Ganda RI Peraih Emas Tenis Asian Games: Beban Kami Sudah Terangkat

Christopher Rungkat dan Aldila Sutjiadi meraih emas setelah mengalahkan ganda asal Thailand, Luksika Kumkhum-Sonchat Ratiwatana. - ANTARA/INASGOC/WAHYU PUTRO A
Sumber :
  • bbc

Tak ditargetkan meraih medali apapun, pasangan petanis ganda campuran, Aldila Sutjiadi dan Christopher Rungkat tanpa diduga justru berhasil meraih emas dalam Asian Games 2018.

Capaian mereka itu menghapus dahaga prestasi tenis Indonesia, yang terakhir kali menyabet emas pada Asian Games tahun 2002.

Setelah mengandaskan pasangan Thailand di partai final yang berlangsung di Jakabaring Sport Center, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (25/08), kegembiraan dan keterkejutan tampak meluap dari wajah keduanya.

Laga tenis yang biasanya lengang pun berubah riuh rendah menyambut kemenangan Aldila dan Rungkat.

"Rasanya (lega, beban saya terangkat)," ujar Rungkat, petenis laki-laki paling senior Indonesia, tentang medali emas yang diraihnya.

Rungkat kini berusia 28 tahun. Ia jatuh bangun membangun karier sejak 2008, sulit mendapat dukungan finansial hingga cedera panjang, sebelum akhirnya menjadi yang terbaik di Asia di nomor ganda campuran.

Rungkat yang telah mengoleksi empat medali emas Sea Games itu tak lupa memuji rekannya, Aldila, yang menjalani debut Asian Games tahun 2018 ini.

"Dila melakukan salah satu pukulan terbaik dalam turnamen," kata Rungkat.

Adapun, emas ini seperti melunasi pertaruhan besar yang dilakukan Aldila. Tahun 2017, ia memutuskan kembali ke Indonesia, meski lulus sebagai sarjana berpredikat terbaik dari Universitas Kentucky, Amerika Serikat.

"Biasanya, mereka yang lulus dari sana akan mendapatkan banyak tawaran pekerjaan. Tapi saya ingin kembali dan membela tim nasional," kata Aldila.

Dalam wawancara khusus dengan BBC News Indonesia, Aldila dan Rungkat menceritakan perjuangan dan berbagai pengorbanan mereka untuk mencapai titik kesuksesan ini. Berikut petikannya:

Rungkat: Tenis sudah paceklik emas selama sekian tahun dan kami mampu mengembalikan tradisi itu. Setelah sekian lama, kami dapat mengembalikan tenis Indonesia ke masa kejayaan seperti dulu.

Sebagai tuan, ada ekspekstasi penonton, bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya harus dinyanyikan. Setelah kami memenangkan poin terakhir, (lega) sekali rasanya.

Pada partai final itu, kalian mengalahkan pasangan ganda campuran Thailand yang berstatus unggulan kelima dan rutin berlaga di turnamen . Apa kunci kesuksesan membalik prediksi dan hitung-hitungan di atas kertas?

Aldila: Kami memberi semangat satu sama lain. Kami berjuang poin per poin dan harus bermain dengan tenang. Kalau tegang itu pasti terburu-buru.

Terima kasih Christo, karena sudah banyak membimbing aku. Dia lebih senior, berpengalaman, dan pemain ganda yang sangat bagus.

Dukungan dari rekan sangat membantu dalam poin-poin yang tegang.

Aldila: Proses ini butuh waktu lama. Ini bukan proses spontan. Saya kuliah di Amerika sambil tetap bermain tenis.

Saya lulus dari fakultas matematika ekonomi dengan predikat . Biasanya yang lulus dari AS, pasti bekerja di sana karena banyak lapangan pekerjaan yang terbuka.

Tapi saya ingin mencoba berkarier di tenis. Pada tahun terakhir kuliah, saya memutuskan kembali ke Indonesia dan bermain di tim nasional.

Rungkat: Undian di Olimpiade sangat terbatas. Dari sekian puluh negara dan peringkat petenis, semuanya papan atas. Hanya akan ada 32 pasangan yang bertarung di Olimpiade.

Kalau saya dan Aldila berada di peringkat top 100 dunia, kami mungkin bisa masuk Olimpiade.

Semoga pencapaian kami di Asian Games ini bisa menjadi pertimbangan Komite Olimpiade Internasional untuk memberi kami wild card.

Sejak era Yayuk Basuki, Wynne Prakusya, dan A ngelique W idjaja , tak ada lagi petenis Indonesia yang berbicara banyak di turnamen . Apakah dana merupakan hambatan terbesar?

Aldila: Saat junior, saya menggunakan dana orang tua. Sempat ada bantuan dari perusahaan, salah satunya dari sektor penerbangan.

Tapi sekarang saya belum ada sponsor lagi. Masih gunakan dana sendiri dan bantuan KONI Jawa Timur.

Biaya menjadi petenis profesional memang mahal. Kami menambah pengalaman dan meningkatkan kemampuan dengan bertanding.

Bertanding di luar negeri butuh biaya besar. Untuk tiket pesawat, pelatih, akomodasi selama di luar negeri. Dengan medali emas ini, semoga pemerintah membantu kami agar pertenisan Indonesia maju.

Rungkat: Pengeluaran kotor antara US$50 ribu sampai US$75 ribu (Rp740 juta hingga Rp1,1 miliar). Itu biaya minimum. Kami harus membayar pelatih dan fisioterapis untuk mendukung karier kami.

Rungkat: Peran pemerintah sangat penting dalam pembinaan tenis yang jangka panjang. Mudah-mudahan birokrasi ke depan dapat dimudahkan.

Dan pemerintah semoga dapat membiayai kami, mungkin tidak sepenuhnya, untuk tur ke beragam turnamen, terutama untuk petenis muda.

Rungkat: Segmen petenis laki-laki perlu lebih diperhatikan. Tongkat estafet ke atlet junior di bawah usia saya cukup jauh. Antonhy Susanto dan Justin Barki usianya berbeda 10 tahun dibandingkan saya.

Para petenis laki-laki profesional Indonesia di umur 25 atau 24 tahun mungkin bisa dibilang sudah berhenti bermain tenis.