Aku dan Kacamata

Aku dan kacamataku
Sumber :

VIVA.co.id – Kacamata sering dijadikan benda yang dipakai untuk bergaya saja. Namun ada juga mereka yang memakai kacamata karena mata mereka yang sakit alias sudah rabun. Biasanya mereka yang memakai kacamata hanya untuk bergaya saja itu adalah mereka yang merasa kalau mereka akan lebih ganteng, cantik, keren, cakep ataupun modif dengan berkacamata. Ada juga yang hanya ikut-ikutan style anak zaman sekarang, ingin terlihat seperti idolanya.

Contohnya mereka yang mengidolakan salah satu pemeran film Harry Potter. Sampai-sampai ada yang bela-belain membeli sampai ke luar negeri hanya karena ingin benar-benar terlihat sama. Dari model rambut yang dicocok-cocokin dan kacamata dengan merek yang sama. Ada juga yang memang matanya sudah rabun, tapi dia tidak mau memakai kacamata hanya karena takut dikatain culun. Termasuk aku, dulu.

Sejak kelas 4 SD mataku sudah beranjak rusak. Saat itu aku hanya diam dan tidak mau memberi tahu orangtua dan keluargaku karena aku takut dibilang culun. Pada saat itu memang di kelas enggak ada satu pun temanku yang memakai kacamata. Jadi jika waktu itu aku memakai kacamata, aku pasti dibilang culun.

Beranjak masuk SMP mataku menjadi semakin sakit dan berbayang-bayang. Aku masih diam dan tidak mau memberi tahu orangtua dan keluargaku. Aku tidak mau merepotkan mereka jauh-jauh ke luar negeri hanya untuk membeli kacamata yang mirip seperti Harry Potter.

Dengan pandangan yang tersiksa, juga karena fisikku yang tidak memungkinkan untuk memakai kacamata, aku jadi merasa yakin kalau aku memakai kacamata teman-temanku pasti akan berkata, “Banyak gaya kau, enggak akan ganteng kau pakai kacamata.” Aku memanglah tidak ganteng. Aku enggak seganteng Aliando, Adipati Dolken, Raditya Dika, Ernest, Babe, dan mereka yang berwajah ganteng lainnya. Tapi sebagai orang jelek, aku juga punya harga diri.

***

Terlepas dari masa-masa SMP, aku masuk SMK. Di SMK, masih juga tidak ada yang memakai kacamata. Sialnya, waktu itu mataku menjadi semakin sakit. Bahkan aku berkeinginan untuk duduk di depan, padahal kalau duduk di belakang lebih enak, bisa tidur. Akhirnya aku memutuskan untuk memakai kacamata. Awalnya kacamata minus 0.5, masih awam dan belum terlalu besar untuk mataku yang sudah berbayang-bayang kalau melihat. Awal pertama memakai, aku dibilang banyak gaya. Namun tidak semuanya sih, ada juga yang berpendapat itu adalah awal yang bagus untuk mencegah kerusakan yang lebih jauh.

Namun tidak bertahan beberapa lama, aku berhenti memakainya. Hingga akhirnya di kelas 2 SMK semester 2 aku memakai kacamata lagi. Alasannya karena waktu itu aku pacaran dengan seseorang yang memakai kacamata juga. Yang jelas perempuan yaa, bukan laki-laki. Aku tambah merasa yakin berkacamata, apalagi waktu itu sedang magang sehingga aku tidak mendapat fitnah dan tuduhan yang tidak-tidak dari teman-temanku. Senangnya hidupku karena menjadi tidak terlalu tersiksa.

Namun kesenanganku hilang ketika negara api menyerang. Kacamataku pecah saat aku sedang menonton kartun Avatar di laptop. Waduh, mau beli lagi uang tidak ada. Akhirnya, aku berhenti lagi memakai kacamata. Hubunganku dan perempuan berkacamata itu juga sudah berakhir.

Memasuki masa-masa kuliah, aku memulai hidup baru sebagai mahasiswa culun. Culun banget, kalau kata anak alay zaman sekarang “culun beut”. Sampai diejek oleh senior-senior dari semester tiga dan lima. Aneh tapi nyata, aku enggak marah. Namun aku membuktikan kalau aku memang benar-benar culun dan bodoh dengan bersandiwara seperti orang yang terlihat bodoh, polos, dan enggak tahu apa-apa.

Masa-masa kuliahku tidak berlangsung lama. Aku berhenti kuliah karena alasan tertentu, bukan karena malu dibilang culun. Lucu sekali kalau aku berhenti kuliah hanya karena takut dibilang culun. Aku malah senang dibilang culun, ya beginilah aku, apa adanya. Rela diejek-ejek, dihina, dan dikata-katai.

Biarlah orang senang yang penting aku juga senang dengan melihat orang menertawaiku. Sekarang, aku yang memakai kacamata ini dibilang sok bergayalah, sok kegantengan, sok keren, dan ahh.. ya sudahlah. Tidak akan ada habis-habisnya aku menulis semua hal tentang apa yang aku rasakan selama berkacamata ini.

(Tulisan ini dikirim oleh Ridho Adha Arie, Riau)