Meski aktif di politik, Hatta tak melupakan pendidikan dan kewartawanannya. Perjuangannya membuahkan hasil, Indonesia merdeka dan ia ditetapkan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia pertama.
Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902. Ia merupakan anak kedua dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang asli dari Minangkabau. Sang ayah masih berada di garis keturunan ulama tarekat di Batuhampar (dekat Payakumbuh, Sumatera Barat). Sedangkan, sang ibu merupakan keturunan dari keluarga Pedagang di Bukittinggi.
Sang ayah meninggal dunia saat usianya 7 bulan. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang asal Palembang. Pernikahan mereka dikaruniai 4 orang anak perempuan.
Pria yang akrab disapa Bung Hatta ini pun mengenyam pendidikan pertama kali di Sekolah Dasar Melayu Fort de kock. Namun, kemudian pindah ke Europeesche Lagere School (ELS), Padang (Kini SMA Negeri 1 Padang) dan melanjutkan ke Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang hingga tahun 1919. Sedangkan, sekolah tingginya sendiri ia lanjutkan ke Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia.
Selain menyerap segala ilmu pengetahuan di pendidikan formal, Hatta juga mempelajari ilmu-ilmu agama, berhubung keluarganya merupakan keluarga yang taat Agama. Ia pernah belajar bersama Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya.
Kiprahnya di dunia politik diawali dengan masuknya ia ke organisasi Jong Sumatranen Bond region Padang dengan jabatan sebagai bendahara pada tahun 1916. Pengetahuanya di bidang politik pun bertambah pesat karena rajin menghadiri berbagai pertemuan.
Pada tahun 1921, Hatta hijrah ke Belanda untuk melanjutkan studinya di Handels Hogeschool (sekarang namanya Universitas Erasmus Rotterdam). Ia bergabung dengan perkumpulan pelajar tanah air, Indische Vereeniging.
Pada awalnya Indische Vereeniging hanyalah komunitas biasa. Tapi, segalanya berubah setelah pentolan Indische Partij, yaitu Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo bergabung ke dalam komunitas tersebut. Geliat politik pun semakin mencuat ke permukaan. Komunitas itu pun memiliki tujuan baru yaitu, mempersiapkan kemerdekan Indonesia. Namanya pun berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Pada tahun 1922, Hatta kembali menduduki posisi bendahara di Perhimpunan Indonesia dan 3 tahun kemudian ia terpilih sebagai ketua. Hatta juga sempat mengatur majalah Hindia Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka di tahun 1924.
Di bawah kepemimpinan Hatta, Persatuan Indonesia mengalami banyak perubahan, mereka jauh lebih memperhatikan pergerakan di Indonesia melalui ulasan dan komentar yang rilis di media massa.
Mohammad Hatta juga pernah berpidato inagurasi denga judul "Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan". Dalam pidatonya, ia menganalisis struktur ekonomi dunia saat itu.
Hatta juga pernah memimpin Kongres Demokrasi Internasional untuk perdamaian di Berville, Prancis mewakili himpunannya pada tahun 1926. Sejak saat itu, nama Indonesia mulai dikenal oleh berbagai organisasi internasional.
Setahun kemudian, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda. Di sanalah ia bertemu dengan Jawaharhal Nehru, aktivis nasionalis asal India. Keaktifannya di beberapa organisasi tersebut membuat studinya molor hingga tahun 1932.
Aktivitasnya ini pula yang membuat Hatta ditangkap Belanda bersama Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat. Namun, akhirnya dibebaskan setelah ia memberikan pidato pembelaan bertajuk Indonesie Vrij.
Pada tahun 1931, Hatta undur diri sebagai ketua Perhimpunan Indonesia karena ingin menyelesaikan studinya. Perhimpunan Indonesia pun jatuh ke tangan komunis dan berbalik menjadi mengecam Hatta sampai akhirnya Hatta dan rekannya Syahrir keluar dari partai.
