Kerusakan Lingkungan dan Perdagangan Tubuh Satwa
- U-Report
VIVA.co.id - Masih maraknya perdagangan (transaksi jual beli) di Indonesia, lebih khusus ada pembeli dari Malaysia yang datang ke kampung untuk membeli satwa ataupun bagian-bagian tubuh satwa.
Beberapa temuan itu tersaji saat Yayasan Palung melakukan ekspedisi pendidikan lingkungan, diskusi masyarakat dan pemutaran film lingkungan keliling kampung di Desa-desa di Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang, Kalbar, pada 13-17 September 2015, pekan lalu.
Bagian-bagian tubuh satwa yang dicari adalah seperti trenggiling hidup ataupun sisik trenggiling, geliga kelasi dan paruh enggang. Temuan dan informasi tersebut terungkap saat diskusi masyarakat berlangsung. Seorang bapak yang namanya enggan disebutkan mengatakan, "Beberapa bulan lalu ada pembeli yang datang ke kampung-kampung dan mencari bila ada seperti geliga kelasi, paruh enggang dan trenggiling hidup".
Adapun kisaran harga beli yang ditawarkan oleh pembeli dari Malaysia antara lain; untuk geliga kelasi harga per geliga kelasi dibeli dengan harga 300- 400 ribu rupiah. Sedangkan untuk harga paruh enggang dengan kisaran harga 500 ribu hingga 1 juta rupiah. Untuk harga trenggiling, per kilo gramnya 400-450 ribu rupiah dalam keadaan hidup. Tidak hanya itu, sisik trenggiling pun banyak dicari dengan kisaran harga 100-150 ribu rupiah per ons.
Padahal undang-undang telah jelas menerangkan bahwa satwa dan keanekaragaman hayati telah diatur dalam UU no. 5 tahun 1990, Pasal 21 ayat 1 dan 2 menyebutkan: Ayat (1) Setiap orang dilarang untuk: 1. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; 2. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
Ayat (2) Setiap orang dilarang untuk: 1. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; 2. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; 3. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; 4. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; 5. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.
Temuan lainnya adalah ketika kami mengadakan lecture di sekolah. Temuan tersebut adalah masih tingginya ancaman terhadap nasib hidup satwa dilindungi seperti orang utan. Salah seorang dari murid di salah satu SLTP mengatakan pernah melihat bahkan memakan orang utan dari hasil buruan sang ayahnya. Tidak berhenti di situ, kondisi kerusakan lingkungan pun tersaji ketika kami melintasi beberapa ruas jalan menuju Kecamatan Laur.
Adapun kondisi kerusakan lingkungan tersebut antara lain seperti adanya pembukaan atau perluasan lahan untuk perkebunan, kebakarnya, terbakarnya atau dibakarnya lahan yang diduga untuk perkebunan dan perladangan masyarakat. Hal lainnya terkait kerusakan lingkungan tidak lain adalah konversi lahan yang menanam tanaman sawit tak jauh berada (berhadapan) dengan sungai di Teluk Parak (Kec. Nanga Tayap). Jaraknya hanya beberapa meter saja, tidak sampai 100 meter.
Tanaman sawit tersebut belum diketahui apakah milik perusahaan atau masyarakat. Persoalan mendasar tentang keberadaan tanaman sawit yang berada dekat sempadan sungai berimbas kepada dampaknya kekeringan yang berpengaruh pada keadaan ekologi, sosial, ekonomi budaya masyarakat. Tidak bisa di sangkal, keberadaan tanaman sawit yang berada di dekat sungai tidak bisa dibenarkan karena membuat daya tampung air semakin berkurang bahkan sumber airnya mendangkal dan semakin kering.
Biota sungai seperti ikan terancam mati dan potensi sumber hidup masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan hidup berupa lauk pauk menjadi sangat berpengaruh. Seperti diketahui, ikan menjadi sumber lauk/makanan masyarakat menjadi tidak tersedia lagi, akibatnya masyarakat harus membeli dengan harga tinggi di tengah ekonomi sulit saat ini.
Pengaruh sosial dan budaya masyarakat menjadi hilang karena sudah semakin jarang atau tidak ada rutinitas kebiasaan masyarakat untuk menjaga lingkungan menjadi terkikis oleh masuknya investasi yang tidak peduli pada sisi-sisi lingkungan dan hak-hak masyarakat.
Selain itu, akumulasi dari dampak tersebut di atas secara menyeluruh dapat berakibat kepada kondisi alam dan manusia yang semakin tidak stabil dan krisis. Mengingat, tata aturan (peraturan pemerintah) melalui UU no 41 tahun 1999, pasal 50 ayat 3 yang jelas-jelas menyatakan; melarang setiap orang untuk menebang (membuka lahan) kiri dan kanan sungai dengan jarak 100 meter.
Sedangkan untuk sanksi terhadap pelanggaran pasal 50 ayat 3 menyatakan; barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud (pasal 50 ayat 3) tersebut diancam pidana 10 tahun dan denda 5 milyar rupiah.
Dari beberapa temuan tersebut, besar harapan agar adanya perhatian dari semua pihak untuk memberikan solusi terbaik. Jika tidak persoalan lingkungan yang semakin krisis tentu akan berpengaruh besar juga terhadap keberlangsungan hidup manusia secara berlanjut. Semoga saja.(Cerita ini dikirim oleh Petrus Kanisius dan Edward Tang - Yayasan Palung)
(Punya cerita atau peristiwa ringan, unik, dan menarik di sekitar Anda? Kirim Cerita Anda melalui email ke ceritaanda@viva.co.id atau submit langsung di http://ceritaanda.viva.co.id/kirim_cerita/post)