Tan Malaka

aktivis
Sumatera Barat , 2 Juni 18973
s/d
Sekarang

Perjuangan Tan Malaka untuk rakyat berdaulat ia lakukan sepenuh hati. Ia dikenal sebagai sosok aktivis kiri untuk negeri ini. Pemerintah pun memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya.

Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat 2 Juni 1897. Nama aslinya Sutan Ibrahim. Ia mendapatkan nama gelar semi bangsawan yang didapat dari garis turunan ibunya menjadi Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka.  
 
Ayahnya bernama Rasad Caniago seorang karyawan pertanian dan ibunya Sinah Simabur adalah putri orang terpandang di desanya. Tan Malaka semasa hidupnya tidak menikah dan memilih hidup sendiri untuk kemerdekaan RI.
 
Semasa kecil, Tan Malaka hidup dalam lingkungan agama yang kuat di kampungnya. Ia bahkan senang mempelejari agama, ilmu beladiri, dan main sepakbola. Pada tahun 1908, saat usia 21 tahun  ia didaftarkan ke Kweekschool (Sekolah Guru Negara) di kota kelahirannya. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan selalu juara di kelasnya.
 
Lima tahun kemudian, pada bulan Oktober 1913, memasuki usia 26 tahun, ia meninggalkan desanya menuju Belanda untuk belajar di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah).  
 
Selama kuliah di Belanda, ia mengalami perubahan drastis dalam pola pikirnya. Pengetahuannya tentang dunia luar, khususnya soal revolusi melekat di pikirannya. Pengetahuan ini ia peroleh setelah membaca buku de Fransche Revolutie.  
 
Apalagi saat itu sedang terjadi revolusi di Uni Soviet (kini Rusia). Sejak itu, ia mulai serius mempelajari paham sosialisme dan komuninesme dengan membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Di sini ia juga bertemu langsung dengan tokoh tokoh sosialis demokratis.
 
Setelah lulus, pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia. Ia langsung ke kampung halamannya. Tak lama setelah itu, ia mendapatkan tawaran untuk memngajarkan anak-anah kuli petani di perkebunan teh, Deli, Sumatera Utara.  
 
Ia mengajarkan bahahsa melayu. Selain sebagai guru, ia juga aktif membuat pamplet perlawanan terhadap kolonial Belanda. Ia tak rela bangsa pribumi diperlakuan tak adil oleh kaum elit.  Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di media Sumatera Pos.
 
Untuk memperjuangkan nasib petani, ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dalam pemilihan tahun 1920 mewakili kaum kiri. Namun, baru setahun ia mengundurkan diri dan memilih membuka sekolah Rakyat di Semarang atas bantuan seorang Tokoh Syarikat Islam (SI).  
 
Di sini juga bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya, seperti K.H Agus Salim dan  HOS Tjokroaminoto.
 
Di tengah kesibukannya mengajar, ia tidak melupakan menulis artikel dan buku. Misalnya lahir buku Komunisme di Jawa (1922), Kuli Kontrak (1923), Naar Republiek (1925), juga buku Madilog (materalisme, dialektika, logika) antara tahun 1942-1943.
 
Pada tahun 1922, Tan Malaka ditangkap karena diduga terlibat aksi mogok besa-besaran buruh pegadaian dan diasingkan ke Belanda. Setelah dua puluh tahun menjalani pengasingan, Tan Malaka kembali ke Indonesia pada tahun 1942, bersamaan dengan kedatangan penjajah Jepang ke Indonesia.
 
Tan Malaka tak tinggal diam melihat bangsanya dijajah kembali. Ia melakukan perlawanan politik secara gerilya. Ia menemui Soekarno dua kali dan menyampaikan konsep strategi revolusioner melawan penajajah. Ia sendiri terus berjuang meyakinkan rakyat dan elit sehingga Indonesia merdeka pada tahun 1945.
 
Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka manjadi pelopor aktivis sayap kiri sosialis. Ia sering dituduh melakukan perlawaan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang baru, ia pun dipenjarakan pada tahun 1946. Dua tahun kemudian ia bebas setelah terjadi pemberontakan PKI di Madiun.
 
Melihat kondisi pemerintah baru yang belum stabil, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta. Setelah itu, Tan Malaka menuju Kediri untuk mengumpulkan sisa-sisa pemberontak PKI untuk membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi.  
 
Pada tahun 1949, ia dan anak buahnya ditangkap dan ditembak di Kediri. Ia meninggal pada usia 52 tahun. Selama puluhan tahun, tempat makamnya tak diketahui keberadaannya. Pada 2007, seorang peneliti Belanda Herry Poeze, menemukannya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
 
Pihak keluarga meminta jasad Tan Malaka dipindahkan ke tanah kelahirannya. Pada 16 Februari 2017, prosesi  penjemputan dan pemulangan jasadnya dimulai dan Tan Malaka dimakamkan di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. (DN) (Photo: kemsos.go.id/Pahlawan Center)
 
PENDIDIKAN
Kweekschool (Sekolah Guru Negara), Nagari Padam Gadang, Sumatera Barat, 1908
Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah), Belanda, 1913
 
KARIER
Guru, 1913
Penulis, 1919
Anggota Volksraad (Dewan Rakyat), 1920
Mendirikan Sekolah Rakyat, Semarang, 1920
Pendiri Partai Murba, 7 November 1948  
 
PENGHARGAAN
Pahlawan Nasional, Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden RI Soekarno, 28 Maret 1963




Berita Terkait

Pendidikan sebagai Perlawanan: Inspirasi Tan Malaka bagi Generasi Muda

Inspirasi & Unik

28 Oktober 2024

Alumni FH Unsri Bersinergi dengan Fakultas untuk Tegakkan Hukum di Indonesia

Edukasi

27 November 2023

Selain Presiden Jokowi, Ini 10 Pesohor yang Ulang Tahun di Bulan Juni

Trending

21 Juni 2023

Get to Know the Four Mysterious Figures in Indonesia

English

13 Oktober 2022

4 Sosok Misterius di Indonesia, Ada Pahlawan Tak Bertuan

Edukasi

13 Oktober 2022
Share :