Dilan 1991: Nostalgia, Wawancara Pidi Baiq hingga Kontroversinya
- bbc
Sejak diputar di bioskop pada Februari lalu, film remaja Dilan 1991 dilaporkan telah menyedot penonton hingga 5 juta orang. Mengapa film ini diminati dan dianggap sebagai kebangkitan industri film Indonesia?
Usianya tidak terbilang muda, sekitar 45 tahun. Tetapi Dina - begitulah sapaan perempuan asal Jakarta ini - rela menonton film remaja Dilan 1990 sebanyak 13 kali. Hah! 13 kali?
"Ceritanya (film Dilan 1990) masih nyambung dengan gaya saat saya SMA," ujar ibu satu anak ini, kemudian tersipu, saat ditanya "alasannya" berulang kali menonton film itu.
Lebih dari 25 tahun silam, yaitu di tahun 1990an, Dina adalah siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan. Seperti remaja seusianya, Dina saat itu mulai tertarik lawan jenis.
Rupanya, film yang meledak di pasaran ini mengingatkan kisah percintaannya di masa-masa itu. Perempuan kelahiran 1971 ini mengaku "gaya" romansa di film Dilan itu mirip yang dilakoninya sekian tahun silam.
"Kalau naksir cowok atau cewek, gimana rasanya nungguin telepon, atau dikirimin surat," ujarnya, masih tersipu. "Jadi senang aja , masa itu pernah ada, lucu, seru!" Tawanya kemudian berderai.
Dan ketika film sekuelnya, Dilan 1991 mulai diputar di bioskop mulai Februari lalu, Dina pun rela antre untuk mendapatkan tiketnya di awal pemutarannya.
"Memang agak berat (ceritanya), tapi masih nyambung juga sih dengan saya waktu remaja dulu." Sampai awal April ini, Dina mengaku sudah dua kali menonton film Dilan 1991.
Hingga Maret tahun lalu, film Dilan 1990 mampu menyedot lebih dari enam juta penonton selama 45 hari diputar di layar bioskop. Film ini kemudian ditahbiskan sebagai film terlaris di 2018.
Dan seperti film pertamanya, film Dilan 1991 pun dibanjiri penonton. Sampai hari ke 17, film hasil adaptasi novel dengan judul sama karya Pidi Baiq - penulis asal kota Bandung.
Cerita dan syuting film yang dilakukan di kota Bandung, membuat salah-seorang warga itu terhibur setelah menontonnya. Widi, ibu satu anak dan warga Kiara Condong, mengaku telah menonton kedua film ini.
"Di film itu, Bandung tempo dulu, dapat banget . Makanya pada baper di (film) Dilan 1990," akunya kepada wartawan di Bandung, Julia Alazka, untuk BBC News Indonesia.
"Ada embun, jalanan kosong, ada anak sekolah yang jalan dari depan (rumah) sampe sekolah, ada telpon koin... Senang aja ."
Dina dan Widi adalah dua dari ratusan ribu atau jutaan penonton "fanatik" film yang dibintangi Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla ini. Mereka inilah disebut sebaga penonton yang dimotivasi oleh apa yang disebut sebagai daya tarik nostalgia.
"Sekarang lagi musim orang `jualan` nostalgia," kata pengamat industri film serta pengajar jurusan film di Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Ekky Imanjaya kepada Arin Swandari untuk BBC News Indonesia.
Selain faktor nostalgia, masih menurut Ekky, film ini mampu menarik penonton, karena diangkat dari novel yang laris.
"Kalau menurut saya, dia dari novel yang laris ya, novel laris itu mempunyai follower yang besar, dari situ bisa digarap," paparnya.
Jika dibandingkan film Galih dan Ratna versi baru, meski sama-sama menjual nostalgia, namun karena bukan dari novel laris yang memiliki fanbase cukup besar, hasilnya tak seperti film Dilan, katanya menganalisa.
