Kebahagiaan yang Direnggut Penyakit Leukemia
- U-Report
VIVA.co.id – Bukan Radit namanya kalau menyerah dalam segala hal, apalagi masalah kerjaan yang hanya bisa dilakukanya pada malam hari. Dia melakukan hal yang tidak setiap orang bisa mengerjakanya. Katakanlah pekerjaanya hanya seorang juru kamera dan shootingan untuk hajatan, tapi itulah profesinya. Siang dijadikan malam, malam dijadikan siang.
Hari ini pun dia sibuk mengedit hasil shootingan-nya. Dia dikejar tayang, kerjaan menumpuk, dan hanya dia dibantu temannya Agung dan istrinya yang mempunyai hobi yang sama. Dan itu pun tidak setiap hari, hanya kalau Agung ada waktu luang untuk membantunya.
Radit, pada usianya yang baru menginjak 28 tahun menikahi seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar dan dia harus menanggung biaya kuliah istrinya saat ini. Tapi lagi-lagi dia tidak pernah mengeluh, tetap optimistis menjalani hidup. Sudah hampir satu tahun dia menikah dan belum juga dikaruniai anak. Cita-citanya dia ingin mempunyai anak sebanyak-banyaknya supaya rumahnya ramai. Tapi satupun dia belum dapatkan.
Sore ini Radit menelepon Agung, dia berharap temannya itu bisa membantunya mengerjakan pekerjaan yang belum selesai. Agung menyetujuinya dan langsung berangkat ke rumah Radit dengan ditemani istrinya yang hanya berkisar sepuluh menit perjalanan. “Tumben Mang, kenapa dadakan begini sih, mengganggu kesenangan orang tau gak.” Agung ngedumel dengan candaan yang biasa mereka lakukan. Radit hanya tersenyum, dia tampak kesakitan. “Loe kenapa Mang?” Agung mendekat. panggilan Agung yang biasa menyebut Radit dengan sebutan “mang” sudah menjadi kebiasaan mereka tanpa menyebut nama masing-masing. “Tidak tahu, dari siang semua sendiku sakit, linu sekali,” keluhnya sambil mengusap-usap lututnya. “Ya, sudah istirahat saja, biar pekerjaan aku dan Ari yang mengerjakan.” Agung menepuk pundak Radit dan langsung masuk ke ruangan kerja ditemani istrinya.
Malam sudah larut, tapi kedua pasangan suami istri ini sibuk dan malah asyik mengerjakan pekerjaannya. Sudah hampir jam 1 dini hari, tiba-tiba mereka dikagetkan dengan suara istrinya Radit yang membuka pintu tempat mereka kerja. “Agung, Radit badannya tidak bisa digerakin.” istri Radit tampak was-was. Akhirnya kami segera menemuinya yang berbaring di depan tv di ruangan tengah. Radit memang lebih suka tidur di depan tv.
Tampak Radit menahan sakit dan hendak bangun, tapi hanya erangan yang dia keluarkan. “Gung, gue enggak bisa gerakin badan, tidak berasa apapun.” Radit tampak sedih dan berusaha untuk bangun, tapi tidak ada gerakan sama sekali. “Ke dokter Mang, aku antar.” Agung berusaha membenarkan posisi Radit yang hendak bangun, tapi tetap tidak bisa. Radit menggeleng, dan dia malah menyuruh Agung untuk mengambil air. “Aku ingin salat, bisa kau ambil air buat aku berwudhu?” Radit menatap Agung penuh harap, terlihat istrinya menangis sambil memeluk istrinya Agung.
Agung dengan sigap langsung ke kamar mandi dan mengambil air seember kecil. “Aku ingin berwudhu, tapi aku ingin kau wudhukan aku,” pintanya. Dia menatap Agung penuh harap lagi. Agung tidak banyak bicara dan langsung mengerjakan apa yang Radit pinta. Entah kenapa malam ini terasa sangat lambat sekali.
Radit melakukan salat malam dengan caranya sendiri. Kami semua hanya menungguinya sampai selesai. Wajahnya tampak pucat, dia masih berusaha bercanda, “Hei, aku baik-baik saja. Besok juga sembuh,” ucapnya pada kami yang menatapnya iba. Benar saja, berangsur-angsur Radit bisa menggerakan kedua kaki dan tanganya, dia mulai belajar berdiri dengan tertatih-tatih. Agung pun merasa lega, dan akhirnya pamit pulang karena semalam ia menitipkan anak-anaknya di rumah orangtuanya.
