Laksmi, Lima Tahun Lagi Kau Mau Jadi Apa?

Ilustrasi
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – “Laksmi, lima tahun lagi kau mau jadi apa?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh Jargon beberapa bulan lalu. Pria berkulit sawo matang asal kota kembang dengan bekas cukuran kumis di bawah hidungnya ini selalu membuatku takut. Setiap kata yang ia ucapkan seperti bom waktu yang siap mendiamkanku kapan saja. Membuatku terpacak kaku di tengah-tengah waktu.

Pertanyaan tentang lima tahun lagi akan jadi apa, terus membayangiku. Malamku tak pernah tenang, gelisah. Aku terus kepikiran. Kadang, aku terbangun jam dua malam hanya untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang jawabannya ada di hari depan. Cliing…telepon genggamku berbunyi. Sebuah pesan dari Jargon, “Haruskah aku membacanya?" batinku berbicara. "Besok kita bisa bertemu? Temani aku seharian. Aku sedang ada project foto untuk salah satu merek telepon genggam. Sebenarnya aku masih takut untuk bertemu dengannya lagi. Pertanyaan bulan lalu saja belum aku jawab. Bagaimana kalau ia mengangkat pertanyaan itu lagi. Tapi aku hanya bisa mengiyakan saja ajakannya.

Itulah kelemahanku sebagai seorang wanita bergolongan darah O. Selalu mengiyakan saja semua ajakan orang. Apalagi orang yang aku sukai, meskipun aku merasa sedikit takut dengannya. Bukan berarti aku terlalu percaya dengan prediksi berdasarkan golongan darah. Tapi entah mengapa, itu selalu tepat. "Boleh. Kita bertemu di mana?" jawabku membalas pesannya. "Di terminal bus di Jalan Wakil Rakyat. Nanti aku jemput kau di situ."

Seperti biasa aku selalu datang pertama, aku tak bisa melihat orang menunggu lama. Prinsipku, lebih baik menunggu daripada ditunggu. Mungkin bagi sebagian orang, perihal menunggu adalah hal sepele. Tapi bagiku tidak.

Beberapa menit kemudian ia baru datang. Bekas cukuran kumisnya masih menjadi ciri khas. Ia datang dengan motor besarnya di mana jok belakangnya sedikit mengangkat. Antara senang dan malu aku menaikinya. Senang karena aku bisa pura-pura tidak sengaja memeluknya. Malu karena aku duduk terlalu tinggi. Ia mengenakan baju kotak-kotak dan celana panjang yang sedikit robek. "Sudah lama menunggu?" tanyanya. "Lumayan." Jawabku singkat. "Yuk, kita langsung saja."

Pada saat itu waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Sengaja dia memilih pagi karena alasan cahaya matahari akan terlihat bagus ketika matahari terbit. Kami pun berangkat. Aku masih takut ia mengangkat pertanyaan itu lagi. Jadi, sepanjang perjalanan aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan ke yang lain. Sepanjang jalan, sepanjang hari.

Setengah perjalanan sudah kami lalui. Kami memutuskan berhenti untuk sekadar sarapan. Bubur ayam menjadi pilihannya, aku setuju saja. Suasana di sekitar aku dan dia terasa sangat hambar. Seperti bubur ayam ini. Namun terpaksa aku nikmati karena bersamanya adalah pemanfaatan waktu yang sangat indah. Kapan lagi aku bisa mendapatkan waktunya tidak secara profesional. "Yuk, lanjut", ucapku. "Bentar lagi, masih capek." jawabnya. "Ya sudah." ucapku.

Iya, dia mengeluh capek dikarenakan semalaman kurang tidur. Aku tidak berani menanyakan alasannya, takut dibilang "mau tahu saja" atau dalam istilah zaman sekarang disebut kepo. Beberapa menit berlalu, kami pun beranjak dari warung bubur ayam tersebut. Warung pinggir jalan dengan bubur ayam hambarnya. Aku saja tak habis memakannya. Lain hal dengan Jargon. Ia terlihat begitu lahap memakannya tadi.

Kunjungan pertama kami jatuh pada bumi perkemahan di mana banyak para pemuda dan pemudi membentuk simpul sendiri-sendiri. Menyanyikan sepi bersama nyala api. Kulihat tumpukan bara yang telah mengabu masih berserakan di sekitar rumput-rumput itu. Bumi itu masih terlihat lengang, padahal langit sudah hilang meremang.

Beberapa jam aku menemaninya untuk sekedar foto sana sini, entah aku sebagai model atau hanya beberapa bagian tubuhku saja yang berhasil diabadikannya. Hari terasa begitu indah menurutku. Kebersamaan ini, seperti bunga rumput yang selalu setia menemani teriknya hari.

Kunjungan kedua, kami beralih ke liang sunyi yang selalu memuntahkan bau belerang menyengat. Iya, bau belerang. Setiap sudut liang yang berair ini dipenuhi manusia yang memamerkan tawanya, memudarkan senyumnya, dan mengumbar cintanya. Cinta yang aku harap menyinggahiku juga, cintanya. Cinta Jargon.

Entah harus setajam apalagi agar hangatku bisa menembus pekanya. Ia bak batu yang menolak cahaya masuk. Kalau begitu aku akan menjadi air saja, yang melembutkannya secara perlahan. Tak terasa, waktu berlalu sangat jauh. Langit menggelap. Aku dan Jargon memutuskan untuk pulang. Memindahkan mata supaya tak terantuk kantuk secepatnya. Aku begitu senang hari ini, begitu tenang. Sampai tiba-tiba ia bertanya. “Laksmi, lima tahun lagi kau mau jadi apa?” Namun, aku tak segera menjawabnya.

(Cerita ini dikirim oleh Bayu Herdian, Bandung)