KPPPA: Masa Pandemi, Anak di Wilayah Bencana Rentan Alami Eksploitasi
VIVA – Anak dalam situasi bencana merupakan salah satu kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan, eksploitasi, bahkan menjadi korban perdagangan orang (trafficking). Kondisi tersebut dapat diperparah dengan terjadinya bencana non alam, seperti pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia saat ini. Untuk itu, dibutuhkan strategi khusus yang melibatkan peran banyak pihak dalam memberikan perlindungan optimal bagi anak khususnya di lokasi bencana, seperti hunian sementara (huntara) pada masa pandemi.
“Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 1 Januari – 26 Juni 2020, ada sebanyak 3.297 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi selama pandemi Covid-19, sejumlah 1.962 anak di antaranya menjadi korban kekerasan seksual, 50 anak menjadi korban eksploitasi, dan 61 anak menjadi korban trafficking. Angka ini menunjukan bahwa kekerasan, eksploitasi dan trafficking rentan mengancam anak khususnya di situasi bencana,” ungkap Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings dalam acara Pelatihan/E-Learning Manajemen Kasus sebagai Upaya Perlindungan Anak Pasca Bencana di Wilayah Bencana yaitu Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (7/7).
Pada situasi bencana, anak seringkali mengalami 2 (dua) jenis eksploitasi, yaitu eksploitasi ekonomi, seperti dipaksa untuk bekerja, melakukan bentuk pekerjaan terburuk anak, dan eksploitasi dalam industri kreatif. Selain itu, anak juga kerap mengalami eksploitasi seksual, seperti prostitusi/pelacuran anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, dan eksploitasi seksual online. Menyikapi hal tersebut, Valentina menegaskan pentingnya pengumpulan data yang valid untuk memastikan dan mengetahui jumlah anak yang rentan mengalami eksploitasi dan trafficking dalam bencana.
“Kondisi ini harus menjadi perhatian dan ditindaklanjuti bersama oleh seluruh pihak, agar tidak berdampak pada masalah sosial lainnya. Sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 pasal 59A ayat (1), kita harus memberikan perlindungan khusus dan meminimalisasi kerentanan anak dalam situasi bencana, yaitu dengan melakukan penanganan cepat melalui rehabilitasi fisik, sosial dan pencegahan penyakit lainnya; memberikan pendampingan psikososial untuk mempercepat pemulihan anak; memberikan bantuan sosial bagi anak atau keluarga yang tidak mampu; dan memberikan perlindungan bagi anak korban eksploitasi dalam setiap proses peradilan,” ujar Valentina.
Menindaklanjuti hal tersebut, Kemen PPPA menyelenggarakan Pelatihan/E-Learning Manajemen Kasus sebagai Upaya Perlindungan Anak Pasca Bencana di Wilayah Bencana yaitu Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pelatihan ini penting bagi aktivis dan pendamping suatu kasus terkait anak sebagai pedoman di lapangan dalam memberikan perlindungan terhadap anak di masa pandemi ini. “Kita butuh strategi khusus untuk melindungi anak dari eksploitasi dan trafficking dalam situasi bencana.
Adapun tiga rencana strategis pencegahan trafficking dan eksploitasi anak yang difokuskan dalam pelatihan ini, yaitu melakukan pencegahan dengan melibatkan keluarga, sekolah dan masyarakat; memperbaiki/meningkatkan sistem pelaporan dan pelayanan pengaduan; dan melakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus agar dilakukan dengan cepat, terintegrasi, dan komprehensif,” tutur Valentina.
Salah satu peserta pelatihan dari P2TP2A Kabupaten Sigi, Nurhana Suba mengungkapkan bahwa pihaknya sudah menjalankan sebagian alur manajemen kasus dalam menangani persoalan terkait anak. Khususnya mulai dari tahap identifikasi masalah awal yang dilanjutkan dengan pengumpulan data. “Setelah data terkumpul kami turun ke lapangan dan bekerjasama dengan berbagai pihak seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Kepolisian bahkan ke Rumah Sakit (RS) karena kami sudah melakukan MOU dengan RS,” terang Nurhana.
Di samping itu, salah satu peserta dari PATBM Lombok Timur, Mulyadi Fajar menjelaskan jika ada kasus terkait anak, pihaknya akan menghubungi orang tua atau wali, untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Setelah itu, pihaknya berkoordinasi dengan kepala dusun. “Jika kasus kekerasan terjadi, kami akan langsung mengidentifikasi tempat, saksi dan siapa yang bisa membantu penyelesaian kasus. Jika tidak bisa menyelesaikan kasus sendiri, maka kami meminta bantuan kepada pihak desa, kecamatan bahkan kabupaten/kota,” jelas Mulyadi.
Merespon pengalaman yang disampaikan beberapa peserta tersebut, fasilitator pelatihan dari Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) atau Save The Children, Rendiansyah Dinata mengungkapkan bahwa inti dari manajemen kasus ini adalah koordinasi. “Kita bukan superhero yang bisa menangani kasus sendiri tanpa melibatkan pihak dan sektor lain. Harus ada langkah sistematis dalam mengatur dan mengatasi masalah perlindungan dan kesejahteraan anak yang kompleks karena melibatkan banyak pihak dalam koordinasi menangani kasus,” tegas Rendiansyah.
Lebih lanjut Rendiansyah mengungkapkan penerapan manajemen kasus, tidak boleh hanya fokus kepada anak, tapi juga kepada keluarga karena permasalahan anak seringkali bermuara dari keluarga. “Jika ingin menyelesaikan permasalahan terkait anak, harus melibatkan keluarga secara tepat dan sistematis. Bentuk pelayanan yang diberikan harus menyesuaikan dengan kondisi new normal ini, selain demi kepentingan terbaik bagi anak, tentu juga harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi kesehatan masyarakat,” tambah Rendiansyah.
Pelatihan manajemen kasus tersebut dihadiri masing-masing 35 peserta dari Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Nusa Tenggara Barat, terdiri dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Dinas dan Lembaga lainnya yang turut menangani isu perlindungan anak. Melalui pelatihan ini, peserta diberikan pembekalan pengetahuan, keterampilan dan nilai dalam melakukan penanganan terhadap anak korban kekerasan, eksploitasi, maupun trafficking serta memperkuat sistem perlindungan anak di wilayah bencana yaitu Sulteng dan NTB.