Ringkasan Film Tragedi Kelam G30S PKI Berdurasi Hampir 4 Jam

Sampul film G30s/PKI yang pernah menjadi tontonan wajib di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru.
Sumber :
  • cinema-xcinema.blogspot.com

Jakarta, VIVA – Peristiwa Gerakan 30 September atau yang disebut sebagai G30S menjadi momen sejarah yang diperingati setiap akhir September. Peristiwa ini diperingati untuk mengenang peristiwa berdarah pahlawan revolusi dengan pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat ABRI yang dikubur dalam sumur sempit yang dikenal sebagai Lubang Buaya.

Tragedi kelam itu kemudian dibuat film dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI yang digarap oleh Arifin C. Noer dan Nugroho Notosusanto. Pada era Pemerintahan Soeharto, film ini menjadi tontonan wajib masyarakat Indonesia di stasiun televisi TVRI maupun stasiun Tv swasta.

Namun,  di era Presiden B. J Habibie, penayangan film G30S PKI dihentikan oleh dua menteri lantaran menuai kontroversi. Sebab, produksi film Pengkhianatan G30S/PKI dinilai menyimpang dari fakta sejarah atau tidak mencerminkan kenyataan dengan benar.

Film ini mengisahkan tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965. Dalam insiden itu, sejumlah Jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI).

Film G30S PKI

Photo :
  • Istimewa

Beberapa pihak menilai film ini  sebagai alat propaganda politik dengan tujuan memperkuat narasi pemerintah Orde Baru tentang keterlibatan PKI terkait kudeta 1965. Hal itu dinilai sebagai alat propaganda politik pada masanya.

Ringkasan Film G30S PKI

Film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ dimulai dengan narasi yang menggambarkan sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan oleh PKI dan para pengikutnya di berbagai daerah di Indonesia.

Mereka melakukan penyerangan dan penganiayaan kepada para anggota pelajar, santri Indonesia, dan juga petani Sudarno yang diserang dengan dalih sengketa tanah serta menganiaya kepala desa yang coba melerainya.

Film itu juga menceritakan aksi anarkis yang didalangi PKI seperti yang terjadi di Indramayu, Boyolali dan Klaten, yang mengakibatkan Lettu Sudjono menjadi korban.

Pada Desember 1964, muncul rencana perebutan kekuasaan oleh PKI. Namun, hal itu disanggah PKI. Kemudian, PKI membentuk biro khusus yang bertugas melakukan infiltrasi ke dalam tubuh ABRI.

Biro khusus ini yang kemudian diberi tugas oleh ketua PKI, DN Aidit untuk menyusun rencana Gerakan 30 September 1965.

Ditambah atas saran Perdana Menteri Rakyat China, Chou En-Lai, PKI mendorong pembentukan pasukan Angkatan Kelima, yaitu mempersenjatai buruh dan tani. Namun, usulan itu ditolak oleh Letjen Ahmad Yani.

Ahmad Yani menilai rencana PKI akan membuat keruwetan dalam garis komando dan pengawasan kekuatan bersenjata di Indonesia. PKI  pun menganggap para jenderal ini sebagai penghalang besar bagi tujuan mereka untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia.

Pada Agustus 1965, berlatar di Istana Bogor, Presiden pertama RI Soekarno saat itu kesehatannya menurun. Para dokter dari Cina mengatakan kesehatan Soekarno sangat buruk. Kondisi Soekarno tak menutup kemungkinan jika semakin parah, dan mungkin bisa wafat kapan saja.

Sementara, di Lubang Buaya, Jakarta Timur, para anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani sedang melakukan latihan militer,  Pemuda Rakyat dan Gerwani ini adalah bagian dari PKI yang disebut dalam persiapan merebut kekuasaan pemerintah saat itu.

Kemudian, di rumah DN Aidit, Sjam Kamaruzaman mengatur rencana untuk melakukan pemberontakan dan berniat mengambil alih pemerintah. Mereka menyebar isu mengenai pengkhianatan yang dilakukan oleh para jenderal Angkatan Darat. Sebab, saat itu musuh PKI yang paling mengganggu adalah para pimpinan Angkatan Darat. PKI pun membungkam pers.

