5 Puisi Indah Karya Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono
Sumber :
  • Instagram/damonosapardi

VIVA – Sastrawan dan penyair ternama Indonesia, Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada Minggu, 19 Juli 2020, di sebuah rumah sakit di Tangerang. Kepergian sang maestro menjadi pukulan berat bagi dunia sastra Indonesia.

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940. Nama beliau kerap disapa dengan singkatan SDD.

Sapardi Djoko Damono sudah akrab dengan dunia menulis sejak di bangku sekolah. Kecintaannya terhadap menulis kian berkembang saat ia masuk kuliah di Bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat itu, ia sudah banyak mengirim karyanya ke majalah-majalah.

Tahun 1973, Sapardi Djoko Damono menjabat sebagai direktur Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Ia mulai mengajar sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia di tahun 1974. Kemudian di tahun 1995-1999, Sapardi menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Bahasa UI dan menjadi guru besar.

Tak hanya puisi, Sapardi Djoko Damono juga banyak menulis cerita pendek dan novel. Berikut puisi-puisi terbaik Sapardi Djoko Damono yang dirangkum VIVA.

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Hanya

Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana

Hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu

Hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari

Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu
Kita abadi

Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
Nanti dulu
biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi