Susy Susanti Kenang Momen Mencekam Tragedi 98

Kerusuhan Mei yang berakhir dengan jatuhnya Presiden Soeharto di tahun 1998.
Sumber :
  • abc

VIVA – Bulutangkis selama ini, selalu menjadi olahraga yang punya tempat tersendiri di benak masyarakat Indonesia. Tak hanya sekedar mengharumkan nama bangsa, arena tepok bulu angsa juga dikenal sebagai medium pemersatu segala perbedaan.

Ungkapan tersebut juga yang diutarakan legenda bulutangkis Tanah Air, Susy Susanti, kala mengenang perjuangannya di pentas Piala Uber 1998.

Banyak memori mengharukan yang harus dilalui istri Alan Budikusuma, saat turut membawa skuat putri Indonesia menempati runner-up di Hong Kong dua dasawarsa silam.

Penggawa Merah Putih kala itu, harus bertarung dengan pergolakan batin di tengah tragedi kerusuhan massal 1998 di Tanah Air, yang mengganggu konsentrasi sepanjang turnamen berlangsung, dengan tim putra berhasil mempertahankan gelar Piala Thomas.

"Banyak pemain keturunan Tionghoa mengalami hal tersebut dan memang kita yang diincar kan," ungkap Susy Susanti kepada VIVA.

"Kita berbuat untuk Indonesia, saya berjuang di sana dengan taruhan nyawa keluarga kita pada saat orang-orang justru menghancurkan negara kita," lanjutnya.

 

Kondisi keluarga sejumlah pemain keturunan Tionghoa yang mengalami intimidasi menjadi kekhawatiran besar, termasuk keluarga Susy Susanti di Jakarta dan Tasikmalaya.

"Waktu itu, mami saya pas lagi ada di Jakarta, nungguin rumah saya, papi saya di Tasik. Tak ada yang jadi korban, tetapi ya rumah hancur, mau dibakar dilemparin kiri kanan pada cari rumah saya. Tetapi, para tetangga sempat menjaga rumah saya," tambah Susy.

"Apa yang sudah mereka lakukan buat negara? Kita yang sudah berjuang, malah yang diincar. Meskipun saya keturunan Tionghoa, saya jauh lebih nasionalis dari yang merasa dirinya pribumi, daripada menghancurkan negara sendiri, membunuh saudara-saudara kita sendiri, memecah belah bangsa," tegas pemilik medali emas Olimpiade pertama bagi Indonesia itu. (asp)