Hutan, Perubahan Iklim, dan Pembangunan Berkelanjutan
- REUTERS/David Gray
VIVA.co.id - Memasuki awal tahun 2016, publik Indonesia dikagetkan dengan pernyataan Hakim Pengadilan Negeri Sumatera Selatan yang mengatakan bahwa membakar hutan itu tidak merusak lingkungan hidup karena masih bisa ditanami lagi. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh hakim yang memenangkan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) atas gugatan kebakaran hutan dan lahan (KLHK) terkait pembakaran Hutan Taman Industri (HTI) milik PT BHM pada tahun 2014 yang lalu.
Pernyataan ini sontak saja menyita perhatian publik. Terutama netizen yang tidak habis mengerti dengan logika hukum yang digunakan oleh sang hakim. Masih lekat dalam ingatan publik saat kebakaran hutan melanda beberapa wilayah Indonesia.
Pada waktu itu, sebagaimana dilaporkan oleh media massa, bahwa titik api terjadi di Sumatera Selatan sebanyak 467 titik api. Di Ogan Komering Ulu Selatan terdapat 52 titik api, Ogan Komering Ulu 26 titik api, Ogan Komering Ulu Timur sebanyak 24 titik api. Selain itu, titik api juga terdapat di Kabupaten Musi Banyuasin. Sedangkan titik api terbanyak berada di Ogan Komering Ilir sebanyak 270, dengan indeks standar pencemaran udara sudah 453 mikrogram/m3 alias berada di level berbahaya.
Selain di Sumatera Selatan, kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di beberapa daerah. Menurut pantauan satelit Tera dan Aqua, di Lampung terdapat 45 titik api, dan Jambi 14 titik api, Bengkulu 4 titik api, Bangka Belitung 7 titik api, dan Pekanbaru Riau 42 titik api.
Dampak kebakaran hutan
Dampak kebakaran hutan tidak hanya mempermalukan kedaulatan bangsa Indonesia, namun juga kerugian dari sisi ekonomi dan kesehatan. Tercatat sejak kebakaran hutan yang terjadi mulai bulan Oktober sampai November, lebih dari 42 penerbangan dibatalkan.
Selain itu, kabut asap juga telah menelan korban 55 ribu warga, mayoritas anak-anak, balita dan orang tua. Data ilmiah menunjukkan, asap kebakaran hutan banyak mengandung PM 2,5. Partikel inilah yang banyak merusak paru-paru.
Kepala Dinas Kesehatan Riau, Andra Safril, menuturkan bahwa ada 61.017 warga masyarakat terserang penyakit, sebanyak 50.741 orang menderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Selainnya, 3.934 warga menderita penyakit kulit, 3,040 orang mengalami iritasi mata, dan 2.409 orang menderita asma, dan sebanyak 893 orang terkena pheumonia.
Bahkan menurut keterangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kebakaran hebat yang melanda hutan dan lahan di enam provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi, luas area yang terbakar mencapai 17 juta hektar. Indonesia sudah menghabiskan dana sekitar Rp 550 miliar untuk menanggulangi kebakaran.
Dalam pertemuan COP 21 yang diadakan di Paris yang lalu, Negara Indonesia menjadi sorotan dunia terutama karena produksi emisi dari kebakaran hutan dan lahan yang mencapai 1 giga ton.
Problem pengelolalan hutan kita
Menurut laporan Belinda Margono, Primary forest cover loss in Indonesia 2000-2012, yang dimuat dalam World Resources Institute, menunjukkan hutan di Indonesia dalam kondisi kritis. Kerugian marginal hutan telah meningkat rata-rata 47.600 hektar setiap tahunnya, dan mencapai 840.000 hektar di tahun 2012 saja. Hal ini menyebabkan Indonesia mendapatkan peringkat nomor 6 dari 10 negara penghasil karbondioksida tertinggi dan penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia.
Pengalaman banyak negara telah menunjukkan bahwa peluang untuk pengelolaan hutan jangka panjang yang berkelanjutan akan meningkat apabila kepemilikan dan pengelolaan sumber daya hutan tetap menjadi hak masyarakat lokal. Masyarakat lokal cukup mampu memperluas pandangan masa depan, kemudian berinvestasi dalam praktik kehutanan yang berkelanjutan, ketika mereka mendapat jaminan akses jangka panjang terhadap sumber daya hutan melalui hak kepemilikan.