Sang penulis, yaitu Pidi Baiq, mampu mengelola follower-nya sehingga bisa `menggiring` mereka ke bioskop, jelas Ekky.
"Paling tidak 80 persen dari follower nonton film," katanya. Dalam menjual nostalgia ini. Ekky menilai produser, sutradara, dan penulis skenario "sangat lihai".
"Menggabungkan elemen-elemen nostalgia Bandung 1990, 1991, dengan berbagai ikonnya, dari musik, lifestyle , saat itu lagi musim apa, ngapain ," ujarnya.
"Jadi orang-orang yang SMP di zaman 1990 pun nonton (film Dilan). Sementara gayanya yang tidak biasa, gaya merayu, gombal-gombal, romantisnya, nyambung dengan generasi sekarang yang milenial."
"Jadi dua-duanya bersatu, ada dua gelombang besar yang ada di Dilan," paparnya lagi.
Dalam wawancara khusus dengan Julia Alazka untuk BBC News Indonesia, penulis novel Dilan 1990 dan Dilan 1991, Pidi Baiq tidak membantah bahwa karya-karyanya itu dilatari keinginannya untuk `menghidupkan` kisah percintaan ala remaja tahun 1990an.
"Setiap orang ada masanya mengenang masa lalu," kata Pidi Baiq, mulai bercerita. "Saya juga salah satu dari orang itu yang mengenang masa lalu."
"Ketika saya mengenang masa lalu, teringatlah masa pacaran anak zaman dahulu, tahun-tahun di mana saya masih remaja," akunya.
Pidi juga tak memungkiri bahwa trilogi novelnya itu bakal dibandingkan dengan situasi saat ini. "Saya tulis sebagai usaha untuk pembanding saja dengan keadaan di zaman sekarang."
Kebangkitan industri film nasional?
Bagaimanapun, pengamat industri film Ekky Imanjaya mengatakan, dalam tiga tahun terakhir ini industri film nasional "telah bangkit".
Menurutnya, hal ini ditandai dengan makin banyaknya film nasional yang mencapai jumlah penonton di atas 1 juta.
"Tahun 2015, satu atau dua (film) yang (penontonnya) mencapai satu juta, tapi makin ke sini, yaitu 2016, 2017, 2018, bahkan sampai enam film," jelas Ekky.
Meski demikian, Ekky memberi catatan, jumlah tersebut masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan populasi penduduk Indonesia.
Lebih lanjut dia mengatakan, dalam kebangkitan industri film ini, kehadiran film Dilan 1990 dan Dilan 1991 "menjadi salah satu penyumbang terbesar setelah film Warkop Reborn".
"Mereka (film Dilan 1990 dan Dilan 1991) punya bahasa audio visual yang berbeda, punya dialog-dialog yang berbeda, punya pendekatan yang berbeda," kata Ekky.
"(Dua film itu memberi) Tawaran yang lebih segar dan baru pada penonton yang lama-lama makin pintar dan tidak mau itu-itu saja," tambahnya.
`Rayuan gombal` itu, sambungnya, mengalahkan elemen sinematografi dan hal-hal teknis lain dalam film Dilan. "Yang jadi meme kan rayuan gombalnya," ujarnya.
Faktor lain yang membuat Dilan berbeda dengan film nostagia lainnya, demikian analisa Ekky, Dilan dianggap `tokoh baru`, meski menampilkan nostalgia.
"Sementara film-film nostalgia lainnya menampilkan ikon lama," jelasnya.
Pro-kontra Dilan 1990: Isu Syiah dan poster Khomeini
Dalam perjalanannya, film laris ini juga mengundang pro-kontra di masyarakat, terutama ketika ada tuduhan bahwa film itu dianggap mengampanyekan Syiah.
Tudingan Syiah diarahkan kepada penulis novel ini, Pidi Baiq, karena sosok pemimpin spiritual dan pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatollah Khomeini, muncul dalam novel yang diterbitkan penerbit DAR! Mizan ini.
Di novel Dilan 1990, ada adegan antara Bunda (ibu Dilan) dan Milea yang sedang berada di kamar Dilan yang penuh dengan poster tokoh terkenal, salah satunya Ayatollah Khomeini.
Diceritakan dalam novel itu, Khomeini adalah tokoh revolusioner dan imam besar Iran yang disukai Dilan. Namun adegan itu tidak ada di filmnya.
Salah satu pihak yang menuding karya novelis Bandung ini berbau Syiah adalah organisasi Persatuan Islam (Persis) Jawa Barat. Mereka bahkan sempat menggelar kajian tentang film dan novel Dilan.
"Ada dialog (dalam novel), walau tidak banyak, tapi nampak jelas (membicarakan) tentang Ayatollah Khomeini," kata Dian Hardiana, Wakil Ketua PW Pemuda Persis Jawa Barat, kepada Julia Alazka untuk BBC News Indonesia.
"Bahkan, (dialog dalam novel) ini menyebutnya Ayatollah, tidak menyebut Khomeini. (Padahal) Dunia mengenal Khomeini," tambahnya. "Yang menyebut Ayatollah itu orang Syiah."
Dian lantas mencurigai ada motif tertentu di balik penyebutan istilah itu, apalagi menurutnya "dialognya (dalam novel) sampai penajaman imam besar, pemimpin revolusi".
"Kok ini begitu cukup dalam wawasan si novelis ini. Ini orang yang paham tentang Syiah atau berpaham Syiah?" ujar Dian Hardiana.
Dian mengaku khawatir dengan munculnya sosok Dilan, yang lalu dielu-elukan sebagai idola remaja, bahkan namanya dijadikan sebuah taman di Kota Bandung, akan turut mengenalkan sosok Khomeini kepada remaja Indonesia.
"Ketika saya katakan bau Syiah, bukan berarti kemudian saya vonis itu Syiah. Hanya ada di situ aroma yang mengarah kepada `kok ini kayak mengenalkan tokoh Syiah`," katanya.
Apa tanggapan Pidi Baiq atas isu Syiah?
"Sama-sekali apa yang dilakukan Dilan tak ada sangkut pautnya dengan ajaran atau keyakinan tokoh yang ada di poster itu," kata Pidi Baiq dalam wawancara dengan wartawan di Bandung, Julia Alazka, untuk BBC News Indonesia.
Saat ditanya kenapa dalam filmnya tidak ada dialog tentang poster Khomeini, Pidi Baiq mengatakan: "Karena di film tidak ada ruang luas untuk saya bisa menjelaskan alasannya."
Pidi juga berulangkali mengatakan bahwa pada tahun 1990an, yang menjadi latar novel tersebut, belum ada isu Syiah.
"Enggak ada isu Syiah, belum ada. Sekarang memang lain. Makanya jangan mengadili masa lalu dengan keadaan di masa kini," tegas Pidi Baiq.
Tapi apakah saat membuat novel dan film ini, Anda tidak memikirkan konteks saat ini? Tanya Julia Alazka.
"Tidak. Saya betul-betul jujur memotret masa lalu, udah gitu aja ," katanya.
"Betul-betul jujur memotret kehidupan di masa lalu, kehidupan guru di masa lalu, kehidupan siswa sekolah di masa lalu. Enggak bisa dong kita mengadili masa lalu dengan keadaan di zaman sekarang, enggak bisa," paparnya.
Semenjak adanya tuduhan Syiah itu, Pidi mengaku penasaran untuk ingin lebih tahu tentang Sunni, Syiah, serta latar belakang perbedaan di antara mereka. "Apa sih persoalannya, saya enggak mengerti apa-apa," ujar Pidi.
