Pergulatannya di dunia wartawan selama 23 tahun mengantarkannya menjadi menteri penerangan zaman Presiden Soeharto. Tak hanya itu, ia juga menjadi politikus dan Ketua MPR RI yang sekaligus meminta Soeharto turun dari jabatannya karena desakan rakyat Indonesia.
Harmoko menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia pada era Orde Baru selama 3 periode berturut-turut dari tahun 1983 hingga tahun 1997. Selain itu, pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 7 Februari 1939 ini juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar dari tahun 1993 selama 5 tahun.
Sebelum terjun di dunia politik, pada awalnya Harmoko merupakan seorang wartawan dan kartunis di Harian Merdeka dan Majalah Merdeka setelah lulus dari sekolah menengah. Lalu, pada tahun 1964 mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat ini juga pernah menjadi wartawan di Harian Angkatan Bersenjata.
Setahun kemudian, kariernya semakin menanjak. Selain menjadi wartawan di Harian API, Harmoko juga dipercayakan sebagai Pemimpin Redaksi surat kabar berbahasa Jawa, Merdiko. Lalu, pada tahun 1966 hingga 1968, Beliau pun menjadi penanggung jawab Harian Mimbar Kita.
Pada 16 April 1970 bersama rekan-rekannya, Harmoko mendirikan Harian Pos Kota. Di bawah kepemimpinannya, oplah Post Kota meningkat hingga mencapai 200.000 eksemplar pada tahun 1983.
Kredibelitas Harmoko membuatnya dilirik Presiden Soeharto hingga akhirnya ia berhasil menjabat sebagai Menteri Penerangan RI selama 14 tahun sejak 1983. Selama menjabat sebagai Menteri, dapat dikatakan Harmoko menjadi salah satu orang kepercayaan ke-2 Presiden Soeharto.
Harmoko dianggap mampu menerjemahkan gagasan-gagasan Soeharto kala itu. Bahkan, Ia juga pencetus ide Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) yang berfungsi untuk menyampaikan informasi dari pemerintah ke publik.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini juga sosok dibalik pembredelan Tempo, DeTik, dan Editor dengan tujuan demi kestabilan pemerintahan. Sebagai orang pers, sebetulnya ia paham pembredelan sangat menyakitkan. Tapi, apa boleh buat itu adalah perintah.
Menjelan Pemilihan tahun 1998, Presiden Soeharto sebetulnya sudah berniat mundur. Namun, Harmoko tetap mendukungnya untuk melanjutkan pemerintahan. Setelah kembali terpilih, ternyata gejolak akibat krisis moneter semakin menjadi hingga terjadi kerusuhan Mei 1998.
Hal tak terduga terjadi tanggal 18 Mei 1998. Harmoko mengeluarkan keterangan pers dan meminta supaya Presiden Soeharto mundur. “Demi persatuan dan kesatuan Bangsa pimpinan DPR baik Ketua maupun Wakil Ketua, mengharapkan presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana,” ucap Harmoko.
Hal tersebut yang membuat ketegangan antara keluarga Cendana Soeharto dan Harmoko. Mereka pun tidak pernah bertatap muka lagi hingga tahun 2008, Harmoko menjenguk Soeharto di RSPP dan menjadi pertemuan yang terakhir sebelum Soeharto meninggal.
Setelah tumbangnya Orde Baru (Orba) dan lahirnya Era Reformasi nama Harmoko tak muncul lagi dalam aktivitas politik. Tak lama muncul, Harmoko mulai aktif kembali dengan dunia lamanya yakni tulis menulis. Ia sesekali menulis di kolom Ngopi Pos Kota. Pada tahun 2016, Harmoko mengalami penurunan kesehatan karena kerusakan saraf motorik otak belakang. Ia berjuang untuk memulihkan kesehatannya yang memasuki usianya ke-77 tahun.
KARIER
Wartawan dan Kartunis Harian Merdeka (1960)
Wartawan Harian Angkatan Bersenjata (1964)
Wartawan Harian API (1965)
Pemred Harian Merdiko (1965)
Pendiri Harian Pos Kota (1970)
Pemimpin dan Penanggung Jawab Harian Mimbar Kita (1966-1968)
Menteri Penerangan Indonesia (1983-1997)
Ketua Umum Golkar (1993-1998)
Ketua DPR-RI (1997-1999)
Ketua MPR-RI (1997-1999)