Angka Perkawinan Indonesia Merosot, Ini 5 Alasan Orang Enggan Menikah
- Pixabay
Jakarta – Data terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa semakin banyak penduduk Indonesia yang menunjukkan Angka Perkawinan yang merosot.
Menurut Laporan Statistik Indonesia 2024, terdapat kecenderungan penurunan yang cukup signifikan dalam jumlah pernikahan selama enam tahun terakhir. Namun, penurunan yang paling mencolok terjadi dalam tiga tahun terakhir.
Mulai dari tahun 2021 hingga 2023, jumlah pernikahan di Indonesia turun sebanyak 2 juta. Tren ini teramati hampir di seluruh wilayah. Misalnya, di DKI Jakarta terjadi penurunan hingga hampir 4 ribu pernikahan. Sedangkan di Jawa Barat, penurunan mencapai hampir 29 ribu.
Meskipun begitu, tidak semua provinsi mengalami penurunan dalam jumlah pernikahan. Beberapa provinsi bahkan mencatatkan peningkatan selama tiga tahun terakhir.
Bila ditinjau dari data laporan Statistik Indonesia tahun 2022 dan 2021, terlihat bahwa jumlah pernikahan di Indonesia telah mengalami penurunan secara konsisten dalam enam tahun terakhir.
Kemudian, beberapa studi terbaru menemukan beberapa faktor yang menyebabkan tingkat pernikahan di generasi muda menurun, simak penjelasannya berikut ini:
1. Tekanan Sosial
Tekanan sosial seperti ketakutan akan kegagalan pernikahan mempengaruhi tingkat pernikahan, hubungan seksual, dan keinginan untuk memiliki anak. Generasi muda menunda belajar mengemudi, keluar dari rumah orang tua, berkencan, dan menikah.
Faktor-faktor seperti ini bisa terkait dengan tingkat depresi yang lebih tinggi pada generasi baru, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hasrat seksual.
2. Distorsi Digital
Distraksi media online, hiburan dan media sosial membuat interaksi sosial secara fisik semakin jarang dilakukan. Pilihan seperti menonton video streaming dan bermain game online yang mudah diakses bisa mendorong rasa malas untuk berinteraksi di dunia nyata.
Merajalelanya permainan daring, hiburan, dan interaksi sosial online telah menciptakan generasi yang lebih terpaku pada aktivitas digital. Pergeseran ini dapat berdampak negatif pada hubungan dunia nyata, menyebabkan penurunan kepuasan dalam hubungan.
Aplikasi kencan dan budaya kencan singkat, meskipun menyediakan lebih banyak opsi, juga datang dengan tantangan seperti perilaku kasar, konten eksplisit, dan peningkatan kecemasan dan depresi di antara pengguna.
3. Perubahan Prioritas dan Orientasi Karier
Generasi milenial sering kali memberikan prioritas pada karier mereka daripada pernikahan. Persaingan untuk mencapai kesuksesan profesional dan tujuan pribadi menjadi lebih penting, sehingga banyak yang melihat pernikahan sebagai hambatan potensial terhadap usaha pribadi mereka.
Bentuk pernikahan tradisional dianggap memerlukan pengorbanan signifikan, dan para generasi muda mungkin enggan membuat pengorbanan tersebut ketika mereka masih dalam proses penemuan diri.
4. Rasa Takut dengan Komitmen
Ide komitmen, yang melekat pada pernikahan, dapat menjadi intimidasi bagi generasi muda. Rasa takut kehilangan otonomi dan kemandirian adalah faktor yang signifikan.
Kultur kencan singkat, di mana hubungan seringkali bersifat sementara dan difokuskan pada kepuasan seksual, berbeda dengan kesan kekal yang terkait dengan pernikahan. Komitmen dapat dianggap sebagai ancaman terhadap keinginan akan kebebasan pribadi.
5. Perubahan Konsep Kebahagiaan dan Pemenuhan
Penelitian menunjukkan bahwa generasi muda lebih cenderung percaya bahwa pernikahan bukan satu-satunya sumber kebahagiaan. Pengejaran kebahagiaan dan pemenuhan pribadi lebih diprioritaskan daripada harapan masyarakat terkait pernikahan.
Tingginya tingkat depresi dan kecemasan mungkin berkontribusi pada penurunan minat dalam membentuk hubungan yang langgeng, karena individu fokus pada kesejahteraan dan pengalaman hidup mereka sendiri.
Meskipun faktor-faktor ini berkontribusi pada tren menghindari atau menunda pernikahan, penting untuk dicatat bahwa pandangan individu bervariasi, dan sikap masyarakat terhadap pernikahan terus berkembang