Mempertanyakan Kembali Perguruan Tinggi Asing di Indonesia

Ilustrasi/Penerimaan mahasiswa baru
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Perguruan Tinggi atau PT asing diperkenankan menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah NKRI. Hal itu seperti termaktub dalam Pasal 90 Bab VI UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Sesuai administratif perundang-undangan, menyelenggarakan pendidikan tinggi oleh PT negara lain di Indonesia adalah sah.  
 
Namun masalahnya, sejak UU Pendidikan Tinggi diketuk palu oleh DPR, penolakan dari kalangan akademisi masih saja terjadi. Salah satu yang ditolak adalah pasal yang membolehkan negara lain menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah NKRI. Terbukti, hingga kini beberapa akademisi terus menyuarakan penolakan itu.
 
Penulis menangkap beberapa persoalan seandainya PT asing memang benar-benar membuka cabang di tanah air. Pertama, persoalan ideologi pendidikan yang dikhawatirkan “membonceng” penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh negara lain di Indonesia. Persoalan ideologi ini bukan hal yang bisa dianggap remeh, apalagi di tengah politik dan sosial di Indonesia yang kian menghangat belakangan ini.
 
Dengan masih maraknya pertentangan ideologi di tahun politik, tentunya kehadiran perguruan tinggi asing akan semakin menambah sesak. Apalagi jika isu ini “digoreng” dan “dibumbui” dengan berbagai tuduhan dan hoax, tentunya akan semakin memanaskan konstelasi politik tanah air.  
 
Ditambah, dalam enam ayat Pasal 90 UU Pendidikan Tinggi, tidak disebutkan kewajiban PT asing tunduk pada ideologi Pancasila dan UUD 1945. Ini tentu menjadi problem dan kekhawatiran tersendiri bagi beberapa kalangan. Hanya disebutkan dalam ayat (5) “Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung kepentingan nasional.” Klausul “kepentingan nasional” tentu masih harus dipertegas.
 
Kedua, penyelenggaraan pendidikan tinggi di tanah air, baik negeri maupun swasta, belum memiliki kualitas optimal. Data terbaru yang dirilis Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking 2017/2018 terhadap lebih dari 959 Perguruan Tinggi di 84 negara di dunia, menempatkan Universitas Indonesia (UI) di ranking 277 dunia. Padahal, kita tahu UI adalah kampus paling bergengsi dan terhormat di negara ini. Ini tentu masih dibutuhkan upaya lebih serius lagi untuk membawa kampus-kampus dalam negeri di kancah internasional.  
 
Ada kekhawatiran jika PT asing beroperasi, maka itu akan menggerus PT dalam negeri, khususnya swasta. Alasan tersebut masuk akal, mengingat beberapa PT swasta harus menjalankan roda pendidikan dengan kondisi keuangan yang tersengal-sengal. Mereka tentu tidak akan bisa bersaing dengan PT asing yang tentunya memiliki modal dan jaringan kuat. Jika ini dibiarkan, maka itu sama saja “membunuh” perguruan tinggi swasta.  
 
 Ketiga, bagaimana keberpihakan Pemerintah terhadap PT swasta, seandainya PT asing benar-benar beroperasi di dalam negeri. Kita tahu, akreditasi adalah momok menakutkan bagi sebagian PT swasta karena persyaratan yang demikian banyak. Mulai dari badan penyelenggara yang nonprofit, dosen yang memiliki NIDN, rasio dosen, luas lahan dan syarat lain yang ketat. Tentunya, hal yang sama juga harus diberlakukan kepada PT asing, bahkan harus lebih ketat lagi. Tanpa keberpihakan Pemerintah, maka lambat laut akan memusnahkan PT swasta di banyak tempat, yang kita tahu napas mereka semakin “Senin-Kamis”.  
 
Keempat, paradigma pendidikan asing yang belum tentu sama dengan pendidikan nasional. Ini tentu harus melalui proses penyaringan yang ketat dari Kemenristek Dikti tentang rencana membuka PT asing di wilayah Indonesia. Ibarat kata there’s no free lunch (tidak ada makan siang gratis).
 
Pemerintah harus menelisik lebih dalam mengapa negara lain tertarik menginvestasikan uang mereka di bidang perguruan tinggi di Indonesia. Pemerintah harus memastikan negara lain memiliki cara pandang yang sama dengan konsep pendidikan nasional.  
 
Empat persoalan di atas, menurut hemat penulis, harus diupayakan solusi yang tepat dan menguntungkan semua pihak. Baik Pemerintah dan kelompok yang menolak PT asing, harus membuka diri dan menghargai argumentasi masing-masing. Jangan dilupakan bagian terpenting dalam tujuan utama pendidikan di tanah air, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.
 
Hal itu gamblang dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan kewajiban konstitusional yang harus dijalankan oleh Negara. Hal ini merupakan perwujudan cita-cita Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Mengingat pada zaman penjajahan, Bangsa Indonesia berada dalam posisi tidak terdidik dan pendidikan hanya diperoleh bagi kaum tertentu.  
 
Bahwa pendidikan kemudian juga menjadi hak bagi setiap warga Negara telah ditegaskan dalam batang tubuh UUD 1945 pada pasal 31 ayat (1). Dalam norma hukum Internasional, hak warga negara memperoleh pendidikan juga termaktub dalam Universal Declaration on Human Rights pasal 26 bahwa pendidikan yang bertujuan untuk untuk mengembangkan kemanusiaan, wajib diterapkan untuk dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
 
Dengan demikian, upaya menghadirkan negara lain dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia harus ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Jangan sampai kehadiran PT asing hanya menambah kesenjangan antara kelompok terdidik dan tidak terdidik. Hal yang harus dihindari adalah PT asing tidak boleh menjadikan Indonesia sebagai tempat ekspansi bisnis semata yang tidak menghiraukan nilai-nilai luhur tri dharma perguruan tinggi. (Tulisan ini dikirim oleh Dr. Budiharjo, M.Si, Wakil Direktur Program Pascasarjana Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama)