Selamat Tinggal Egois, Selamat Datang Bahagia

Ilustrasi
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Dalam hidup semua orang tentu ingin meraih kebahagiaan. Tapi yang aku tahu, bahagia bukanlah kita raih melainkan kita ciptakan sendiri. Dengan kata lain, kita perlu usaha agar bahagia menjadi milik kita dan inilah yang aku lakukan untuk mewujudkan bahagiaku. Secara sederhana mungkin dapat diterjemahkan kalau aku meninggalkan keegoisanku.

Apakah egois itu? Egois adalah sikap yang mementingkan diri sendiri, artinya kepentingan pribadinya yang harus didahulukan tanpa melihat situasi dan kondisi. Pokoknya dia harus didahulukan, diutamakan, dan dituruti. Dengan belajar meninggalkan sikap egois, perlahan aku merasa bahagia tercipta dalam hidupku. Berikut adalah tiga hal sederhana yang aku terapkan untuk belajar meninggalkan keegoisanku:

1. Meninggalkan perasaan egois bahwa aku adalah orang yang berpengaruh atau merasa lebih kaya.

Selama ini jika aku dalam sebuah antrean, aku merasa diriku berpengaruh dan lebih harus diutamakan dari orang lain dan seharusnya aku mendapat perlakuan khusus. Aku lupa bahwa sebenarnya di atas langit masih ada langit. Mengapa aku merasa diri ini begitu harus dihormati sehingga harus diprioritaskan?

Kadang aku marah hebat saat ada orang menyerobot antreanku. Bahkan aku mengajaknya bertengkar tanpa melihat situasi ramai dan menjadi tontonan orang. Mengapa aku begitu egois? Jika ada orang menyerobot antrean, selama kita lihat orang tersebut memang buru-buru, mengapa kita tidak sedikit mengalah? Mengapa kita tidak belajar berpikir mungkin orang tersebut memang perlu segera menyelesaikan urusannya dalam antrian tersebut.

Mungkin orang tersebut tidak punya etika karena tanpa permisi menyerobot seenaknya. Di situlah kerendahan hati kita sedang di uji agar meletakkan egois kita untuk dihargai dan diutamakan. Kita letakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan kita sendiri, sebetulnya kita juga ingin cepat selesai antreannya dan tiba giliran kita, tapi kita harus belajar menghargai kepentingan orang lain.

Dengan selalu berpikir kalau orang tersebut lebih perlu untuk lebih didahulukan, maka hati kita akan tetap tenteram, damai, dan tanpa amarah menguasai. Cobalah dan rasakan hasilnya, hatimu yang panas perlahan akan menjadi hangat, penuh pengertian kepada kepentingan orang lain.

***

2. Mengikis rasa bahwa aku harus selalu untung, tidak boleh rugi dan tidak boleh sia-sia pengorbanannya.

Dalam hal ini aku berikan contoh. Suatu kali aku melihat seorang ibu tua berjualan pisang. Pisangnya kondisinya begitu parah, terlalu tua, sampai pisang menghitam. Bahkan dapat dikatakan tidak layak untuk dimakan. Dia tertatih-tatih berjalan menjajakan dagangannya. Mungkin hatinya juga begitu pedih, dagangannya sudah lama tidak laku sampai begitu tua pisangnya.

Saat berada di depanku, ia menawarkan dagangannya. Ia sebutkan harganya yang ternyata tergolong mahal untuk ukuran pisang dalam kondisi seperti itu. Tapi segera kucoba menguasai diriku. Aku menekan egoisku serendah-rendahnya dan berkata pada diriku sendiri bahwa jika aku menuruti keegoisanku, aku akan menolak mentah-mentah tawaran ibu tua itu.

Selain karena pisangnya tidak layak dimakan, tapi harganya mahal pula. Jika aku beli aku tidak akan untung apa-apa, malah rugi karena pisang tidak layak untuk dimakan. Tapi aku belajar tidak egois, aku membeli semua pisang ibu tersebut tanpa menawar bahkan tidak menerima uang kembaliannya.

