bingung dalam artian kenapa saya yang direkomendasikan buat ikut tes kerja di sana. Memang saya pernah bertemu langsung dengan teman ayah saya itu, tapi itu pun tidak lama paling hanya sekitar 10-15 menit saja kita ngobrol-ngobrol. Nah, katanya dari ngobrol-ngobrol 15 menit itu teman ayah saya merasa cocok dengan saya dan menganggap saya layak buat kerja di perusahaan itu.

Begitu ayah menyuruh saya datang, saat itu juga langsung saya tolak. Bukannya sombong, tapi jujur saya baik-baik saja saat itu. Dalam artian, saya sudah punya job sendiri (meski belum terikat dan tetap). Pas saya tanya itu perusahaan apa, ayah saya juga enggak bisa kasih penjelasan yang memuaskan hati saya. Dia hanya bilang, "Kalau enggak salah sih perusahaan listrik."

Perusahaan listrik? Ini juga masih ditambahin kalimat "kalau enggak salah". Bagaimana coba kalau saya datang enggak tahunya itu perusahaan pupuk? Dan lagi, kalau memang ini beneran perusahaan listrik, jelas saya angkat tangan. Sepanjang hidup, saya sama sekali enggak punya pengalaman di dunia perlistrikan. Satu-satunya pekerjaan yang pernah saya lakukan (yang berhubungan dengan listrik) adalah setiap ayah saya menyedot air ledeng setiap malam, saya bertugas buat nyolokkin kabel. "De, colok kabel yang warna hitam!", "De, cabut kabel warna hitam ganti kabel warna putih!". Itu adalah “pengalaman” kerja saya yang berhubungan dengan listrik. Selebihnya saya angkat tangan.

Ternyata penolakkan saya berbuntut panjang. Ayah dan ibu saya saat itu terlihat kecewa dengan saya. Kita sempat adu argumen dengan tensi tinggi. Saya tetap teguh dengan keputusan kalau saya tidak mau datang buat wawancara kerja di tanggal 15 Januari 2009 tersebut. Sore harinya, kakak saya mengirim sms ke saya yang intinya meminta supaya saya tetap datang buat interview kerja. Dia bilang supaya saya mencoba dulu, soal diterima atau tidak itu urusan belakangan dan bisa diomongin lagi. Bahkan, kakak saya sampai menawarkan diri untuk ngebuatin saya CV (Curriculum Vitae) sebagai salah satu syarat buat melamar kerja.

Jujur, saya enggak pernah punya CV karena sama sekali memang tidak pernah melamar pekerjaan kemanapun. Karena bujukkan dari kakak, akhirnya saya luluh juga. Saya mengiyakan untuk datang ke kantor tersebut untuk melakukan interview kerja. Saya sama sekali tidak melakukan persiapan apapun untuk interview kerja pertama saya itu. Saya lebih berpikir bagaimana caranya saya “menamatkan” hari itu secepat mungkin. Saya sama sekali tidak peduli mau diterima atau tidak.

Akhirnya hari itu pun tiba. Mungkin karena terlalu antusias, ibu saya menyetrika banyak baju buat saya. Tidak ketinggalan saya juga sampai dibawakan bekal buat makan siang nanti. Sebelum berangkat, saya didoain supaya interview saya berjalan lancar. Saya diantar oleh ayah ke kantor tersebut. Jaraknya sih lumayan jauh dari rumah saya, sekitar 30 menit.

Sesampainya di sana, saya disambut oleh seorang resepsionis cantik. Saya utarakan tujuan saya ke sini dan oleh teman ayah yang merekemondasikan saya, saya disuruh mencari orang yang bernama Bapak Tony. Kebetulan saat saya datang, Bapak Tony tersebut sedang keluar jadi saya disuruh menunggu. Sambil menunggu, saya ajak ngobrol si mbak resepsionis cantik itu, dan dari dia, saya jadi tahu kalau ini adalah perusahaan baru dan benar ini adalah perusahaan listrik. Pantes saja pas saya cari info di internet tentang perusahaan ini, minim banget info yang saya dapat.

Setelah 30 menit menunggu akhirnya Bapak Tony datang. Begitu melihat saya, dia bilang, "Ini yang namanya Stefanus, ya?" sambil ngajak saya ke sebuah ruangan. Di ruangan itu saya disuruh duduk dan segera menjalani tes tertulis. Di saat begini kemampuan mengarang bebas saya benar-benar diperlukan. Seperti yang saya bilang tadi, saya sama sekali buta tentang perusahaan ini. Yang saya tahu, ini cuma perusahaan listrik bahkan namanya saja saya enggak hafal-hafal.