PKI menganggap jika Presiden Soekarno turun tahta, maka Angkatan Darat lah yang akan memegang kendali. Lalu, PKI bisa segera dibubarkan.

PKI Gelar Rapat Kecil

Rapat kecil PKI pun berlanjut di rumah Sjam Kamaruzaman, i mana mereka mengarahkan petinggi PKI untuk mulai melakukan kudeta secara militer dengan mengambil alih fasilitas umum milik negara seperti Telkom, Radio Republik Indonesia (RRI), kereta api, dan lain-lain.

PKI juga merencanakan penculikan terhadap para dewan jenderal yang anti-PKI. PKI berani melakukan kudeta militer karena sudah mempersiapkan pasukan mereka sendiri, serta berhasil mengajak banyak anggota dan perwira TNI yang pro dengan PKI, salah satunya adalah Letkol Untung Syamsuri dengan pasukan Cakrabirawa yang dikomandoinya.

PKI Gelar Rapat Besar

Pada 28 Agustus 1965 diadakan rapat besar terkait rencana kudeta militer kepada Dewan Jenderal sehingga memunculkan pertanyaan di kubu PKI sendiri tentang kebenaran isu TNI membubarkan PKI dan memegang kekuasaan. Lantas DN Aidit pun menjamin bahwa info tersebut benar dan jika PKI berhasil menguasai Jawa, mereka juga akan menguasai pemerintahan, sebab halangan terbesarnya adalah TNI AD.

Letkol Untung Syamsuri terpilih sebagai pimpinan operasi militer tersebut karena dinilai masih bersih dari kecurigaan. Selain itu, Letkol Untung adalah ajudan pribadi Presiden Soekarno serta komandan dari Pasukan Cakrabirawa, yang dianggap tepat oleh PKI dan dapat menguntungkan.

Di kediaman Sjam Kamaruzaman, PKi kemudian mengambil keputusan untuk menculik tujuh Jenderal, ketujuh jenderal TNI yang diculik yaitu:

  1. Jenderal Ahmad Yani (Panglima Angkatan Darat)
  2. Letnan Jenderal Soeprapto (Kepala Staf Angkatan Darat)
  3.  Letnan Jenderal M.T. Haryono (Kepala Staf Umum Angkatan Darat)
  4. Letnan Jenderal S. Parman (Kepala Badan Pusat Intelijen Angkatan Darat)
  5.  Mayor Jenderal D.I. Panjaitan (Asisten I Kepala Staf Angkatan Darat)
  6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Komandan Cadangan Strategis Angkatan Darat)
  7. Kapten Pierre Tendean (ajudan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution)​​​​

Sehari sebelum tragedi, atau 29 September 1965, para perwira yang ditugaskan untuk menculik para Jenderal berkumpul di Lubang Buaya untuk menerima arahan taktis, mereka diberi instruksi para Jenderal harus dibawa ke Lubang Buaya dalam kondisi hidup atau mati.

Penyergapan Dimulai

Tepat 30 September 1965, pasukan Cakrabirawa yang ditugaskan untuk menculik para Jenderal mulai bergerak dari Lubang Buaya. Mereka mendatangi rumah para Jenderal sekitar pukul 3 sampai 4 dini hari.

Penyergapan dimulai dengan mendatangi rumah Jenderal Nasution. Ketika itu, Jenderal Nasution berhasil menyelamatkan diri. Tapi, anak bungsu Jenderal Nasution tertembak.

Jenderal Nasution kemudian berlari ke pekarangan rumah Duta Besar Irak yang tak jauh dari rumahnya. Sementara, Ajudan Jenderal Nasution, Kapten Pierre Tendean ditangkap karena berusaha melindungi Jenderal Nasution. Pierre Tendean lalu dibawa ke Lubang Buaya.

