Radio Siaran Internasional: Antara Masa Lalu dan Masa Kini
- REUTERS
VIVA.co.id - Kabar itu akhirnya muncul juga. Dewan Pengelola Penyiaran Voice of America (VOA) mengajukan proposal pengurangan sejumlah layanan siaran bahasa asing ke Kongres AS, termasuk siaran berbahasa Indonesia yang sudah mengudara selama 73 tahun.
Bagi pendengar radio siaran internasional, rasanya ini bukan kabar yang terlalu mengejutkan. Dalam kurun waktu sekitar 10 tahun terakhir, satu per satu siaran radio internasional memangkas siaran mereka atau malah turun sekaligus dari udara. Dari enam “raksasa” radio internasional siaran Bahasa Indonesia, tinggal Radio Jepang NHK World yang masih bertahan di udara.
Yang lainnya, seperti Radio Australia, Deutsche Welle, dan BBC sudah pamit dari gelombang SW dan menyisakan siaran internet serta kerjasama siaran dengan sejumlah radio lokal di Indonesia. Sementara Radio Nederland Siaran Indonesia (RANESI) tidak pakai basa basi lagi dan langsung menutup total siaran Indonesianya.
Isyarat itu memang sudah lama terdengar. Dalam setiap pertemuan rutin para punggawa radio internasional, kasak-kusuk selalu beredar.
Ketika tahun 2012 VOA mulai menutup sejumlah pemancar gelombang pendek (SW) nya, maka banyak yang memperkirakan ini hanya soal menghitung hari saja. Akankah rekomendasi Dewan Pengelola Penyiaran VOA akhirnya benar-benar mewujudkan kasak-kusuk itu?
Yang rasanya lebih patut menjadi pertanyaan adalah: Kenapa? Jawaban paling standar dari para pengelola radio itu adalah pudarnya pamor radio siaran internasional, serta kemajuan teknologi media yang pada akhirnya memberikan lebih banyak pilihan kepada para pendengar.
Padahal pernah ada masa jauh sebelum teknologi internet membuat dunia jadi tanpa batas, radio siaran internasional yang mengudara di gelombang pendek (SW) sudah lebih dulu mengajak pendengarnya mengglobal. Pendengar di berbagai pelosok Indonesia sekalipun bisa mengikuti perkembangan dunia, mulai dari informasi-informasi aktual sampai ke pelajaran-pelajaran bahasa asing gratis.
Klub-klub pendengar pun bermunculan dengan anggota dari berbagai daerah dan bahkan ikatan persaudaraan antar mereka dengan para penyiarnya yang masih sangat erat hingga kini.
Pernah ada masa ketika media-media di Indonesia tidak bisa bicara banyak menghadapi pemberangusan informasi oleh pemerintah berkuasa, kabar paling aktual tentang negara ini justru disiarkan dari radio-radio internasional ribuan kilometer di seberang laut seperti BBC atau Radio Australia. Disinilah muncul era legenda-legenda radio seperti Ebet Kadarusman dan Nuim Khaiyat yang tiada duanya.
Ah, mengenang masa-masa jaya radio itu memang indah. Namun perubahan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dilawan dengan kenangan seindah apapun.
Pertanyaannya sekarang adalah maukah kita mengikuti perubahan itu? “Kita” di sini mengacu ke orang radio itu sendiri, bukan pendengar. Pendengar justru lebih cepat move-on di tengah maraknya berbagai pilihan media. Mereka hanyalah konsumen yang memilih mana yang lebih baik dari berbagai pilihan yang ada.
Teknologi Baru
Secara teknologi ada yang namanya Digital Radio Mondialle (DRM). Secara sederhana teknologi ini memungkinkan gelombang analog termasuk SW yang dianggap jadul itu bisa mengangkut sinyal-sinyal digital termasuk sinyal suara dengan kualitas suara yang jernih.