Bagaimanapun, Pidi Baiq akhirnya mengambil langkah untuk "meminta maaf" kepada pihak tertentu yang merasa tidak berkenan dengan apa yang dilakukan Dilan dengan poster Khomeini dalam novelnya.
"Demi Tuhan, sama sekali tak ada maksud ingin menyebarkan suatu paham tertentu dengan menceritakan bagian tersebut di buku," kata Pidi Baiq.
"Saya pribadi adalah seorang Ahlusunahwaljamaah, bagaimana mungkin saya menyebarkan suatu paham yang jelas-jelas bertolak belakang dengan keyakinan saya sendiri?" tegasnya.
"Saya pikir akan lebih baik seandainya lebih dulu melakukan tabayyun, melakukan check and recheck supaya tidak asal tuduh, supaya semuanya menjadi jelas," katanya lagi.
Taman Dilan dibangun di Kota Bandung, buat apa?
Ketika isu tuduhan Syiah mulai redah, muncul kontroversi baru ketika Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, berencana membangun semacam taman bertema Dilan di pelataran Gedung olah raga (GOR) Saparua, Bandung.
Diberi nama Sudut Film Dilan, peletakan batu pertama taman berukuran kecil dilakukan oleh Ridwan Kamil dan Menteri Pariwisata Arief Yahya saat pemutaran perdana film Dilan 1991 di Bandung, akhir Februari lalu.
Rencana ini memicu pro dan kontra dari sejumlah pihak. "Biasanya `kan kalau taman-taman itu nama pahlawan siapa gitu , terus ini Dilan. Kenapa harus Dilan?" kata Puji, mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
"Kayak enggak ada tokoh lain yang bisa membuat pemuda-pemuda ini terinspirasi," katanya lagi.
Menurut Dian, Ketua Lembaga Kajian Harakah Hadaman PP Pemuda Persis, sosok Dilan tidak layak dijadikan `sudut` di taman tersebut, karena dianggapnya bukanlah sosok menginspirasi bagi kaum muda di Bandung.
"Apalagi yang dimunculkan tokoh ini, anak gang-gang -an... Kemudian pacaran-pacaran, dengan suatu tindakan sikap berpacaran tidak wajar di luar batas," katanya. "Tidak mendidik."
Sedangkan seorang warga Bandung lainnya, Iwan, mengaku khawatir `taman Dilan` itu akan dijadikan sebagai tempat berpacaran.
"Ini jangan-jangan nanti, kalau ada anak muda ingin "nembak", di taman itu. Apalagi ada tulisan Dilan, di foto, itu akan jadi kenangan awal mereka mulai bercinta di Taman Dilan," tambah guru SMA ini.
Sementara, pakar politik dan pemerintahan, Firman Manan menilai, rencana Ridwan Kamil membangun Taman Dilan adalah upaya memposisikan dirinya sebagai orang yang dekat dengan generasi milenial.
"Kalaupun ada asosiasinya bahwa Kang Emil itu mendukung Capres 01, kemudian insentifnya buat 01, bisa saja. Tapi saya tidak melihat itu menjadi terlalu signifikan. Apalagi Kang Emil juga tidak secara eksplisit menghubungkan, Pojok Dilan dengan Jokowi Ma`aruf," kata Firman, menganalisa.
Ridwal Kamil: Kita harapkan lahir penulis-penulis seperti Pidi Baiq
Apa tanggapan Ridwan Kamil? Di akun media sosial miliknya, Emil - begitu sapaan akrab Ridwan Kamil - menjelaskan bahwa taman itu hanyalah sudut kecil " seuprit " di Taman Saparua, yang disebutnya bertujuan untuk meningkatkan interaksi budaya literasi di kalangan milenial.
"Kenapa nama Dilan? Karena novel Dilan adalah karya literasi anak Bandung yang paling sukses menjadi film nasional di era milenial (lebih dari 6 juta penonton), kedua tertinggi dalam sejarah film Indonesia," kata Ridwan Kamil.
