dr. Reisa: Aturan Dalam PPKM merupakan Panduan Adaptasi Risiko

Penerapan Protokol Kesehatan di Tempat Ibadah
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan Surat Edaran Menteri Agama No. 23 tahun 2021 terkait aturan baru kegiatan di tempat ibadah untuk periode perpanjangan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3-4 hingga 16 Agustus 2021.

Menurut Juru Bicara Penanganan COVID-19 dr. Reisa Broto Asmoro, ada beberapa poin yang perlu dipelajari dari aturan tersebut. 

Pertama, masyarakat di Jawa dan Bali dapat mengikuti kegiatan peribadatan dan keagamaan berjamaah selama masa penerapan PPKM ini dengan jumlah jemaat paling banyak 25% dari kapasitas. Tentunya, ibadah harus tetap dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat.

Kedua, lanjut dr. Reisa, tempat ibadah yang berada di kabupaten/kota di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua yang ditetapkan berdasarkan asesmen dengan kriteria level 4 tetap dianjurkan mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan peribadatan keagamaan di rumah.

Meski begitu, jemaah di wilayah ini juga dapat mengadakan kegiatan peribadatan keagamaan berjamaah kolektif selama masa penerapan PPKM dengan jumlah jemaah paling banyak 25% atau paling banyak 30 (tiga puluh) orang.

Menurutnya, petunjuk lebih lengkap tentang dapat dilihat di situs Kementerian Agama RI di tautan berikut ini: kemenag.go.id//https://kemenag.go.id/read/ketentuan-kegiatan-di-rumah-ibada h-pada-ppkm-10-16-agustus-2021-gmn9k.

“Alhamdulillah, puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kerinduan kita beribadah di masjid, gereja, pura, wihara, kuil dan klenteng kini dapat terpenuhi, dengan tetap mematuhi tata tertib yang berlaku di tempat ibadah tersebut,” katanya.

dr. Reisa memastikan, pemerintah berupaya memberikan rasa aman kepada para jemaat dalam beribadah di tengah pandemi COVID-19 dengan tetap mendorong penerapan protokol kesehatan di tempat ibadah.

Dia kembali mengingatkan, meski tempat ibadah sudah dibuka, penerapan prokes tidak boleh longgar. Karena pandemi masih ada kasus terkonfirmasi masih ribuan orang per hari, varian baru masih berkeliaran, dan program vaksinasi masih belum mencapai target tertinggi yaitu 70% orang Indonesia, atau lebih dari 208 juta orang tervaksinasi.

Maka, menurut dr. Reisa, seluruh elemen bangsa harus tetap memakai senjata perlindungan yang terbukti efektif, yakni memakai masker dengan benar--dianjurkan masker 2 lapis, menjaga jarak aman dari orang lain minimal 1-2 meter, dan mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir secara rutin, serta menghindari kerumunan membatasi mobilitas.

“Yang kita lakukan adalah beradaptasi dengan perubahan. Adaptasi dengan kebiasaan yang baru. Jadi, surat edaran ini dan peraturan lainnya yang dibuat dalam periode PPKM sampai dengan 16 Agustus 2021 sebaiknya dipahami bukan sebagai pelonggaran atau pengetatan tapi panduan beradaptasi, panduan penyesuaian dengan risiko,” ujar dr. Reisa.

Dalam kesempatan itu, dia juga menyampaikan panduan pengendalian penyakit yang berbunyi membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat; membudayakan perilaku etika bersin dan batuk; peningkatan daya tahan tubuh; penanganan penyakit penyerta; dan penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi.

“Kemudian penemuan kasus secara aktif dengan cara investigasi dan pemeriksaan kasus kontak; skrining secara massal terutama pada kelompok rentan dan kelompok berisiko,” lanjutnya.

dr. Reisa pun mengutip peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, penyakit yang puluhan tahun masih ada di Indonesia. Bahkan, hingga kini Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan beban tuberkulosis tertinggi.

“Mirip dengan apa yang kita terapkan sekarang. Artinya tidak ada yang baru dari penerapan protokol kesehatan yang kita lakukan sekarang kita beradaptasi dengan langkah-langkah pencegahan penyakit yang sudah lama dipromosikan,” tuturnya.

Bahkan, masih menurut dr. Reisa, kampanye cuci tangan sebenarnya sudah dimulai sejak 1847 atau lebih dari 170 tahun yang lalu. Masker juga sudah dipakai sejak pandemi flu 1918 dan jaga jarak sudah diajarkan lebih dari 590 tahun yang lalu pada zaman pada cendekiawan muslim menghadapi to’un.

Dan protokol kesehatan yang dilakukan saat ini dapat saja berkontribusi mengurangi insiden TB, Diare, dan bahkan kejadian flu musiman atau dikenal dengan batuk dan pilek,” kata dr. Reisa.