Tetapi hutan-hutan di Indonesia dimiliki oleh pemerintahan pusat yang kemudian memberikan hak pengelolaannya kepada pemerintahan daerah. Konflik kewenangan (antara pusat dan daerah) terhadap sumber daya hutan yang melibatkan semua tingkat pemerintahan menyebabkan lemahnya kerangka hukum dan perundangan, sehingga menjadi hambatan utama dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Dengan melihat kompleksitas tata kelola hutan ini, maka tidak ada cara sederhana untuk mencapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan pencegahan deforestasi. Salah satu solusi yang dapat diberikan adalah dengan memberikan izin perusahaan bisnis untuk membangun dan mengelola fasilitas ekowisata di hutan konservasi (conservation forests). Kegiatan semacam ini akan mendukung pelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati di hutan tersebut.
Hutan lindung (protection forests) berfungsi untuk mencegah banjir, mengatasi erosi, dan menjaga kesuburan tanah. Untuk pengelolaan yang berkelanjutan, hak pakai hasil (usufructuary rights) harus diberikan pada masyarakat setempat sehingga mereka dapat mengelola hutan-hutan ini dan menikmati hak terbatas untuk mengakses sumber daya hutan.
Untuk hutan produksi (production forests) dimana hasil hutan kayu dan bukan kayu dapat diperoleh, sebaiknya pengelolaan hutan ini diberikan kepada masyarakat lokal atau pihak swasta. Pemerintahan pusat harus menjauhi pendekatan yang menganggap kawasan hutan sebagai sumber pendapatan negara. Pemerintah sebaiknya mengizinkan sumber daya tersebut digunakan untuk mendukung peningkatan dan pertumbuhan pendapatan lokal.
Tantangan perubahan iklim
Dalam mengatasi perubahan iklim, pemerintah Indonesia telah menyusun rencana aksi nasional dan rencana aksi daerah dalam suatu kebijakan yang dituangkan dalam kerangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pada kenyataannya, kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim merupakan tindakan yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya sehingga dapat dilakukan dalam satu siklus.
Sebaliknya, jika upaya mitigasi yang dilakukan tidak signifikan, maka dampak perubahan iklim yang terjadi akan mempersulit upaya adaptasi di masa depan. Inisiatif untuk mengatasi dampak perubahan iklim di anggap dapat menurunkan laju pertumbuhan ekonomi, terutama di negara berkembang.
Namun, hal tersebut juga memberikan peluang investasi yang sangat besar. Fakta menunjukkan upaya mitigasi dapat menelan biaya yang sangat besar. Dalam Forum COP 21 itu, Presiden Jokowi menyampaikan langkah-langkah konkrit Indonesia dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan, terutama perbaikan tata kelola lahan gambut. Dokumen tersebut tertuang dalam Intended Nationally Determined Contributions (INDC).
Sebagai bentuk kontribusi Indonesia dalam upaya pengurangan emisi global, saat ini Pemerintah melalui Kementerian PPN/Bappenas telah menyiapkan INDC yang disampaikan pada pertemuan di Paris. Ruang lingkup untuk INDC Indonesia menyangkut sektor kehutanan dan pertanian (termasuk dekomposisi dan kebakaran lahan gambut), sektor energi, industri dan limbah. Selain itu, dalam INDC Indonesia diuraikan kebijakan dan aksi mitigasi apa yang potensial untuk dikembangkan dari berbagai sektor serta yang terkait dengan pembiayaannya.
Penyusunan INDC Indonesia ini diharapkan tidak hanya menguraikan tentang target dan upaya nasional mengurangi emisi karbon, melainkan juga memuat tentang proyeksi sejauh mana ambisius Indonesia beserta kendala yang dihadapi untuk mempromosikan perubahan iklim sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. (Tulisan ini dikirim oleh Billy Ariez, Fasilitator workshop perubahan iklim & pembangunan berkelanjutan Friedrich Naumann Foundation)