"Itu yang tidak dimiliki oleh karya literasi lainnya di Jawa Barat. Itu yang diharapkan lahir penulis-penulis seperti Pidi Baiq," tulis Emil di akun media sosialnya, awal Maret lalu).
"Jadi bukan soal perayaan karakter Dilan yang memang pro kontra, karena konteks gaya zaman baheula yang dibaca oleh konteks zaman now ," tambahnya.
Wawancara Pidi Baiq, penulis novel Dilan:
`Saya tidak wajib membocorkan siapa sosok Dilan asli`
Pidi Baiq, kelahiran 1972, mulai dikenal luas setelah trilogi novelnya terkait sosok Dilan, terbit berurutan pada 2014, 2015 serta 2016.
Novel pertama berjudul Dia adalah Dilanku tahun 1990, lalu Dia adalah Dilanku Tahun 1991, serta Milea: Suara dari Dilan.
Dari manakah ide sang penulis terkait sosok Dilan? Apakah soso itu tak lain adalah dirinya sendiri?
"Saya merasa tidak memiliki kewajiban memberitahu siapa aslinya (Dilan)," kata Pidi Baiq dalam wawancara dengan wartawan di Bandung, Julia Alazka untuk BBC News Indonesia, Maret lalu.
Ditemui di kedai kopi miliknya, The Panas Dalam, di Jalan Ambon, Bandung, Pidi Baiq menjawab berbagai kontroversi yang dilekatkan pada dirinya dan karyanya, mulai karakter Dilan dan Milea, tudingan Syiah, hingga pro kontra Taman Dilan.
Berikut petikan wawancaranya:
Film Dilan 1991 memasuki hari kelima sudah menyedot tiga juta penonton. Apa tanggapan Anda?
Saya senang, saya merasa puas dengan hasil yang sudah kami bikin. Artinya, kami senang bisa diterima, berarti yang menerima (film) itu senang. Karena kami senang menyenangkan orang lain.
Apa yang melatari Anda membuat novel Dilan? Itu kisah zaman dulu yang berbeda dengan saat ini . Mengapa Anda hidupkan kembali?
Setiap orang ada masanya mengenang masa lalu. Saya juga salah satu dari orang itu yang (suka) mengenang masa lalu. Ketika saya mengenang masa lalu, teringatlah masa pacaran anak zaman dahulu, tahun di mana saya masih remaja. Jadi saya tulis sebagai usaha untuk pembanding saja dengan keadaan di zaman sekarang.
Apakah isi novel Anda itu berdasarkan kisah nyata Anda?
Saya merasa tidak memiliki kewajiban memberitahu siapa aslinya (Dilan). Yang penting orang cukup baca ceritanya untuk mengetahui bagaimana pergaulan dan percintaan di tahun 1990-an.
Ada anggapan di masyarakat bahwa tokoh Milea dan Dilan dalam novel karya Anda itu nyata?
Ada, asli. Tapi, saya berjanji tidak mengungkapkan siapa diri mereka. Jadi saya harus taat pada janji saya.
Tapi ada dugaan tokoh Dilan itu adalah Anda sendiri ?
Ya, boleh-boleh (adanya anggapan itu). Mau menganggap saya, mau menganggap siapa saja, boleh saja. Pokoknya Dilan adalah siapa pun yang ada di novel Dilan sebagai Dilan.
Kabarnya nama Dilan itu ternyata mengacu pada sosok Bob Dylan yang Anda gemari, sementara sosok Milea itu sebenarnya isteri Anda sendiri?
(Tertawa) Enggak .
Setelah novel dan film Dilan meledak, ada beberapa orang melakukan riset untuk memastikan siapa sosok Dilan dalam kehidupan Anda?
Saya tidak pernah memantau hal-hal seperti itu. Saya juga baru tahu ada investigasi seperti itu. Saya menutup mata dan menutup kuping dengan semua hal-hal yang merespon tentang Dilan. Ah, sudahlah.
