Rhenald Kasali Kecam Hinaan Gus Miftah ke Penjual Es Teh, Soroti Mudahnya Dapat Gelar Tokoh Agama

Akademisi, Rhenald Kasali
Sumber :
  • YouTube/Rhenald Kasali

Jakarta, VIVA – Akademisi, Rhenald Kasali turut berkomentar terkait aksi Gus Miftah mengolok-olok penjual es teh dalam acara pengajian di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada Rabu 20 November 2024 lalu.

Penulis buku Disruption itu tampak sangat geram melihat video viral kala Miftah menghina dan merendahkan penjual es teh di depan publik.

“Lebih baik jadi penjual es teh daripada menjual agama,” ucap Rhenald Kasali melalui akun Instagram pribadinya, dlihat VIVA Jumat 6 Desember 2024.

Gus Miftah

Photo :
  • Tangkapan layar YouTube DH Entertainment News

Rhenald menilai, hal semacam ini bisa terjadi lantaran gelar tokoh agama seperti gus, kiai, ustaz, pendeta dan lain-lain mudah sekali didapatkan tanpa perlu mengenyam pendidikan yang memadai.

“Ini masalahnya sekarang karena banyak sekali orang yang bisa menjadi agamawan, apakah itu pendeta, apakah itu ustaz, kiai dan apa sajalah tokoh masyarakat meski tidak sekolah dengan memadai. Ini problem (masalah),” kata dia.

Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, untuk menjadi ustaz atau pastor, harus melalui pendidikan yang panjang, bahkan sampai puluhan tahun. Saat ini, kata dia, pemeran ustaz di sinetron saja bisa menjadi ustaz sungguhan di kehidupan nyata.

Rhenald Kasali juga tampak miris melihat sejumlah tokoh agama tertawa terbahak-bahak di atas panggung usai Miftah menghina penjual es teh. Dia lantas mempertanyakan moral para tokoh agama itu.

“Saya lihat ada empat orang yang tertawa terbahak-bahak. Ini moralnya bagaimana menertawakan tukang es. Padahal kalau kita lihat, agama itukan justru mengajarkan perlindungan kepada orang kecil, mengajarkan Anda yang kaya-kaya ini agar berempati kepada orang susah,” ucapnya.

Usman Ali, jadi yang tertawa paling keras saat Gus Miftah hina penjual es teh

Photo :
  • Istimewa

Rhenald Kasali berharap masyarakat Indonesia meniru Korea Selatan dan Jepang untuk memboikot tokoh-tokoh tersebut agar tidak lagi muncul di publik.

“Di Korea, di Jepang orang-orang yang melakukan kesalahan, walaupun minta maaf, itu sudah tidak bisa kembali lagi. TV tidak mau ngundang, kemudian pembuat acara tidak mau ngundang,” kata dia.

“Kalau kita ini malah dipolitisir, malah dipakai oleh partai politik karena punya massa banyak. Coba pikir kembali terhadap tokoh-tokoh seperti ini, apakah layak untuk kita taruh di hadapan publik?” tandasnya.