"Apa yang Anda ketahui tentang perusahaan ini", "Ceritakan tentang diri Anda", "Apa saja kekurangan diri Anda", "Berapa gaji yang Anda inginkan?". Untuk mengerjakan soal-soal itu saya benar-benar mengarang bebas. Untuk pertanyaan, "Apa yang Anda ketahui tentang perusahaan ini?", saya tulis, "Perusahaan ini adalah perusahaan listrik yang sedang berkembang untuk menjadi lebih baik lagi". Benar-benar jawaban seorang anak SD.

***

Setelah beres tes tertulis ternyata langsung berlanjut ke tes wawancara. Dan yang mewawancarai saya adalah si Pak Tony itu. Dan saat itu, rasanya saya lebih memilih diserap oleh black hole di luar angkasa karena Pak Tony membacakan ulang semua jawaban saya tadi persis di depan saya. Saat itu saya benar-benar mati gaya dan tidak berkutik.

Pak Tony juga beberapa kali menyuruh saya menceritakan tentang diri saya, tentang pekerjaan yang saya lakukan selama ini. Saya ceritakan apa adanya tentang diri saya. Setelah rangkaian tes yang menguras tenaga itu selesai, akhirnya saya diizinkan pulang dan jika saya diterima kerja di sana saya akan dihubungi lagi (saya malah sama sekali berharap enggak diterima kerja di situ).

Perasaan saya saat itu benar-benar lega, beban batok kelapa di punggung saya mendadak lenyap. Yang ada dipikiran saya saat itu, saya pengen cepat-cepat tidur dan kembali ke kegiatan saya seperti biasa. Tanggal 20 Januari 2009 (saya ingat banget tanggalnya karena bertepatan dengan ulang tahun pacar saya saat itu), saya mendapat telepon dan ternyata saya diterima bekerja di perusahaan itu!

Saya benar-benar shock sampai bingung, kok bisa-bisanya saya diterima kerja. Saya yakin pasti ada orang yang pendidikannya lebih tinggi dari saya yang interview di sana, tapi kenapa malah saya yang diterima? Begitu saya ngabarin ke ibu, ayah, dan kakak saya, dan semuanya langsung bahagia dan senang. Saya disuruh kerja mulai tanggal 23 Januari, dan semua hal yang berhubungan dengan pekerjaan akan dijelaskan langsung ke saya di tanggal tersebut.

Nah, saat itu saya jadi benar-benar bingung. Saya berpendapat kalau orang kerja itu tentu butuh kenyamanan untuk menyalurkan minat, bakat, dan sesuai passion yang dia punya. Sedangkan saya bakalan bekerja di perusahaan listrik yang namanya saja saya enggak hafal-hafal. Orang bilang kalau kita belajar pasti kita bakalan bisa. Tapi menurut saya, cuma diri kita sendiri yang bisa mengukur limit yang kita punya dan saya pikir saya enggak bakalan enjoy kerja di sana.

Kembali terjadi perdebatan antara ibu, ayah, dengan saya. Mereka minta supaya saya kerja di sana, tapi untuk kali ini keputusan saya sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Saya tetap mau fokus dengan pekerjaan saya yang sekarang. Saya percaya semua hal itu butuh proses, apa yang saya lakukan di tahun itu pasti akan berbuah kelak.

"Mom, everything's gonna be ok. Just believe Me!" kata saya. Dalam hidup saya, mungkin baru itu sekali-kalinya saya ngomong pakai Bahasa Inggris ke ibu saya. Sengaja saya bicara pakai Bahasa Inggris biar ibu saya diam dan enggak berdebat lagi dengan saya, karena saya tahu ibu saya enggak bakalan mengerti sama apa yang saya sampaikan.

Dan seperti apa yang saya omongin ke ibu saya di tahun 2009 silam, saya baik-baik saja sampai sekarang. Bersyukur ke Tuhan, saya punya kerjaan yang sesuai dengan passion saya. Orang bilang pekerjaan yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar dan itulah yang saya kerjakan sekarang. Semua hal yang saya lakukan sekarang, semuanya berasal dari hobi dan minat saya.

Pengalaman interview kerja saya di tahun 2009 itu mungkin akan menjadi pengalaman pertama dan terakhir buat saya. Perusahaan listrik itu sendiri kabarnya sekarang sudah tutup, dan kantornya sudah berganti fungsi menjadi showroom mobil. Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi kamu rasakan dalam semenit, sejam, sehari atau setahun. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya. Tetap semangat  yaa. (Cerita ini dikirim oleh Stefanus Sani, Bandung)