Masa` kalau saya Leonardo Da Vinci, terus menyimpan banyak rahasia terkait karyanya, masa` Leonardo da Vinci sendiri akan mengungkap rahasia itu. Percuma dong beritahu rahasia di dalam karyanya kalau akhirnya dibuka juga.
Ketika novel Dilan naik, saya enggak berpikir macam-macam. Pokoknya saya mau mengisahkan sosok Dilan. Itu saja. Ketika bikin film pun, saya enggak berpikir macam-macam. Saya cuma mau menerjemahkan novel ke film. Saya tidak ada urusan dengan banyak hal selain itu.
Selain banyak penggemar, ada yang menolak film Anda karena dianggap tidak mendidik , hingga ada penolakan mahasiswa di Makassar . Apa tanggapan A nda?
Biasalah, manusia seleranya berbeda-beda. Sudut pandangnya berbeda-beda. Saya tidak bisa memaksakan bahwa pendapat saya paling benar.
Orang lain juga tidak bisa memaksakan pendapatnya paling benar. Sikap saya: Kalau ada yang menganggap novel Dilan bagus, ya silakan.
Kalau ada yang menganggap novel Dilan tidak bagus, ya silakan juga. Ada yang menganggap novel Dilan memberikan banyak pelajaran, silakan.
Kalau ada yang menyebut novel Dilan, seperti yang mereka bilang, maksiat, ya silakan.
Saya berkarya, setelah itu sudah. Ketika karya saya sudah dilempar ke masyarakat, maka itu adalah milik masyarakat, terserah mereka mau bilang apa.
Bagaimana soal rencana membangun Pojok Dilan, Taman Dilan, atau Hari Dilan , yang mendapat kritikan dan protes dari masyarakat. Apakah Anda merasa mendapat serangan dengan rencana itu?
Pertama, kalau betul-betul ingin Taman Dilan, saya bikin sendiri sajalah di tanah saya. Itu pasti aman.
Tetapi ketika ada gubernur yang mengapresiasi karya saya dan bilang mau bikin pojok Dilan, ya saya hargai. Ya mangga-mangga aja. Silakan. Bahkan ketika ada yang menolaknya, saya mendukung juga.
Saya adalah orang yang menghargai pendapat orang lain. Masa saya menolak dibikin pojok Dilan, ya silakan saja. Saya juga tanya: Untuk apa?
Kalau disebut demi perkembangan literasi, ya saya setuju. Bagus. Terus ada yang menolak, saya setuju juga, silakan. Saya enggak menginginkan apa-apa selain. Maksudnya tidak ingin neko-neko dengan keberhasilan Dilan ini.
Rencana pembangunan taman itu sudah dikomunikasikan dengan A nda?
Ya pasti izin kepada saya, karena saya pemilik novel Dilan. Ketika mereka minta izin, saya bahkan memberikan jawaban: Kenapa harus izin ke saya, justru saya harus bilang terima kasih ke Bandung, karena sudah melahirkan cerita Dilan yang saya angkat. Tapi, kalau benar-benar mau bikin Taman Dilan, saya bikin sendiri saja.
Dengan ramainya rencana pendirian Taman Dilan, apa kah Anda akan mengusulkan ke pada gubernur agar dibatalkan?
Saya pernah terpikir untuk bilang bahwa mendingan dibatalkan saja. Kalau memang mau bikin Taman Dilan, mendingan di tanah saya sendiri. Saya pernah mau ngomong begitu, tapi belum terlaksana.
Artinya, Anda ingin mengatakan, kalau mau membangun taman itu, lebih baik tidak di lahan pemerintah?
Ya. Di tanah saya saja. Bebas... Tapi karena memang bukan keinginan saya, saya harus menghargai ide orang lain, yaitu idenya Gubernur Jawa Barat. Saya juga menghargai ketika ada yang menentangnya.