“Abi, kita periksa yuk ke rumah sakit, sambil mampir ke dokter karena umi sudah tiga minggu telat datang bulan.” Pagi ini istrinya Radit merajuk. Radit terdiam sejenak tapi kemudian ia mengangguk mengiyakan. Bahagia yang teramat sangat hari ini yang dirasakan oleh Radit dan istrinya karena mereka bakal dikaruniai seorang anak. Tapi sebaliknya malah tampak muram di wajah Radit, dia tahu kondisinya sudah drop. Hasil lab-nya tidak secepat pemeriksaan kandungan, hasil lab-nya baru bisa diketahui paling cepat seminggu setelah pemeriksaan. Radit pun harus menunggu hasil lab dan datang kembali ke rumah sakit lagi nanti untuk mengambil hasilnya.
“Syukurlah Mang, akhirnya mau punya anak juga.” Malam ini Agung dan Radit duduk berdua di depan komputer. Radit tertawa sambil menghisap dalam-dalam rokoknya. “Doain gue sehat ya,” pintanya sambil menepuk pundak Agung. “Pasti mang, didoain yang terbaik buat loe Mang,” jawab Agung. Radit tampak sudah seperti biasa lagi, hanya saja badannya semakin kurus, tampak merosot drastis bobot badannya.
Hasil lab hari ini keluar dan dia siap-siap berangkat ke rumah sakit. Tapi tiba-tiba badannya tidak bisa digerakan lagi seperti pertama kali. Dia hanya bisa merintih sampai akhirnya dia dibawa ke rumah sakit dengan dibantu saudara-saudaranya. Kebetulan ibu bapaknya tidak ada di kampung, mereka berjualan di kota.
Hasil lab rumah sakit membuat seisi ruangan terdiam, termangu, dan meneteskan air mata. Bagaimana tidak, Radit divonis menderita penyakit leukemia. Penyakit yang tidak mungkin disembuhkan dan sangat cepat merenggut nyawa penderitanya. Kami hanya terdiam dan membisu, isak tangis saja yang terdengar.
Berbulan-bulan Radit merasakan sakit, mulai dari sendi sakit, badan yang kurus, dan mata yang mulai rabun. Agung tidak selalu ada di samping Radit menemani atau menggantikan pekerjaanya, karena dia harus berdagang menggantikan saudaranya di Karawang. Teringat pesan terakhir mereka saat bertemu sangatlah mengharukan, “Yang sehat Mang, nanti aku traktir nasi padang, serabi inul, dan kebab turki,” ucap Agung sambil tertawa. Radit tertawa terbahak-bahak, dia semakin pucat saja. “Pintar-pintarnya nawarin makanan, tapi kalau pas lagi di rumah sakit bagaimana bisa makan enak,” katanya melengos kesal. Agung tertawa lagi.
Kondisi Radit semakin parah saja. Sudah sepuluh bulan dan dia dikaruniai bayi cantik yang diberi nama Zahra. Namun, kondisi yang membuat tambah parah lagi adalah istrinya yang baru saja melahirkan meminta diceraikan. Ini hal gila yang tidak mungkin bisa diwujudkan oleh orang pesakitan. Entah apa yang ada dipikiran istrinya, mungkin orang berpikir istrinya tidak waras. Dan itu kata-kata yang paling tepat untuknya.
Agung yang ada di Karawang tidak mengetahui hal ini. Tapi entah ada angin apa, tiba-tiba telepon berbunyi. Ada panggilan masuk dan itu dari Radit. “Mang, aku di travel menuju Karawang, aku minta alamat tempat jualan kalian.” Telepon langsung mati. Agung menatap istrinya bingung. “Radit telepon, katanya dia sedang di travel mau ke sini, minta alamat sini,” ucap Agung menerangkan kepada istrinya. Kemudian Agung langsung mengirimkan pesan singkat berupa sms ke Radit mengirimkan alamat tempat jualannya.
Benar saja, jam 2 siang Radit sudah tiba di warung Agung, dia tampak kesusahan turun dari mobil. Agung langsung menjemput dan memapahnya. “Ini gila, loe lagi sakit parah ngapain ke sini?” ucap Agung sambil memapahnya masuk ke dalam warung. Radit hanya tekekeh-kekeh, sedang Agung hanya geleng-geleng kepala. “Mau menagih janji kalian untuk mentraktir aku makan nasi padang,” jawabnya singkat. Agung menatapnya tidak percaya, tapi istrinya dengan sigap langsung kabur ke tukang nasi padang yang kebetulan berjajar di sampingnya.
