Cerita di Balik Ramainya Film Berbahasa Jawa
- Instagram/@Starvisionplus
Bahasa Jawa belakangan mulai mendominasi pemutaran film, tidak hanya di tempat penayangan terbatas, tetapi juga bioskop-bioskop komersial. Ada apa di balik fenomena ini?
Di ruang pemutaran GoetheHaus, Jakarta, penonton tergelak, mengaduh menikmati film-film pendek yang mayoritas berbahasa Jawa. Tiga dari lima film pendek yang ditayangkan dalam acara Film, Musik, Makan itu menggunakan bahasa daerah dengan penutur lebih 84 juta jiwa tersebut.
Salah satunya adalah Waung (2018), film pendek karya Wregas Bhanuteja, sineas asal Yogyakarta yang pernah membanggakan Indonesia lewat film pendeknya, Prenjak (2016), yang meraih penghargaan film pendek terbaik di Semaine de la Critique, Festival Film Cannes 2016.
Selain Waung, yang berkisah tentang seorang lelaki yang memiliki kesukaan khusus pada aroma, Prenjak, dan film-film pendek Wregas sebelumnya; Hanuman (2011), Lemantun (2014) dan Lembusura (2015), juga berbahasa Jawa.
"Saya menggunakan bahasa Jawa karena itu bahasa ibu saya. Saya merasa lebih ketika membuatnya. Kalau berbahasa Indonesia, saya merasa kagok, terbata-bata," kata Wregas dilansir BBC.
Bahasa Jawa digunakan Wregas karena film-filmnya tersebut berlatar di Yogyakarta.
"Mungkin karena saya punya kedekatan emosional cukup kuat dengan Yogya. Meskipun sudah delapan tahun di Jakarta, saya belum merasa nyaman mengangkat cerita dengan basis Jakarta."
Lelaki yang mengenyam pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu menekankan bahwa penting baginya untuk membuat film yang dekat dengan dirinya, karena membuatnya paham seluruh elemen; seperti dialog, peristiwa, konflik dan tempat, dengan lebih baik.
"Dan ketika saya tahu dan paham apa yang mau saya buat, filmnya akan jadi lebih utuh, lebih bagus. Kalau saya memfilmkan cerita yang jauh-jauh, yang saya tidak pahami, takutnya jadi setengah-setengah, tidak orijinal."
Film Lembusura yang disutradarai Wregas, tayang di salah satu festival film paling bergengsi di dunia, Festival Film Berlin, 2015 lalu.
Arus Yogyakarta
Ramainya film-film berbahasa Jawa, tidak terlepas dari `kebangkitan` sineas Yogyakarta, yang film mereka akhir-akhir ini menggeliat di berbagai penjuru Indonesia, bahkan dunia.
Para sineas Yogyakarta merentang dari yang gaek, seperti Garin Nugroho (Opera Jawa, Setan Jawa), Ifa Isfansyah (Pendekar Tongkat Emas, Sang Penari), Edi Cahyono (Siti), hingga rekan sepantaran Wregas, Yosep Anggi Noen (Istirahatlah Kata-kata, Kisah Cinta yang Asu).
"Meskipun sineasnya banyak, tapi Yogya itu sempit. Kami sering dipertemukan di ruang-ruang putar, seperti Taman Budaya, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Lembaga Indonesia Prancis," cerita Wregas.
Kedekatan membuat para pembuat film di Yogyakarta, baik yang tua maupun yang muda, saling berbagi ide cerita, memberikan komentar dan berdiskusi. "Jadi ruang yang sangat asik bagi tumbuh perfilman," lanjutnya.
Hal serupa disampaikan Eden Junjung, yang filmnya Happy Family (2016), juga ditayangkan di festival Film, Musik, Makan. Pernah bekerja sebagai editor film di Jakarta, Eden memutuskan untuk berkiprah di kampung halamannya, Yogyakarta.
"Aku tidak tahu kenapa, tetapi iklim toleransi, berkomunitas, berkumpul membicarakan sesuatu itu, masih terjadi di Yogyakarta," kata Eden.
Happy Family yang berkisah tentang seorang penjaga masjid yang mencari putrinya yang bekerja menjadi pekerja seks komersial itu, telah ditayangkan di sejumlah festival film di Malta dan Rusia.
Banyaknya produksi yang dilakukan sineas Yogyakarta, menurut Eden, karena para pekerja film di sana `tidak selalu manut pada uang`.
"Ketika temanya dianggap menarik, penting, bahkan dibayar kecil mereka tidak masalah. Lebih ekstrem lagi, kalau tidak ada duit, tidak dibayar juga tidak apa-apa.
"Sementara (perfilman) di Jakarta, orang-orang sibuk dengan dan keuntungan," lanjut Eden.
Ditambahkan Wregas, rekan-rekannya lebih senang menggarap film di Yogyakarta, "karena punya banyak ruang eksplorasi dan keleluasaan beride. Misalnya Edi Cahyono yang membuat . Eksplorasi gagasannya dalam, dan tidak menuntut kalau film itu harus diputar di bioskop dan laris.
