BKPM Bentuk Satgas Relokasi Investasi, Pakar: Sebaiknya Fokus Telusuri Investasi Mangkrak

DW/D. Purba
Sumber :
  • dw

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI Bahlil Lahadalia membentuk Tim Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk memfasilitasi investor yang akan merelokasi investasinya dari Cina. Pembentukan satgas dilakukan menyikapi banyaknya perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Cina yang memutuskan hengkang keluar dari negeri tirai bambu itu akibat pandemi COVID-19. Diantaranya perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat (AS) dan Jepang.

Bahlil mengatakan satgas akan ‘menjemput bola' perusahaan-perusahaan yang akan melakukan relokasi investasi, agar tertarik masuk ke Indonesia, demikian seperti dikutip dari siaran pers BKPM, Senin (22/06).

Satgas pimpinan Kepala BKPM itu diberikan tiga tugas khusus, yaitu mendeteksi perusahaan-perusahaan yang akan relokasi, kemudian mengecek kemudahan-kemudahan yang diberikan negara-negara lain, dan yang penting memberikan kewenangan kepada mereka untuk membuat keputusan dalam bernegosiasi. "Itu penting diberikan, agar cepat jalannya!” jelas Bahlil.

Menurut Bahlil, saat ini Indonesia termasuk dalam daftar 10 negara tujuan investasi tahun 2020 dengan keunggulan Sumber Daya Alam (SDA) dan potensi pasar yang besar. Ia pun mengklaim sudah ada sekitar 60% proses relokasi investasi dari Cina yang masuk ke Indonesia.

"Di BKPM sudah ada yang masuk. Sudah ada yang 60% (proses relokasi ke Indonesia), masih ada yang tahap penjajakan. Tapi saya belum akan menyampaikan data-data tersebut karena nanti tunggu Bapak Presiden yang mengumumkan,” ujar Bahlil.

Beberapa alternatif lokasi yang ditawarkan bagi calon investor juga sudah disiapkan, diantaranya di Brebes dan Batang yang berada di Jawa Tengah.

Permasalahan internal harus dibenahi

Kepada DW Indonesia, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menyatakan bahwa Indonesia sejatinya berpotensi menjadi negara tujuan investasi bagi investor dari negara manapun. Apalagi saat ini pemerintah menurutnya tengah berupaya membuat iklim usaha dan investasi dalam negeri agar lebih bersahabat bagi investor. Hal itu terlihat dari upaya pemerintah meningkatkan peringkat ease of doing business (EoDB), meningkatkan indeks daya saing, dan sesegera mungkin menerapkan omnibus law untuk menggalakkan investasi.

Meski begitu, Indonesia ia sebut masih harus membenahi berbagai permasalahan internal yang berkaitan dengan faktor-faktor penentu investasi. Apalagi dalam mendatangkan investor, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Heri menuturkan ada banyak faktor penentu yang menjadi pertimbangan bagi investor sebelum memutuskan berinvestasi di sebuah negara. Di antaranya terkait perolehan lahan, kemudahan mendatangkan bahan baku industri, juga berbagai komponen biaya seperti biaya listrik, gas, BBM, pajak, retribusi, biaya upah dan biaya logistik. Inilah yang menurut Heri harus dibenahi oleh pemerintah agar dapat bersaing dengan negara lain dalam mendatangkan investor.

"Kita harus buat supaya hitung-hitungan biaya yang dikalkulasi oleh investor itu bisa efisien buat investor, inilah yang menjadi agenda kita bersama, bagaimana mengefisiensikan biaya logistik, transportasi, energi, listrik sampai ke perolehan lahan, sewa lahan sampai ke aturan pengupahan. Inilah yang harus dikejar,” jelas Heri saat dihubungi DW, Selasa (23/06).

Melalui keterangan tertulis, pengamat ekonomi lain dari INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara turut mengungkapkan banyaknya permasalahan dalam negeri yang harus dibenahi pemerintah.

Langkah pembentukan satgas ini ia nilai menjadi langkah yang terlambat karena relokasi industri sudah masif terjadi pada saat perang dagang AS-Cina dimulai tahun 2018. "Jadi terlambat 2 tahun ya,” kata Bhima, Selasa (23/06).

Selain itu, investor yang ingin merelokasi pabriknya juga menurutnya akan melihat daya saing. Sementara, dalam IMD World Competitiveness Ranking tahun 2020, peringkat daya saing Indonesia justru turun dari 32 ke 40 dunia. "Berarti ada masalah struktural daya saing yang belum selesai”.

Belum lagi masalah lain seperti mahalnya biaya logistik yang menurutnya tercatat masih di kisaran 24% dari Produk Domestik Bruto (PDB), kemudian masalah perizinan, pembebasan lahan hingga masalah korupsi.

"Pasca pelemahan KPK, investor kan bertanya apakah pemberantasan korupsi membaik atau memburuk. Jadi ada reform yang masih setengah jalan, bahkan mundur”, jelasnya.

Persoalan investasi mangkrak

Dibanding berfokus pada relokasi industri, BKPM menurut Bhima sebaiknya menelusuri kenapa banyak investasi yang mangkrak. Data terakhir menunjukkan ada Rp 708 triliun investasi yang mangkrak dan baru setengahnya yang berhasil direalisasikan.

"Jadi PR untuk komitmen investasi yang sudah ada, namun belum menjadi realisasi, itu yang lebih urgen,” jelas Bhima.

Senada dengan Bhima, persoalan investasi mangkrak ini menurut Heri juga perlu segera diselesaikan guna menghindari kesan buruk terkait iklim investasi di tanah air.

"Artinya, buatlah investor yang masuk ke Indonesia ini menjadi berkesan sehingga mereka mau mengajak rekan-rekan investor dari kawasannya, dari negaranya, untuk masuk ke Indonesia,” jelas Heri.

Ia berpandangan yang seringkali menjadi penghambat adalah adanya ketidaksinkronan kebijakan di level pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh karenanya, tim satgas bentukan BKPM ini menurutnya harus berkoordinasi dengan dinas-dinas penanaman modal di daerah-daerah yang wilayahnya diprioritaskan untuk menjadi wilayah tujuan investasi.

"Artinya ketika satgas ini jemput bola, tentu kan bola nya ini mau ditaruh dimana begitu kan, ditaruh di provinsi mana, di kota mana atau kabupaten mana. ini pemdanya udah siap untuk memberikan karpet merah kepada investor, jadi harus koordinasi dengan pemda-pemda, dengan juga tadi permasalahan internal harus diselesaikan juga,” jelasnya.

Merujuk pada data BKPM, nilai investasi selama triwulan I Tahun 2020 untuk Penanaman Modal Asing (PMA) mengalami perlambatan 9,2% dibanding Triwulan I Tahun 2019, yaitu dari Rp 107,9 triliun turun menjadi Rp 98,0 triliun. Namun, nilai investasi selama Triwulan I Tahun 2020 untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) justru meningkat sebesar 29,3% dibandingkan periode yang sama di tahun 2019.

Sementara untuk negara asal PMA, Jepang dan Amerika Serikat berada dalam peringkat 10 besar realisasi investasi triwulan I 2020. Jepang menduduki peringkat 4 dengan jumah investasi senilai US$ 604,2 juta (sekitar Rp8,7 triliun) dengan 1.519 proyek. Sementara, Amerika Serikat berada di peringkat 9 dengan nilai investasi US$114,1 juta (sekitar Rp1,6 triliun) dengan 299 proyek. gtp/hp (dari berbagai sumber)