Setelah kembali ke tanah air pada tahun 1932, Hatta bergabung dengan Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk membuka mata masyarakat Indonesia tentang dunia politik dengan mengadakan berbagai pelatihan. Bisa dikatakan, himpunan ini merupakan tandingan dari Perhimpunan Indonesia.
Pengasingan aktivis Soekarno ke Flores di tahun berikutnya, menuai kritik keras Hatta. Di berbagai media massa, ia mulai menulis artikel tentang pengasingan. Hal ini membuat Belanda memusatkan perhatiannya pada Club Pendidikan Nasional Indonesia serta menangkap Hatta dan Syahrir sebagai pentolan perhimpunan tersebut kemudian ikut diasingkan ke Digul, Papua.
Bung Hatta tetap menulis di berbagai surat kabar saat diasingkan baik surat kabar Jakarta maupun Medan. Selain itu, ia juga rajin membaca buku yang dibawanya dari Batavia lalu mengajarkan kepada teman-temannya di sana.
Pada tahun 1937, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira, Maluku. Sewaktu di Banda Neira, Ia bercocok tanam dan menulis di surat kabar Sin Tit Po dan Nationale Commantaren.
Pada tahun 1942, pria bedarah Minang ini pun dipindahkan ke Sukabumi, selang sebulan kemudian Belanda menyerah kepada Jepang. Baru setelah itu, ia dibawa ke Jakarta.
Di Jakarta, Hatta bertemu dengan Mayor Jenderal Harada yang menawarkan kerja sama dengannya. Jika Hatta mau, Ia akan mendapat posisi penting. Namun, Hatta menolak dan memilih jadi penasehat dan berkantor di Pegangsaan Timur. Jepang berharap Hatta mampu memberikan nasehat yang menguntungkan bagi mereka. Namun, Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk membela kepentingan rakyat Indonesia.
Pada awal Agustus 1945, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) berganti nama menjad PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan Soekarno sebagai ketua dan Hatta sebagai wakilnya. Pelantikan tersebut dilaksanakan di Dalat Vietnam.
Terjadi perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda sehingga terjadilah peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok oleh para pemuda PETA di antaranya Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh untuk dibujuk segera memproklamasikan kemerdekaan karena saat itu sedang terjadi kevakuman pemerintah akibat Hiroshima-Nagasaki dibom oleh sekutu.
Soekarno berpendapat kalau lebih baik menunggu kemerdekaan yang katanya akan diberikan Jepang. Namun, golongan muda menyarankan segera mengikrarkan kemerdekaan secepat mungkin.
Setelah sepakat kalau proklamasi kemerdekaan harus dilaksanakan secepatnya, mereka pun menuju rumah Laksamana Maeda. Mereka merumuskan teks proklamasi kemerdekaan yang ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta.
Tepat tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00, Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi di kediaman Soekarno. Pada awalnya pembacaan teks proklamasi akan dilaksanakan di Lapangan IKADA (sekarang Monas). Namun, karena sudah tersiar kabar di tempat itu akan ada acara keesokan harinya, maka sudah ada tentara-tentara Jepang berjaga-jaga. Akhirnya, teks proklamasi dibacakan di kediaman Soeakrno.
Keesokan harinya Hatta dalam usia 43 tahun resmi menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama mendampingi Presiden Soekarno.
Selang beberapa bulan tepatnya 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Rachim. Mereka dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia, Gemala, dan Halida.
Tentunya kemerdekaan yang telah diperjuangkan sebelumnya tidak langsung berbuah manis. Tersiarnya kabar kalau Indonesia telah merdeka ke Belanda membuat Belanda ingin kembali menjajah Indonesia.
Pemerintahan Indonesia pun dipindah ke Jogjakarta. Ada 2 kali perundingan dengan Belanda hingga terciptalah perjanjian Linggarjati dan perjanjian Revile. Namun, keduanya gagal terlaksana karena pengkhianatan Belanda.
