Disrupsi Teknologi dalam Industri Asuransi di Indonesia
- duitpintar.com
VIVA – Fenomena disrupsi teknologi yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah membawa perubahan mendasar. Bahkan bersifat radikal dalam berbagai sektor industri di Indonesia. Meliputi sektor transportasi, retail, kuliner, tourism, jasa, perhotelan, perbankan dan tak terkecuali industri asuransi.
Masifnya perkembangan teknologi tentunya berdampak dalam setiap sektor yang berhubungan langsung dengan masyarakat luas. Fungsi industri perasuransian dalam memberikan layanan jasa perlindungan, pertanggungan, pengelolaan, terhadap risiko yang dihadapi masyarakat, mau tidak mau wajib memperhatikan tren global yang mengarah pada era Automation of Work, sebagaimana diuraikan dalam Mckinsey Global Institute Report (Desember 2017).
Di awal Januari 2018, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyatakan bahwa teknologi digital tidak akan memengaruhi jumlah pegawai atau adanya pengurangan pegawai (pemutusan hubungan kerja/PHK), dengan dalil bahwa industri asuransi masih membutuhkan agen untuk mendapatkan nasabah atau pembeli polis 1 .
Namun, berbagai kajian aktual dari dalam dan luar negeri justru menunjukkan hal sebaliknya. Mckinsey Global Institute memprediksikan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun mendatang, teknologi akan memangkas pekerja di bidang finance. Termasuk pekerjaan yang bersifat interaksi dengan konsumen (400-800 juta pekerja akan digantikan oleh otomatisasi).
Lebih lanjut, perkembangan aktual di dunia perbankan juga menguatkan hipotesis bahwa digital banking, penggunaan Artificial Inteligence (AI), fintech dan aplikasi digital secara perlahan membawa sejumlah tantangan bagi sektor perbankan ke depan.
Ditambah lagi, pada tahun 2017, dunia asuransi jiwa di Indonesia digemparkan oleh sejumlah pelaporan pidana terhadap perusahaan asuransi. Salah satunya ialah pelaporan terhadap Presiden Direktur PT Asuransi Allianz Life Indonesia, yang menjadi kasus perkara pidana pertama terhadap suatu perusahaan asuransi di Indonesia.
Bahwa perkembangan disrupsi teknologi yakni antara lain online sales technologies, advanced analytics, machine learning, the Internet of Things, dan Virtual Reality perlu disikapi secara bijak. Dan perusahaan asuransi Indonesia perlu memiliki kemampuan adaptif dalam menangkap momentum perkembangan tersebut.
Adapun memang, perlu disadari bahwa kerangka hukum peraturan perundang-undangan usaha perasuransian di Indonesia masih bersifat konvensional dan berada jauh di belakang perkembangan teknologi. Oleh karena itu, industri asuransi Indonesia wajib mengedepankan aspek tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dalam menghadapi era disrupsi teknologi yang sangat cepat ini.
Perlu dipahami bahwa tantangan yang mungkin muncul dalam era digitalisasi ini antara lain ialah potensi efisiensi karyawan, potensi permasalahan sengketa atas layanan dan produk asuransi digital, aspek keamanan data pemegang polis, aspek potensi cyber crime, dan sosialisasi dengan tertanggung atau pemegang polis.
Berdasarkan uraian di atas, diperlukan sejumlah tindakan konkret yang perlu dipertimbangkan oleh stakeholder di lingkup perasuransian Indonesia ini. Pertama, melakukan kajian dan sosialisasi yang komprehensif mengenai digitalisasi dalam industri perasuransian. Serta melakukan usulan revisi terhadap subtansi peraturan OJK dan atau pedoman GCG di bidang perasuransian agar dapat sejalan dengan perkembangan teknologi.
Kedua, perlu adanya concern khusus dari setiap perusahaan yang bergerak di bidang asuransi terhadap pembangunan infrastruktur IT. Mencakup pula re-training dan atau rekrutmen SDM tenaga di bidang IT demi menunjang digitalisasi asuransi.
Ketiga, memastikan tata kelola GCG diterapkan. Yakni penerapan aspek transparansi, akuntabilitas, dan fairness dalam pemasaran polis, pencairan klaim, dan penyelesaian sengketa di bidang asuransi.
Keempat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu melakukan adaptasi yang tidak kaku terhadap kenyataan riil perkembangan teknologi ke depan, termasuk dalam memfasilitasi produk-produk asuransi digital. Dan apabila diperlukan, turut secara aktif memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait validitas produk-produk asuransi digital ke depan.
Lebih lanjut, perlu disadari bahwa tak bisa dipungkiri berbagai aturan atau pedoman yang dikeluarkan oleh regulator mungkin tidak akan memberikan suatu kerangka hukum yang penuh, komprehensif, dan praktikal bagi industri asuransi.
Di sinilah dibutuhkan peran aktif dari asosiasi asuransi, praktisi asuransi, akademisi, dan segenap stakeholder terkait untuk terus melahirkan suatu best practices GCG dan memastikan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan dijalankan oleh penyelenggara bisnis perasuransian di Indonesia dalam era digitalisasi ini. (Tulisan ini dikirim oleh Ezra Awang & Nathania Gohan)