Ada anggap n di sebagian anggota masyarakat, melalui novel Dilan, Anda membawa ajaran Syiah?
(Tertawa) Saya betul-betul jujur memotret fenomena yang terjadi di 1990. Saya sama sekali tidak ada tendensi untuk menyangkutpautkan dengan ajaran Syiah, Sunni, atau apa lagi. Saya sama sekali tidak.
Saya hanya memotret fenomena yang terjadi di tahun 90 ketika poster Ayatollah Khomeini dijual di mana-mana, karena dia dianggap satu sosok yang berani melawan Amerika Serikat.
Saya hanya sampai di situ. Ini memang terjadi, poster ini dijual bebas. Dulu belum ada persoalan ada yang mengangkat persoalan Syiah.
Pada masa itu barang siapa yang melawan Amerika akan dianggap sebagai pahlawan, termasuk ketika orang mulai menjamurnya kaos-kaos yang bergambar Yasser Arafat, Nelson Mandela. Saya pikir dulu itu hal biasa.
Bahwa kemudian sekarang saya dianggap menyebarkan Syiah karena menulis di beberapa halaman novel bahwa Dilan menempelkan poster Ayatollah Khomeini, karena memang pada waktu itu Dilan tidak mengerti Syiah atau Sunni.
Kalau terpikir bahwa dengan menempelkan poster Ayatollah Khomeini bahwa Dilan dianggap Syiah, mengapa tidak dipersoalkan ketika Dilan menempel posternya Mick Jagger?
Dia juga tidak ada tendensi apa-apa ketika menempelkan poster Mick Jagger, bukan berarti Dilan seorang Nasrani kan?
Di novel dituliskan nama Ayatollah Khomeini dalam sebuah adegan Milea di kamar Dilan, tapi di filmnya tidak ada? Disensor atau memang tidak ada adegan itu?
Kalau di buku, apa yang dilakukan Dilan dengan menempel gambar Khomeini dan Mick Jagger, bisa saya jelaskan alasannya, bahwa sama sekali apa yang dilakukan Dilan tak ada sangkut pautnya dengan ajaran atau keyakinan tokoh yang ada di poster itu.
Di film Dilan, soal Dilan memasang poster tidak saya tampilkan, karena di film tidak ada ruang luas untuk saya bisa menjelaskan alasannya.
Memang kalau ngomong konteks berbeda yah. Zaman dulu belum ada isu Syiah. Sekarang memang lain. Makanya jangan mengadili masa lalu dengan keadaan di masa kini.
Tapi waktu membuat novel dan film ini, apakah Anda tidak memi kirkan konteks saat ini?
Tidak. Saya betul-betul jujur memotret masa lalu. Betul-betul jujur memotret kehidupan di masa lalu, kehidupan guru di masa lalu, kehidupan siswa sekolah di masa lalu. Enggak bisa dong kita mengadili masa lalu dengan keadaan di zaman sekarang.
Saya aslinya, sejak ada tuduhan saya Syiah, saya jadi sering googling : Syiah itu apa? Sunni itu apa? Apa persoalannya? Saya enggak mengerti apa-apa.
Sekarang, saya harus minta maaf kepada pihak tertentu yang merasa tidak berkenan dengan apa yang dilakukan oleh Dilan sehubungan dengan adanya cerita Dilan memasang poster itu.
Karena, demi Tuhan, sama sekali tak ada maksud ingin menyebarkan suatu paham tertentu dengan menceritakan bagian tersebut di buku. Saya pribadi adalah seorang Ahlusunahwaljamaah .
Saya pikir akan lebih baik seandainya (pihak-pihak yang menuduhnya menyebarkan Syiah) terlebih dulu melakukan tabayyun , melakukan check and recheck , supaya tidak asal tuduh supaya semuanya menjadi jelas.
BBC News Indonesia