Pada Juli 1947, Hatta menemui Jawaharhal Nehru dan Mahatma Gandhi untuk meminta bantuan. Akhirnya permasalahan Indonesia pun terseret ke meja PBB. Hingga selanjutnya pada 27 Desember 1949 Ratu Juliana memberikan pengakuan atas Kemerdekaan Indonesia.
Selain mengurusi pemerintahan Indoensia, Hatta juga tetap aktif dalam tulis-menulis. Selain itu, ia juga membimbing gerakan koperasi hingga tanggal 12 Juli 1951. Hatta berpidato di radio mengenai hari koperasi. Selang lima hari kemudian dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Dalam dunia pendidikan, ia sempat menjadi Dosen Sesko Angkatan darat, Bandung (1951-1961 dan Dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1954-1959).
Pada 1956, beberapa kali Hatta mengirim surat ke DPR karena ingin mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Karena menurutnya, jika parlementer telah terbentuk kepala negara hanyalah simbol sedangakan wakil sudah tidak diperlukan lagi.
Namun, DPR selalu menolaknya. Hingga pada November 1956 ia mengirim surat lagi ke DPR yang berisi kalau pada tanggal 1 Desember 1956, ia ingin berhenti sebagai Wakil Presiden. Akhirnya DPR menyetujuinya tanggal 30 November 1956. Sebelum mundur, dia mendapatkan gelar doctor honouris causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Setelah pensiun sebagai Wakil Presiden, Bung Hatta dan kelurganya pindah rumah dari Jalan Merdeka Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57. Kesibukannya kala itu tentu saja tetap menulis. Ia pun sempat diundang pemerintah RRC pada tahun 1957 karena dianggap sebagai a Great Son of His Country.
Ketika Soekarno sedang ada di puncak pemerintahannya tahun 1963, Hatta pun jatuh sakit. Ia harus dirawat di Swedia karena perlengkapan medis di Indonesia kurang memadai. Pada tahun 1965, Hatta harus menjadi bulan-bulanan serangan PKI. Meski untungnya, Bung Hatta selamat dari serangan tersebut.
Lima tahun kemudian, melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi Empat yang bertugas mengusut masalah korupsi. Bung Hatta diminta untuk menjadi penasehat presiden dalam menangani masalah tersebut.
Pada 15 Agustus 1972, Hatta mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah Republik Indonesia. Ia juga diangkat sebagai warga utama ibukota dengan berbagai fasiltias.
Tiga tahun kemudian, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama Prof Mr. Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi pemahaman mendalam mengenai butir-butir Pancasila.
Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat, dalam usia 77 tahun, di RSCM pukul 18.56 setelah sehari dirawat di sana. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Hatta ditetapkan sebagai pahlawan proklamator pada tahun 1986 oleh pemerintahan Soeharto. (AC/DN)
KELUARGA
Orang Tua : Muhammad Djamil dan Siti Saleha
Istri : Rahmi Rachim
Anak : Meutia Farida Hatta Swasono, Gemala Hatta, Halida Hatta
PENDIDIKAN
Sekolah Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau (1913-1916)
Europeesche Lagere School (ELS), Padang (1916)
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang (1916-1919)
Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia (1919-1921)
Handels Hhogeschool, Rotterdam, Belanda (1921-1932)
KARIER
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
Bendahara Indische Vereeniging (1922-1925)
Ketua Perhimpunan Indonesia, Belanda (1925-1930)
Wakil Delegasi Indonesia Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
Kepala Kantor Penasehat Bala Tentara Jepang (1942)
Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (1945)
Wakil Ketua Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (1945)
Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (1945)
Wakil Presiden Indonesia pertama (1945)
Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan (1948-1949)
Ketua delegasi Indonesia Konferensi Meja Bundar, Den Haag (1949)
Wakil Presiden, Perdana menteri, dan Menteri Luar Negeri NKRIS (1949-1950)
Dosen Sesko Angkatan darat, Bandung (1951-1961)
Dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1954-1959)
Penasihat Presiden dan Penasehat Komisi IV (1970)
Ketua Panitia Lima (1975)