Pengurus DKM Ini Tidak Layak Ditiru

Masjid Raya Aceh.
Sumber :
  • http://www.bairuindra.com

VIVA.co.id - Saya benar-benar miris melihat tindakan seorang pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) salah satu masjid jami di Kota Serang ini. Jumat siang, saya selalu menyempatkan diri mampir di salah satu masjid di Kota Serang.

Masjid ini menjadi favorit bagi saya karena memang tempatnya yang sejuk dan tertata rapih. Arsitektur masjid ini juga bagus, terlihat dari kubah besar, area shalat yang luas, ada serambinya pula. Sehingga tak jarang masjid ini dijadikan tempat pertemuan sejumlah orang, atau bahkan jadi tempat berjualan beberapa pedagang.

Setiap Jumat, masjid ini dipenuhi oleh ratusan orang, bisa lebih dari 500 orang. Sayang sekali, lebih banyak orang-orang yang berleha-leha, makan-makan di serambi masjid ketimbang lekas mengambil air wudhu untuk berzikir.

Namun, bukan aktivitas jual beli dan obrolan ngalor ngidul orang-orang yang membuat saya terusik, melainkan tindakan yang dilakukan oleh dua pengurus DKM. Berikut kronologinya.

"Pak, jangan ganti baju di sini. Bukan tempatnya, di luar, sana, sana, sana!"
Seorang bapak tua (pengurus DKM) berpakaian koko dan peci putih, bersarung belang, di tangannya ia mengapit sebuah tasbih menyuruh seorang bapak berumur 60 tahun segera ke luar dari dalam masjid. Nadanya keras, sehingga semua jamaah menoleh ke bapak yang ditunjuk oleh bapak pengurus DKM itu.

Si bapak yang tak tahu apa-apa tentang peraturan masjid cuma lihat kiri kanan. Barangkali ia merasa sangat malu, jadi tontonan semua jamaah. Paling tidak di dalam masjid sudah ada lebih dari 50 orang. Bapak ini baru selesai mandi di toilet masjid. Di tangan kiri bapak ini ada sarung belang yang warnanya agak pudar, di tangan satunya ia memegang sebuah koko putih yang agak menguning. Ia masuk mengenakan celana kolor yang hanya menutupi dari pusar hingga lutut. Mukanya keriput. Ia menyeringai malu-malu pada jamaah.

Si bapak bergegas keluar tanpa bilang apa-apa, karena ia sadar atas
kesalahannya. Saya pikir bapak ini baru pertama kali masuk ke masjid sebesar ini, sehingga mungkin saja dia tak tahu peraturannya. Sama seperti jamaah lainnya, saya yang tengah duduk bersila pun menengadahkan muka dan menyaksikan kejadian pengusiran tersebut. "Kasihan sekali bapak itu," kataku dalam hati.

Saya melihat ke kiri dan kanan sebisa saya, tak ada satu pun jamaah yang tertawa menonton kejadian tersebut. Malah para jamaah mungkin merasa kasihan dengan tindakan pengusiran tersebut.

Di tempat lain, saya pun pernah menyaksikan kejadian serupa. Kali ini bukan masjid melainkan musala. Di Jalan Ciwaru Raya Kota Serang ada sebuah musala kecil. Rabu (08/09/15) sekitar pukul 14.45 WIB, saya duduk bersila di atas sajadah barisan paling belakang. Di barisan depan saya, ada seorang pemuda berusia sekira 24 tahun juga tengah bersila menghadap kiblat. Di sampingnya ada sebuah tas hitam yang tampak cukup berat, ada pula air mineral yang disimpan dekat tas tersebut.

Aku tak mengetahui jelas apa yang sedang dilafalnya, entah zikir atau apa.
Kadang ia mengubah posisi duduknya menyamping, sehingga jelaslah mukanya yang putih itu. Ia mengenakan batik merah dan celana bahan hitam, seperti seorang eksekutif muda rupa-rupanya.

"Ring...Ring" saya mengira itu adalah nada tanda pesan masuk ke handpone pemuda itu. Ia membacanya dengan muka serius. Ia mengetik sebuah pesan yang agak panjang. Tak berapa lama, ia menelpon entah siapa. Duduknya masih menyamping. Pembicaraannya cukup
serius, seputar barang, pasar atau entah,  itulah yang saya dengar. Sekitar dua menit kemudian, pemuda ini menutup sambungan telepon. Ia kembali duduk menghadap kiblat.

