Pemerintah Daerah China Terpaksa Beli Rumah di Tengah Krisis Ekonomi

Kota Beijing, China.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Pasca keruntuhan besar Evergrande, perusahaan real estat terbesar di Tiongkok, dan beberapa perusahaan terkemuka lainnya seperti Country Garden, Soho, Sino Pride, Unispace, Man Hing Hong, Top Capital, Vivid Invest, dan Vanke, pasar perusahaan real estat China terus menurun.

Dilansir Daily Mirror, Senin 27 Mei 2024, meskipun pemerintah pusat berupaya untuk meremajakan sektor ini, pasar masih bermasalah. Ini adalah masalah kritis bagi Partai Komunis China (PKC) karena sektor real estate mewakili seperlima perekonomian China.

Kegagalan untuk menghidupkan kembali sektor ini dapat memicu krisis yang parah pada perekonomian yang sudah mengalami stagnasi, dan hal ini menunjukkan pentingnya sektor ini bagi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok.

Dalam langkah strategis untuk menyediakan perumahan yang terjangkau, China telah mengumumkan bahwa otoritas pemerintah daerah akan diizinkan untuk membeli rumah dengan harga yang “wajar”. Wakil Perdana Menteri He Lifeng mengungkapkan kebijakan tersebut dalam pertemuan online mengenai kebijakan perumahan, seperti dilansir kantor berita resmi Xinhua.

Untuk lebih merangsang permintaan properti yang lesu, China berencana menurunkan suku bunga pinjaman hipotek dan rasio uang muka bagi pembeli rumah, sebagaimana diuraikan dalam tiga pernyataan yang dikeluarkan oleh bank sentral. Namun, efektivitas program pembelian pemerintah dalam merangsang permintaan sektor swasta masih belum jelas.

Meskipun penyelesaian inventaris akan meningkatkan arus kas bagi pengembang dan meningkatkan stabilitas keuangan mereka, hal ini tidak mengatasi kurangnya kepercayaan pada sektor swasta, yang hanya dapat dipulihkan jika pemerintah mendefinisikan kembali peran investasi properti.

Ilustrasi/Buruh China

Photo :
  • Businessinsider.com

Inisiatif-inisiatif ini ditanggapi dengan skeptis oleh para ekonom baik di China maupun internasional. Banyak pihak yang berpandangan negatif, dengan alasan perekonomian China saat ini sedang mengalami deflasi dan tidak ada tanda-tanda tren kenaikan. Perspektif ini menggarisbawahi tantangan yang dihadapi pemerintah China dalam upayanya menstabilkan dan menstimulasi perekonomian.

Pakar ekonomi juga tidak optimis terhadap kebijakan real estate Partai Komunis China. Mereka mencatat meningkatnya urgensi untuk menciptakan stabilitas pada pasar perumahan sebagai suatu perkembangan yang positif, terutama mengingat penurunan tajam harga rumah dari bulan ke bulan yang terjadi pada bulan April, yang menandai penurunan paling tajam dalam siklus saat ini.

Meskipun hal ini dapat mengindikasikan stabilisasi sentimen di China, potensi pemulihan harga perumahan hanyalah permulaan. Tingginya persediaan perumahan yang tidak terjual kemungkinan akan terus mengurangi investasi real estat, sehingga membebani perekonomian tahun ini.

Bruce Pang, ekonom Jones Lang Lasalle di Hong Kong, mencatat bahwa penurunan suku bunga hipotek bank sentral dan pengurangan rasio uang muka menunjukkan bahwa Beijing menggunakan kebijakan moneter untuk memenuhi permintaan dengan harapan pemulihan yang menentukan.

Namun, ia mengingatkan bahwa pemulihan yang berkelanjutan memerlukan kerja sama dari pendapatan masyarakat, kepercayaan dunia usaha, sentimen pasar, dan ekspektasi pertumbuhan ekonomi.

Tantangan yang signifikan adalah terkikisnya kepercayaan warga terhadap PKC selama beberapa tahun terakhir. Sentimen yang ada adalah keengganan untuk melepaskan uang hasil jerih payah, yang disebabkan oleh kehancuran ekonomi akibat pandemi COVID-19 dan kebijakan lockdown ketat yang diterapkan oleh Partai Komunis China.

Para petugas medis bersiap menyambut kedatangan warga negara asing yang hendak disuntik vaksin COVID-19 di Beijing, China.

Photo :
  • ANTARA/M. Irfan Ilmie

Dampak dari tindakan ini masih terasa di seluruh negeri, di mana banyak orang kehilangan pekerjaan dan menghabiskan tabungan mereka. Dengan sumber daya keuangan yang terbatas dan masa depan yang tidak pasti, masyarakat ragu-ragu untuk melakukan pembelian dalam jumlah besar.

Dalam kondisi seperti ini, pemulihan ekonomi China yang positif tampaknya masih jauh dan memberikan bayangan terhadap masa depan perekonomian negara tersebut.

Sebaliknya, beberapa ahli percaya bahwa kebijakan yang ditujukan untuk membersihkan inventaris saat ini lebih efektif dibandingkan kebijakan sebelumnya. Secara psikologis, kebijakan-kebijakan ini dapat membuat investor merasa bahwa pemerintah menanggung beban keuangan, sehingga mengalihkan risiko yang terkait dengan pasar properti ke bank dan pemerintah daerah, yang merupakan entitas yang sedang bergulat dengan tekanan ekonomi.

Meskipun berbagai langkah kebijakan telah diterapkan sejak tahun 2022, China belum berhasil merevitalisasi sektor propertinya. Sektor ini, yang dulu menyumbang seperlima kegiatan perekonomian negara, terus menjadi beban pertumbuhan. Selama beberapa tahun terakhir, semakin banyak pengembang yang tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang mereka, dan beberapa pengembang, termasuk China Evergrande Group, diberi mandat untuk melikuidasi.

Sektor perbankan masih ragu-ragu untuk menanggapi dorongan konsisten Beijing untuk meningkatkan kredit ke sektor properti yang sedang mengalami kesulitan, terutama karena risiko bertambahnya kredit macet.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah pusat dan daerah di China menerapkan kebijakan yang bertujuan mengurangi persediaan rumah yang tidak terjual. Kota-kota besar seperti Beijing dan Shenzhen telah melonggarkan pembatasan pembelian rumah, dan beberapa kota telah memperkenalkan kebijakan yang memungkinkan pembeli rumah menukar rumah lama mereka dengan yang baru. Meskipun ada upaya-upaya ini, sektor properti tetap menjadi masalah yang menantang bagi perekonomian China.