Radit memakanya perlahan, dia sangat menikmati makanannya. Mereka berdua hanya menatap dia iba. Selesai makan Radit meneguk habis segelas air dan minta nambah, istri Agung mengambilkannya. Setelah itu barulah Radit menjelaskan maksud dan tujuanya. Dia hendak ke RCSM, ibunya kebetulan berjualan di Jakarta. Dominan orang Kuningan berjualan di pelosok Jakarta. Dia menceritakan kalau istrinya juga menggugat cerai padahal mereka sudah mempunyai anak dan sekarang istrinya tinggal di rumah orangtuanya.
Radit tidak bisa berbuat banyak. Memikirkan kondisinya saja sudah drop, ditambah istrinya yang meminta cerai. Malam ini Radit menginap dan mereka bercengkrama hingga subuh, barulah Radit tertidur. Siangnya, ibunya Radit datang menjemput. Keadaan semakin haru saja, mereka menangis mendengar penjelasan Radit tentang penyakit dan kondisi rumah tangganya.
Akhirnya Radit dibawa ke rumah sakit di Jakarta oleh ibunya. Sudah dua minggu tidak ada kabar dari Radit, tiba-tiba saja ada sms masuk di ponsel Agung. “Kamu enggak ngucapin selamat sama aku, Gung?” begitu isi sms tersebut dari Radit. “Selamat apa Mang, bagaimana keadaanya?” Agung membalasnya. “Ngucapin selamat karena aku sudah tidak bisa mendengar apa-apa lagi, saya sudah tuli,” balas Radit.
Isi sms tersebut membuat Agung kaget. Besoknya ibunya Radit menelepon dan menangis, menceritakan kalau kondisi Radit sudah parah, tidak bisa jalan dan tuli, melihat pun sudah buram. Ada sms masuk lagi dan bunyinya membuat Agung harus menutup warungnya, “Kamu mau dijemput paksa ya, nanti yang datang arwahku. Aku pengen ketemu.” Isi sms tersebut membuat Agung terpukul. Dia langsung menutup warungnya dan bergegas ke stasiun berdua istrinya.
Di sepanjang jalan Radit tidak berhenti sms menanyakan sudah di mana, sampai mana, dan kenapa lama sekali. Benar saja, sesampainya Agung di sana, badan Radit yang hanya dibalut kaos dalam tampak kurus sekali, matanya yang bulat semakin terlihat besar, wajahnya sangat tirus. Agung berusaha mengucapkan kata-kata perlahan, tapi Radit hanya geleng-geleng kepala dan mengucapkan kata-kata yang sama, “Nggak kedengeran”.
Hal itu membuat seisi ruangan meneteskan air mata. Agung memeluk erat Radit, Radit menangis sambil terisak dan meminta maaf. “Cuma kalian berdua yang ingin kutemui dan anak aku. Aku kangen sama anakku Gung, lagi apa dia?” Kata-katanya membuat Agung semakin tersedu-sedu. Itulah terakhir kali Agung bertemu Radit.
Radit yang tegar, kuat, dan ceria dikalahkan oleh leukemia. Tuhan lebih sayang dia, dan mengambilnya lebih cepat. Akhirnya Radit kembali dibawa ke kampung dan dirawat di sana. Hanya dua hari dirawat, dan antara sadar dan tidak sadar dia dipertemukan dengan si Zahra kecil. Radit memeluk dan menciumnya, “Dede Zahra, ini Abi.” Radit berusaha bangun dan menggendongnya dengan berhati-hati, tapi tidak kuat dia hanya menciumi bayi mungil itu. Zahra digendong neneknya dan disodorkanya pipi anak itu ke wajah Radit. Radit menangis dan menciuminya dengan penuh kasih.
Setelah itu dia tampak drop, pertemuan ini membuat dia hilang kesadaran, dan itulah terakhir dia bertemu bidadari kecilnya. Dia mengembuskan napas terakhir di malam harinya. Radit yang malang, mempunyai cita-cita yang tinggi. Ingin umrah bareng, ingin sukses bareng, dan dia itu orang yang pantang menyerah, selalu saja ada ide-ide cemerlang yang memotivasinya. Aku pun selalu termotivasi olehnya. Berbahagialah kau di duniamu yang baru. Kau mempunyai cita-cita yang mulia, kita selalu bersama, bahagiamu bahagiaku. Semoga aku juga bisa setegar dirimu. (Cerita ini dikirim oleh Aryand16)