Maze Runner: The Death Cure, Dramatis Lebih Mendebarkan
- 20th Century Fox
VIVA – Sebuah jeep tua tiba-tiba muncul, mengekor kereta yang melaju kencang. Vince menginjak pedal, memainkan persneling, memasukkan roda-roda raksasa jeep-nya ke dalam lintasan kereta, melaju tepat di belakang ular besi tersebut.
Thomas keluar dari kursi penumpang. Pemuda itu melompat, melemparkan tubuhnya pada salah satu gerbong. Seketika, dia diberondong peluru. Adu tembak tak terelakkan. Berhasilkah Thomas selamat?
Adegan aksi yang intens, seperti dalam trailernya, langsung menjadi pembuka film terakhir Maze Runner, The Death Cure. Wes Ball, sang sutradara, seolah tak mau memberi ruang untuk penontonnya leha-leha, sesaat setelah film ini diputar. Lima menit adegan pertama berlangsung penuh ketegangan dan berhasil meninggalkan impresi kuat setelah dua tahun absen dari layar bioskop.
Maze Runner bukan franchise baru, karena film ini sudah tayang sejak tahun 2014 dan dilanjutkan dengan sekuelnya, The Scorch Trials pada tahun 2015.
Saat pertama kali Maze Runner muncul, sambutan para pembaca novel dan fans baru film ini begitu besar. Di tahun itu, genre dystopian memang sedang jadi tren di dunia perfilman. Beberapa film sejenis yang menggambarkan kekacauan dan kegelapan dunia di masa depan kala itu antara lain Hunger Games dan Divergent.
Maze Runner pun kemudian hadir dengan warna yang cukup berbeda, seperti menonjolkan kekuatan lebih pada hubungan antar tokoh dan karakter di dalamnya. Film ini seketika jadi favorit fans baru, yang didominasi para remaja dan dewasa muda.
Namun, The Death Cure, film ketiga sekaligus terakhir Maze Runner, rupanya harus memundurkan jadwal tayang hingga satu tahun lamanya. Agak disayangkan, karena tren dystopian saat ini tak sepopuler beberapa tahun yang lalu.
Tapi lagi-lagi Wes Ball seperti tak mau mengecewakan penggemarnya begitu saja. Dengan durasi film 2 jam 23 menit, The Death Cure menjadi film pamungkas yang benar-benar membekas di hati para pecintanya. Film ini bukan hanya memberi konklusi dan akhir perjalanan Thomas dan kawan-kawan, tapi juga meninggalkan perasaan emosional bagi para penontonnya.
Plot dasar memang terlihat dangkal pada awalnya. Thomas bersikeras menyelamatkan Minho (Ki Hong Lee) yang ditangkap WCKD pada akhir film kedua. Namun Wes Ball tak mau membuatnya mudah. Virus mematikan (The Flare) dan para zombie (The Crank) bukan satu-satunya tantangan di film ini. Konflik di antara para karakternya pun berhasil membuat kisah The Death Cure rumit dan dramatis.
Hal lain yang menyenangkan saat menonton film ini adalah perkembangan karakter para pemainnya. Bagi mereka yang mengikuti film ini dari awal, tentu bisa merasakan, bagaimana Dylan O'Brien, Ki Hong Lee, Thomas Brodie-Sangster sebagai Newt, Kaya Scodelario sebagai Teresa, dan tokoh lainnya semakin matang dalam memerankan karakter mereka.
Dylan, misalnya. Aktor 26 tahun ini sukses memvisualisasikan karakter Thomas yang kini lebih dewasa, namun dipenuhi konflik internal dalam dirinya. Momen-momen Thomas yang berani, namun dalam waktu bersamaan juga takut, berhasil disampaikan dengan baik oleh Dylan.
Begitu juga dengan Thomas Brodie-Sangster, Newt. Memerankan sidekick yang selalu mempercayai dan setia bersama Thomas, Sangster tak pernah kehilangan ruhnya sebagai Newt. Kaya, Ki Hong Lee pun tak kalah sukses memberi nyawa dan emosi karakter yang mereka perankan di depan layar.
Penasaran dengan aksi terakhir Thomas dan kawan-kawan? Maze Runner: The Death Cure sudah bisa disaksikan di bioskop-bioskop Indonesia mulai hari ini, 24 Januari 2018.