Pendekatan Hati-hati Beijing di Tengah Pemilu AS
- CNN
Jakarta, VIVA – Sementara pemilihan umum di Amerika Serikat (AS) sedang berlangsung, negara-negara yang berseteru di seluruh dunia berada di posisi yang sulit antara memastikan stabilitas dan mengantisipasi potensi perubahan dalam kebijakan Amerika.
Demokrasi elektoral pada dasarnya melibatkan ketidakpastian, terutama ketika suatu negara tidak yakin tentang bagaimana hubungannya dengan satu-satunya negara adikuasa dapat berkembang. Dalam konteks ini, Tiongkok tampaknya bertaruh pada kehati-hatian.
Langkah dan tindakan terkini oleh Beijing tampaknya menunjukkan bahwa Beijing tidak ingin menjadi topik pemilihan domestik dalam pemilihan umum Amerika. Baik secara retorika maupun kebijakan, Beijing telah memahami bahwa penyebutan apa pun tentang negara mereka, terutama karena perbuatan mereka sendiri, akan merugikan kepentingan jangka panjang hubungan AS-Tiongkok. Ironisnya, Beijing telah memilih untuk mundur secara strategis.
Secara historis, pemilu AS sering kali menampilkan Tiongkok sebagai titik fokus retorika politik, dengan para kandidat dari kedua partai besar memanfaatkan sentimen anti-Tiongkok untuk menggalang dukungan. Dinamika ini membuat Tiongkok berhati-hati terhadap tindakan atau pernyataan yang dapat meningkatkan ketegangan atau menjadikannya target dalam wacana elektoral AS.
Dilansir Singapore Post, Sabtu 24 Agustus 2024, beberapa faktor yang menyebabkan sikap hati-hati Tiongkok. Pertama, Beijing sangat menyadari sifat politik elektoral AS yang tidak stabil. Setiap tindakan agresif di wilayah yang disengketakan atau pernyataan provokatif dapat diperkuat oleh kandidat Presiden AS, yang mengarah pada kebijakan yang lebih keras terlepas dari partai mana yang menang. Para diplomat Tiongkok memahami bahwa menjadi tema utama dalam debat elektoral AS pada akhirnya akan menghasilkan kebijakan pasca-pemilu yang lebih ketat.
Kedua, Tiongkok berfokus pada upaya menjaga stabilitas hubungan diplomatiknya dengan AS, mengingat adanya saling ketergantungan ekonomi yang signifikan antara kedua negara. Kebijakan Beijing di AS telah berkembang dengan mempelajari pelajaran yang sulit dan kini bertujuan untuk menghindari tindakan yang dapat memicu tindakan balasan atau mempersulit negosiasi perdagangan yang sedang berlangsung.
Namun, pada saat yang sama manuver strategis Beijing tampaknya menunjukkan fasad diplomatik yang diatur dengan cermat yang dirancang untuk memproyeksikan citra perdamaian sambil menyiapkan panggung bagi kemungkinan pergeseran geopolitik yang signifikan pasca-pemilu.
Dalam beberapa bulan terakhir, Tiongkok telah menekankan komitmennya terhadap stabilitas global dan dialog kooperatif, menampilkan dirinya sebagai pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam urusan internasional. Pendekatan ini tampaknya diperhitungkan untuk memengaruhi persepsi global dan mengurangi potensi reaksi balik terhadap kebijakan mereka selama periode meningkatnya kepekaan politik AS.
Misalnya, Tiongkok baru-baru ini menahan diri untuk tidak mengomentari keputusan Presiden AS Joe Biden untuk keluar dari pemilihan presiden. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Mao Ning baru-baru ini menyatakan bahwa, "Pemilu AS adalah masalah internal," dan tidak memberikan komentar lebih lanjut ketika ditanya tentang reaksi Tiongkok. Keheningan ini mungkin merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk menjaga netralitas sambil mempersiapkan penyesuaian kebijakan yang signifikan berdasarkan hasil pemilu AS.
Dengan mengambil sikap yang tidak mencolok, Partai Komunis Tiongkok (PKT) bertujuan untuk meminimalkan visibilitasnya dalam wacana elektoral AS. Hal ini melibatkan penghindaran manuver militer yang provokatif di wilayah yang disengketakan seperti Laut Cina Selatan (LCS), menahan diri dari kritik tajam terhadap kebijakan AS, dan mengelola isu-isu sensitif seperti Taiwan dengan menahan diri.
Diskusi tingkat tinggi baru-baru ini dengan Filipina tentang de-eskalasi perselisihan di LCS merupakan contoh pendekatan ini. Langkah ini kemungkinan bertujuan untuk mengurangi ketegangan regional dan memproyeksikan citra kooperatif menjelang pemilihan umum AS. Terlepas dari niatnya, upaya de-eskalasi mengirimkan pesan langsung ke Washington dan menunjukkan bahwa strategi Beijing dapat berubah secara signifikan dari kehati-hatian menjadi konfrontasi setelah pemilihan umum.
Sebagai kesimpulan, dampak sebenarnya dari strategi Beijing mungkin baru akan terlihat setelah pemilihan presiden AS. Pergeseran kepemimpinan AS dapat membawa perubahan dalam kebijakan luar negeri Amerika, tetapi kecil kemungkinan kebijakan yang longgar terhadap Tiongkok akan muncul.
Di sisi lain, Beijing kemungkinan memposisikan dirinya untuk menanggapi perubahan ini dengan cepat, yang berpotensi menghasilkan keputusan besar dan penyesuaian kebijakan yang dapat membentuk kembali lanskap geopolitik.
Oleh karena itu, pendekatan hati-hati Tiongkok menjelang pemilihan AS tampaknya merupakan langkah strategis yang dirancang untuk menghindari menjadi pion elektoral, sementara pada saat yang sama, menutupi niat sebenarnya dan mempersiapkan strategi pasca-pemilu yang berpotensi lebih tegas. Dalam hal ini, pendekatan PKT harus ditangani dengan lebih hati-hati, dengan negara-negara yang berpikiran sama bersiap untuk eskalasi yang lebih intensif pasca pemilihan Amerika.