Menurut Wregas, "Jika tidak ada bioskop biasa yang mau menayangkan, masih ada ruang alternatif lain, seperti festival film atau bioskop alternatif."
Sinema berbahasa lokal juga memberikan kesempatan kepada aktris setempat untuk menunjukkan kemampuannya. Salah satu yang menonjol adalah Sekar Sari. Sebelum berperan dalam yang digarap Wregas, Sekar mencuri perhatian dalam film hitam putih berbahasa Jawa, Siti.
Lewat, yang tayang di berbagai festival film dunia, Sekar meraih penghargaan Pemeran Utama Wanita Terbaik Usmar Ismail 2016.
Sekar baru saja merampungkan film karya sutradara Jepang, Koji Fukada, yang berjudul . Pada film drama fantasi tentang tsunami dan berlatar di Aceh itu, Sekar harus berakting dalam bahasa Aceh.
Kepada BBC Indonesia, perempuan yang menempuh pendidikan di Universitas Roehampton, London, tersebut tidak setuju dengan anggapan bahwa berakting dalam bahasa ibunya (Jawa) lebih gampang, dan berakting dalam bahasa yang sebelumnya sama sekali tidak dikenalnya (Aceh), lebih sulit.
"Itu (bahasa) bisa dipelajari. Bahasa adalah keterampilan. Belum tentu berperan dalam Bahasa Indonesia, misalnya, lebih mudah atau lebih sulit, itu tergantung kemauan kita untuk mencapai karakter itu," cerita Sekar.
Sekar merasa semakin banyaknya film berbahasa daerah, "sangat membantu menunjukkan identitas Indonesia yang beragam dan kaya.
"Kemarin saya nonton film karya mas Fajar Nugros. Dengan cita rasa Jawa Timuran. Itu menarik sekali. Beda dengan film komedi yang tayang akhir-akhir ini. Segar dan otentik. Senang melihat keberagaman itu."
Kepada BBC Indonesia, Fajar Nugros menyebut larisnya adalah pembuktian bahwa jika komedi dituturkan dengan bahasa yang sangat dekat, maka akan bisa diterima. "Pemainnya bisa lebih karena menggunakan bahasa sehari-hari, khususnya Bayu (Skak) dan Josua (Suherman)."
Film yang ditayangkan dengan terjemahan Bahasa Indonesia ini berkisah tentang Yowis Band, sebuah band asal Malang yang digawangi Bayu (Bayu Skak) dan rekan-rekannya, yang bertekad meraih mimpi untuk menjadi terkenal.
"Film itu bahasa universal. Kita bisa nangis kok melihat film Korea meskipun nggak ngerti dia ngomong apa. Nonton horor Thailand, kita bisa takut kok. Film itu universal," pungkas Fajar.
Namun, mayoritas film berbahasa daerah yang muncul adalah film berbahasa Jawa. Lalu bagaimana dengan film dari daerah lain? Dari Sumatera, Kalimantan, Papua dan lain sebagainya?
Terakhir yang ramai dibicarakan adalah yang berbahasa Bugis-Makassar yang dirilis Agustus 2016 lalu.
Wregas merasa film-film dari daerah lain juga penting untuk muncul "agar kita bisa lebih memahami kebhinekaan dan keberagaman." Dia berharap semangat yang telah mulai muncul di Makassar, lewat film , agar ditiru oleh berbagai daerah lain.
Di sisi lain, Fajar Nugros menganggap cerita dan budaya dari daerah selain Jawa, sebenarnya telah diangkat oleh berbagai film layar lebar negeri ini. Meskipun hanya menggunakan dialek daerah saja, "film si Doel dan Benyamin itu sudah mengangkat budaya Betawi. Kabayan itu budaya Sunda. Nagabonar dari Medan."
Seorang penonton film, Ian Adiwibowo merasa perlu adanya film dari daerah lain lengkap dengan bahasa lokalnya, karena dia penasaran "melihat eksotisme baru, dan cara pandang masyarakat yang berbeda yang diangkat oleh film-film dari daerah berbeda."
Ian selama ini menjadikan film berbahasa lokal sebagai medium untuk mempelajari manusia dan berbagai karakternya.
"Lihat film dengan bahas daerah berbeda, membuat kita jadi mengenal berbagai macam kelompok orang. Dan ternyata ujung-ujungnya, meskipun berbeda, kita sama saja. Ternyata orang di Sumba, misalnya juga punya ketakutan atau kesenangan yang sama dengan saya yang di Jakarta ini."
Dengan banyaknya film dari daerah lain "kita jadi lebih dekat dengan akar kita, dan jadi memahami budaya di sana (daerah lain). Saling mengenal inilah yang membuat kita lebih saling sayang sebagai sebuah bangsa," pungkas Wregas.