Viral Seorang Kakek Tak Punya Kewarganegaraan, Bertahan Hidup dengan Jual Tisu di MRT
- Asiaone
Singapura – Media sosial sempat dihebohkan dengan seorang kakek-kakek berusia 76 tahun yang kini hidup di Singapura. Ia sebenarnya lahir di Malaysia, tapi telah tinggal di Singapura selama lebih dari 70 tahun. Namun, kakek bernama Goh Thai Peng itu tak memiliki kewarganegaraan.
Melansir dari laman AsiaOne, Goh Thai Peng tidak memiliki keluarga yang dapat dimintai bantuan, sehingga pria berusia 76 tahun ini menghabiskan hari-harinya dengan berjualan tisu di luar stasiun MRT Singapura Paya Lebar selama satu dekade terakhir.
Goh, yang sebelumnya bekerja di sebuah gedung opera, mengatakan bahwa ia biasanya mendapat penghasilan antara US$10 atau Rp155 ribu hingga US$50 atau Rp775 ribu sehari. Namun, jika ia menghadapi hari yang buruk, maka Goh tidak menghasilkan satu sen pun.
"Saya hidup dari hari ke hari dan hanya menunggu untuk mati. Saat saya berumur 13 tahun, saya mencoba mengajukan permohonan kewarganegaraan Singapura,. Tetapi saya ditolak karena saya tidak bisa berbahasa Inggris atau Melayu,” ungkap Goh.
Ia lahir di Perak, lalu pindah ke Singapura bersama orang tuanya saat ia berusia lima tahun, dan sering bepergian antara Singapura dan Malaysia saat remaja. Namun pihak berwenang Malaysia mengambil paspornya ketika dia berusia 25 tahun, tanpa memberikan alasannya.
Goh menceritakan bahwa setelah orang tuanya meninggal, dia kehilangan kontak dengan saudara dan anak-anaknya. Sementara orang lain meminta sekitar US$20.000 atau Rp310 juta, tapi ia mengakui hanya berjualan tisu dan tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Meskipun pihak berwenang memberinya bantuan keuangan sebesar US$410 (Rp6,3 juta) per bulan, pria lanjut usia tersebut mengatakan bahwa US$350 (Rp5,4 juta digunakan untuk menyewa sebuah kamar di Aljunied. Ada juga tagihan medis yang harus dia bayar.
Mirisnya, setelah terjatuh baru-baru ini membuatnya tidak bisa berjalan dengan baik dan hanya bisa melihat dengan satu matanya. Setiap kunjungan dokter menghabiskan biaya sekitar US$350. Hal ini yang menjadi alasan mengapa ia harus berhemat dan menabung.
“Saya tidak berani makan terlalu banyak. Jika lebih banyak orang yang membeli tisu dari saya, maka saya dapat membelanjakannya untuk makanan dan pengeluaran sehari-hari lainnya,” katanya sambil menambahkan bahwa dia hanya makan satu kali sehari.