Orang yang pernah mendengarkan radio SW yang kresek-kresek pasti amat bisa menghargai teknologi ini. Bayangkan gelombang SW dengan jangkauan sampai ribuan kilometer itu kualitasnya bisa digital. Ini mimpi yang jadi nyata! Tapi sayangnya teknologi ini belum berkembang pesat, meskipun sudah diujicobakan beberapa lembaga penyiaran termasuk BBC dan Deutsche Well dan juga VOA sendiri.
Selain itu nyaris semua radio kini juga sudah mengadaptasi teknologi online yang semakin berkembang pesat. Rasanya sudah ketinggalan jaman sekali kalau ada radio yang tidak memiliki streaming online. Teknologi ini memungkinkan siaran radio kembali mengglobal seperti masa-masa siaran SW dulu bahkan jangkauannya bisa lebih luas lagi.
Ada pula teknologi yang disebut podcasting yang memungkinkan potongan-potongan audio siaran radio disimpan dan didengarkan kapanpun, ibarat menggunting potongan artikel di koran untuk kemudian dibaca belakangan. Berbagai radio internasional itupun kini sudah memanfaatkan media sosial. Facebook VOA siaran Indonesia misalnya baru saja merayakan 2 juta pengikut.
Upaya menjangkau lebih banyak pendengar juga dilakukan radio-radio siaran internasional itu dengan menggandeng radio afiliasi di Indonesia untuk mengudarakan acara-acara mereka. VOA misalnya memiliki lebih dari 200 radio afiliasi di seluruh Indonesia. Begitu juga dengan BBC, Radio Australia, Deutsche Welle dan Radio Jepang NHK World.
Masalahnya kenapa semua upaya itu masih berujung pada penutupan berbagai radio siaran internasional? Kata kuncinya mungkin ada di satu hal yang paling penting dari semua hal diatas, satu hal yang paling prinsip dari media apapun. Kata kunci itu adalah “KONTEN!”
Bicara konten, ada satu contoh kisah paling menarik yang datang dari negara asal VOA sendiri. Di awal tahun 2006 Howard Stern, salah satu host radio paling kontroversial namun dengan jumlah pendengar yang tinggi, memulai siaran di salah satu penyedia radio satelit berlangganan. Fenomena Stern ini melabrak pemikiran konvensional tentang radio yang yang bersifat “free to air” alias gratis.
Bayangkan, untuk mendengarkan acaranya, pendengar harus membayar biaya langganan radio satelit dan punya perangkat penerima khusus yang jauh berbeda dari radio biasa. Toh pendengarnya tetap berbondong-bondong pindah walau harus membayar. Mengapa? Terlepas dari sosok Stern yang sangat kontroversial, ini adalah contoh betapa konten jauh lebih penting dari segala perkembangan teknologi itu.
Orang mendengarkan siaran radio karena isinya, karena kontennya, bukan karena teknologi. Konten lah yang mendatangkan jumlah pendengar atau audience. Jadi memutuskan mengakhiri siaran karena alasan survei jumlah pendengar yang menurun sama saja dengan mempertanyakan apakah SDM-SDM nya cukup segar untuk menyajikan konten-konten bermutu, atau malah tengah terjebak dalam kerumitan rutinitas-rutinitas pekerjaan sehingga tidak sempat melihat dan mengikuti berbagai perkembangan baru di luar sana?
Atau jangan-jangan SDM dan manajemennya masih asik hidup di masa kejayaan radio di masa lalu?
Banyak memang yang mengaitkan siaran radio internasional dengan mesin propaganda di masa perang, mulai dari era perang dunia pertama sampai ke era perang dingin. Namun era itu sudah lama berlalu. Saat ini adalah masa-masanya soft diplomacy dan justru disitulah radio-radio internasional ini menjadi semakin relevan keberadaannya, dan rasanya tidak ada orang yang lebih paham tentang soft diplomacy selain Barack Obama.
* Rane Hafied - mantan penyiar Radio Singapura Internasional dan Radio Jepang NHK World