Kemudian, saat penyergapan rumah Jenderal Ahmad Yani, pasukan datang dengan tenang dan sempat mengobrol dengan para pengawal Jenderal Yani. Mereka mengaku ada pesan penting dari Presiden.

Jenderal Ahmad Yani pun meminta izin mandi dan berpakaian dinas. Namun, permintaannya ditolak hingga membuat Yani marah. Ia pun ditembak hingga tewas dan diangkut ke Lubang Buaya.

Selanjutnya, penyergapan di rumah Mayjen MT Haryono. Sebelumnya, ia sudah merasakan firasat buruk sehingga menyuruh keluarganya pergi ke halaman belakang rumah.

Akan tetapi persembunyian MT Haryono diketahui hingga akhirnya ditembak hingga tewas. Jasadnya kemudian diangkut ke truk untuk dibawa ke Lubang Buaya.

Kemudian, dalam penyergapan Mayjen Soeprapto. Saat itu, ia hanya mengenakan sarung, sandal, dan kaos oblong, Ketika insiden, Soeprapto saat itu tidak bisa tidur karena sedang sakit gigi.

Mereka berdalih Presiden ingin segera bertemu dengan Soeprapto. Dia tak diizinkan berganti pakaian dinas, Soeprapto langsung dibawa ke dalam truk.

Selanjutnya dalam penyergapan di rumah Letjen S. Parman, pasukan meminta S. Parman menemui Presiden segera.

Letjen S. Parman kemudian meminta istrinya menghubungi Letjen Ahmad Yani. Tetapi, upayanya gagal karena telepon dirampas oleh pasukan. S. Parman kemudian dibawa ke truk.

Kemudian, penyergapan di rumah Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. Dia dibujuk untuk membuka pintu kamarnya dengan alasan menerima surat dari Presiden. Ia diringkus di kamarnya, tangannya diikat, dan dibawa ke Lubang Buaya dengan truk.

Penyergapan rumah Mayjen D.I. Panjaitan, awalnya D.I. Panjaitan menolak turun dan berusaha menghubungi polisi. Namun, upayanya gagal karena sambungan telepon diputus. Ketika dipaksa turun, Panjaitan yang sudah berganti seragam ditembak hingga tewas,

Jasadnya kemudian diangkut ke Lubang Buaya, Polisi yang patroli malam, Sukitman, ikut diculik dan dibawa ke Lubang Buaya karena mengetahui peristiwa tersebut.

Setelah mengangkut semua jenderal, para PKI menyiksa mereka di Lubang Buaya untuk memaksa pengakuan bahwa mereka adalah bagian dari Dewan Jenderal. Namun, mereka tetap bungkam hingga akhirnya dibunuh. Jasad mereka kemudian dibuang ke dalam sumur yang dikenal dengan sumur Lubang Buaya.

Kabar penculikan ketujuh Jenderal itu kemudian beredar, namun saluran radio RRI saat itu telah dikuasai oleh PKI. Mereka menyebarkan isu bahwa seolah-olah para PKI telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari para Dewan Jenderal.

Soeharto Atasi Pemberontakan

Dari para militer pun tidak tinggal diam, Mayor Jenderal Soeharto segera mengambil alih komando dan mengadakan rapat staf untuk mengatasi pemberontakan.

Kolonel Sarwo Edhie diperintahkan untuk merebut kembali RRI dan Telkom dari tangan PKI. Operasi perebutan dimulai dan Soeharto memastikan bahwa berita kudeta PKI disiarkan ulang oleh RRI.

Berkat keterangan dari polisi Sukitman, sumur maut di Lubang Buaya ditemukan dan proses pengangkatan jasad para jenderal dilakukan.

Soeharto pun mengumumkan perihal penemuan korban G30S dan perihal kejahatan PKI di lubang buaya.

Ketujuh Jenderal itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, mereka diberi gelar Pahlawan Revolusi dan dibangun monumen G30S PKI sebagai pengingat mengenai sejarah kelam PKI.