Tak berapa lama, seorang bapak berumur sekitar 50 tahun berpakaian kaos putih lengan pendek dan celana selutut datang menghampiri si pemuda dan mencercanya sambil berdiri. "Mas, kalau mau main hp jangan di sini. Di luar
sana. Di sini juga jangan tidur-tiduran mas," nadanya tinggi sekali.
"Bapak, saya tidak main hp. Tadi memang saya menelpon itu pun darurat dan cuma 2 menit. Sama sekali saya tidak tidur-tiduran di sini. Saya malah nunggu salat Ashar," jawab si pemuda membela diri. "Iyah, kan saya capek ngeberesin musala ini, lihat itu kan saya capek," bapak itu melanjutkan cercaannya.

Si Bapak pergi setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya. Ia masuk ke dalam sebuah ruangan di dalam masjid. Ternyata bapak itu diikuti oleh si pemuda. Saya lihat, pemuda itu berdiri di depan pintu ruangan si bapak. Saat keluar, pemuda itu menyalami dan minta maaf kepada si Bapak.

"Bapak, saya minta maaf atas tindakan saya tadi. Tapi benar pak, saya di sini  niatnya untuk menunggu salat Ashar. Tidak ada yang lain pak. Tapi, kalau misalkan saya ini dilarang menunggu salat di sini, saya akan pindah ke masjid lain saja. Makasih pak. Saya pamit saja."
"Ya, mas. Kalau memang mau salat.. ya sudah di sini saja."
"Enggak pak. saya mungkin lebih baik di luar saja."

Kalau kita meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW mungkin kejadiannya tidak seperti ini. Seperti dijelaskan dalam suatu riwayat oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Ahmad, dan lainnya, suatu ketika Rasulullah bersama para sahabatnya sedang duduk di sebuah masjid. Mereka dikejutkan dengan kehadiran orang asing dengan tingkah kurang menyenangkan. Seseorang berkebangsaan Badui mendadak buang air kecil di pojokan masjid.

Sontak, tindakan orang Badui ini membuat sahabat nabi marah. Kata-kata
bernada keras pun meluncur dari lidah mereka. Para sahabat hendak mencegah air najis si Badui mengotori kesucian masjid. Menanggapi peristiwa ini, Rasulullah tetap tenang. Beliau justru melarang reaksi sahabatnya yang berlebihan itu dan membiarkan si Badui menuntaskan buang air kecilnya.

Setelah selesai, nabi lantas memberi nasihat bijak kepada si Badui tentang fungsi dan etika  memperlakukan masjid. “Berdirilah, ambilkan seember air dan guyurlah air kencing tersebut,” tutur Nabi kepada para sahabat. Mereka kemudian bangkit dan melaksanakan perintah ini.

”Fa innama bu‘itstum muyassiriin wa lam tub’atsu mu‘assirin. Sesungguhnya
kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat
kesulitan,” pesan nabi selanjutnya.

Sepenggal kisah ini membuktikan derajat kemuliaan akhlak Rasulullah. Dalam situasi yang sangat ganjil sekali pun, Rasulullah tetap menampilkan sisi ketawadu'an, berpandangan jernih, dan memecahkan persoalan dengan tanpa memberatkan. (http//www.nu.or.id)

Menegur orang di depan khalayak apalagi menggunakan nada yang tinggi tak semestinya dilakukan apalagi oleh seorang pengurus DKM. Apakah tidak ada cara yang lebih arif seperti berdiri dan mendekati orang yang salah dan
mempersilahkannya dengan cara yang baik pula, sehingga tak menjadi tontonan banyak orang. Semoga pengurus DKM itu sadar akan kesalahannya. (Cerita ini dikirim oleh Emi Rohemi, Serang-Banten)

(Punya cerita atau peristiwa ringan, unik, dan menarik di sekitar Anda? Kirim Cerita Anda melalui email ke ceritaanda@viva.co.id atau submit langsung di http://ceritaanda.viva.co.id/kirim_cerita/post)