Hari Raya Nyepi, Gerhana Matahari, dan Toleransi Beragama
- U-Report
VIVA.co.id – Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1938 yang jatuh pada Rabu, 9 Maret 2016 memiliki keistimewaan karena bertepatan dengan terjadinya fenomena langka yakni Gerhana Matahari Total (GMT). Umat Hindu di Bali pada saat itu mengurung diri melaksanakan ibadah Tapa Brata yakni empat pantangan yang wajib dilaksanakan sekaligus melakukan introspeksi diri selama 24 jam. Sejak pukul 06.00 Wita sebelum matahari terbit, hingga pukul 06.00 waktu setempat keesokan harinya (Kamis, 10 Maret 2016).
Tapa Brata Penyepian tersebut meliputi amati karya (tidak bekerja dan aktivitas lainnya), amati geni (tidak menyalakan api), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak mengumbar hawa nafsu, tanpa hiburan/bersenang-senang). Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) di arak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.
Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala, dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar.
Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar. Puncak acara Nyepi keesokan harinya, yaitu pada pinanggal pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya.
Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata". Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.
Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada, suci, dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan)), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan pada tahun yang baru.
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah Hari Ngembak Geni yang jatuh pada "pinanggal ping kalih" (tanggal 2) sasih kedasa (bulan X). Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut memasuki hari ke dua. Umat Hindu melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain, untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih. Inti Dharma Santi adalah filsafat Tattwamasi yang memandang bahwa semua manusia di seluruh penjuru bumi sebagai ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan. Hidup di dalam kerukunan dan damai.
Bali dalam kondisi demikian tetap memberikan toleransi kepada umat Islam untuk melaksanakan shalat gerhana di masjid dan musala terdekat. Sesuai kesepakatan bersama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali dan Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKAUB), tutur Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana. Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Denpasar, Bali, Drs. H. Saefudin, M.Pd.I menambahkan, mereka yang shalat wajib mengenakan busana khas ibadah dan berjalan kaki dari rumah ke masjid terdekat serta tidak menggunakan pengeras suara.
Kesepakatan ini dinilai bahwa toleransi antar umat beragama di Pulau Bali terjalin dengan baik. Meski diperkenankan salat di masjid, namun ada rambu-rambu yang mesti diperhatikan, di antaranya: tidak menggunakan pengeras suara, melakukan salat di masjid terdekat, perjalanan ke masjid tidak menggunakan kendaraan bermotor, tidak bergerombolan dan mengobrol sepanjang jalan, tidak merokok sepanjang jalan, segera berkoordinasi dengan pecalang atau aparat setempat untuk bisa bepergian saat salat, shalat selesai paling lambat pukul 07:00 WITA. "Ini sudah kesepakatan bersama seluruh elemen terkait. Jangan sampai melanggar dan akhirnya menimbulkan polemik yang mengganggu keharmonisan di Bali," kata Sudiana.
Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk melestarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya. Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama, atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.
Teringat dengan almarhum ayahanda H.Abdurahman Wahid, beliau pernah mengatakan apabila seseorang berpikir positif tentang pluralisme, maka otomatis di dalamnya sudah ada unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran terhadap perbedaan. Ada dua hal penting yang harus diperhatikan berkenaan dengan sikap dialogis yang ditujukan pada dua cabang dalam kehidupan agama.
Pertama, Gus Dur sendiri berpendapat bahwa perbedaan agama-agama cenderung merupakan perbedaan yang berada dalam tataran kemanusiaan. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya yang menjadi hakim untuk mengatakan seseorang masuk surga dan neraka adalah Tuhan sendiri. Baik agamawan, rohaniawan, kiai, mubaligh, atau wali sekalipun tidak bisa melakukan judgment atau penghakiman kepada orang selama di dunia. Karena Gus Dur sadar bahwa ada banyak hal tersembunyi dalam kehidupan seseorang selama hidup di dunia ini, dan itu hanya Tuhan yang tahu. Oleh sebab itu maka Tuhanlah yang akan menentukan apakah seseorang itu benar atau salah di hari akhir nanti.
Kedua, Gus Dur juga melangkah pada segi-segi yang lebih praktis. Bagi Gus Dur, praksis agama menjadi sesuatu yang sangat esensial di dalam hubungan antar agama yang didasari oleh toleransi dan langkah yang sangat konkrit. Sebagai bukti, Gus Dur melakukan kerjasama dengan siapa saja secara terbuka, baik dalam kelompok Kristen, Hindu, Budha, maupun kelompok Islam yang lain. Meski kemudian banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok sekuler yang tidak terlalu banyak mempersoalkan doktrin-doktrin atau dogma-dogma agama adalah perkembangan lain.
Gerhana Matahari adalah peristiwa ketika terhalanginya cahaya matahari oleh bulan sehingga tidak semuanya sampai ke bumi. Peristiwa yang merupakan salah satu akibat dinamisnya pergerakan posisi matahari, bumi, dan bulan ini hanya terjadi pada saat fase bulan baru dan dapat diprediksi sebelumnya. Fenomena langka Gerhana Matahari Total (GMT) diperkirakan akan melintasi 12 provinsi di Indonesia pada 9 Maret 2016. Kesebelas provinsi tersebut meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
Saat terjadi GMT pada Rabu, 9 Maret 2016, Kementerian Agama telah mengeluarkan intruksi bagi umat Islam untuk melaksanakan salat sunah Gerhana Matahari. dalam ajaran Islam, salat gerhana atau salat khusuf adalah ibadah yang dilakukan saat terjadi gerhana bulan maupun matahari.
Berikut hadits tentang keutamaan mengerjakan salat gerhana, dari Abu Bakrah Radhiallahu Anhu, dia berkata “Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lalu terjadi gerhana matahari. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam berdiri dan berjalan cepat sambil menyeret selendangnya hingga masuk ke dalam masjid, maka kami pun ikut masuk ke dalam masjid. Beliau lalu mengimami kami salat dua rakaat hingga matahari kembali nampak bersinar. Setelah itu beliau bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana disebabkan karena matinya seseorang. Jika kalian melihat gerhana keduanya, maka dirikanlah shalat dan berdoalah hingga selesai gerhana yang terjadi pada kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1040).
Menurut ajaran Islam, gerhana bulan bukan semata-mata fenomena alam dan kejadian antariksa, tetapi di balik itu sarat dengan nuansa religius yang diimani sebagai salah satu tanda keagungan dan kekuasaan Allah yang maha mengatur alam ini, dan hal ini diyakini oleh penganut agama terutama dalam agama Islam, Katolik dan Protestan. Hadits riwayat Buchari-Muslim menyebutkan bahwa, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan bukanlah karena kematian seseorang atau kehidupannya. Maka jika kamu melihatnya, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah kepada-Nya, bersedekahlah, dan shalatlah”.
Fenomena alam ini diadakan oleh Sang Pencipta untuk menimbulkan rasa gentar di hati setiap hamba atas kebesaran Allah Ta’ala dan azab-Nya bagi siapa yang tidak taat kepada-Nya. Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan sallat apabila menyaksikan gerhana, baik matahari maupun bulan, sebagaimana diisyaratkan dalam hadist di atas, juga sebagaimana riwayat adanya perbuatan Rasulullah SAW tentang hal tersebut. Dapat disimpulkan kalau Bali adalah salah satu kota yang patut dicontoh oleh semua orang walaupun dalam keadaan apapun konsep toleransi dalam beragama tetap terjaga dengan baik. (Tulisan ini dikirim oleh Andi Kamal M Sallo, Pengurus PMII Cab.Makassar)