Tahukan Anda? Binar bahagia dan haru terpancar dari mata ibu itu dan saat aku melihatnya perasaan bahagia meluap dari dalam dada. Dan sejak saat itu aku berprinsip, jika ada pedagang tua, pedagang dengan jualan sedikit, jualan sepertinya ala kadarnya, atau anak-anak kecil yang harus berjualan mencari nafkah untuk keluarganya, saat aku mampu maka aku akan selalu usahakan membeli dagangannya. Walaupun aku tidak butuh barang yang dijual oleh mereka, aku tidak akan menawar dan aku akan memberikan uang lebih agar sisa kembalian juga dapat mereka miliki.

Memberkati mereka semua tidak akan membuat aku kekurangan, tapi aku malah selalu berkelebihan dan selalu meluap dengan perasaan bahagia telah dapat membuat orang lain gembira dan membuat mereka mampu mengucap syukur. Setidaknya jika mereka berkata dalam hatinya, “Terimakasih Tuhan, masih ada orang baik di dunia ini”, bukankah Tuhan juga senang dengan yang kita lakukan. Lupakanlah segala hitung-hitungan untung dan rugi. Biarlah Tuhan yang mencatat kerugianmu dan akan menggantinya berkali-kali lipat.

***

3. Belajar mengembangkan pola pikir, bahwa tanpa pamrih pun aku akan tetap menolong.

Suatu kali seorang teman datang padaku untuk meminjam sejumlah besar uang, alasannya untuk biaya rumah sakit anaknya. Karena aku juga punya anak dan aku tahu kesesakan dan pedihnya hati jika anak sakit dan tidak punya biaya, aku dan suami ikut dengan orang tersebut dan ingin mengecek kebenaran ceritanya. Ternyata benar, tidak ada harapan uang yang kami berikan akan kembali karena kami tahu kehidupan orang tersebut akan susah mengumpulkan uang sejumlah biaya tagihan rumah sakit. Tapi orang tersebut menawarkan sepeda motor satu-satunya sebagai jaminan.

Jika aku egois, maka aku akan mengambil sepeda motornya agar ada kemungkinan uangku kembali, dan jika tidak kembali sepeda motor itu bisa aku jual dan aku tidak rugi menolong orang tersebut. Tapi hari nurani ini berkata agar aku belajar tanpa pamrih dalam menolong orang lain. Terlebih jika aku bisa melakukannya. Aku belajar melepskan apa yang aku punya.

Aku berpikir bahwa segala yang aku miliki adalah datang dari Tuhan dan jika Tuhan inginkan aku lakukan ini itu untuk kebaikan, tentu Tuhan akan tersenyum senang melihat manusia ciptaan-Nya ini tidak egois, tidak gila harta, dan silau dengan gemerlap dunia. Tapi mengembangkan sikap peduli dan penuh kasih kepada sesama manusia yang membutuhkan. Akhirnya aku menolong orang tersebut dan menganggap uang itu hilang. Hanya kalimat berikut yang aku katakan, “Jangan bingung untuk mengembalikannya. Jika ada rejeki, tidak apa-apa dibayar. Kalau belum ada, jangan dipaksakan”.

Dan memang, sampai kini uang kami tidak kembali. Tapi kami tidak ada beban sedikit pun, tidak ada rasa kami ditipu, dipermainkan, atau dirugikan. Ternyata kami kembali bahagia bisa menolong orang tanpa pamrih, rasanya luar biasa, rasanya hati penuh ucapan syukur. “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,” biarlah terus menjadi prinsip kami sekeluarga.

Secara sederhana, dengan melakukan tiga hal tersebut di atas aku telah menciptakan bahagia dalam hidupku. Aku menuju kebahagiaan yang lebih besar dengan terus menerus melakukan itu, dan bahkan hal lain yang lebih besar. Tidak lain agar selain hati ini damai sejahtera, Tuhan juga akan tersenyum senang bahwa aku diciptakan-Nya di dunia ini untuk memberi warna indah untuk orang di sekitarku telah terwujud.

Masih mau menunda untuk menciptakan bahagia? Masih mau terus egois? Mulailah sekarang juga dan rasakan betapa nikmatnya rasa bahagia karena Anda berhasil membuat orang lain tersenyum. (Tulisan ini dikirim oleh Merry_mirthasari)