Bantah Dilobi China soal Uighur, Muhammadiyah Desak WSJ Minta Maaf
- ANTARA FOTO/M Irfan Ilmie
VIVA – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah membantah telah menerima fasilitas maupun lobi-lobi dari pemerintah China sebagai upaya untuk mempengaruhi sikap terkait dengan permasalahan hak asasi manusia atas etnis Muslim Uighur di wilayah Xinjiang.
Isu ini sepekan terakhir menyeruak ke publik setelah media asing Wall Street Journal atau WSJ menyebut sejumlah organisasi masyarakat Islam di Indonesia telah “dibungkam” oleh China.
"Pemberitaan tersebut sangat tidak berdasar dan fitnah yang merusak nama baik Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia," kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti di Jakarta, Senin 16 Desember 2019.
Muhammadiyah mendesak agar media asing yang berbasis di New York itu meralat pemberitaannya dan meminta maaf kepada Muhammadiyah. Mereka juga mendesak agar pemerintah China lebih terbuka terhadap informasi dan akses masyarakat internasional mengenai kebijakan di Xinjiang.
"Pemerintah Tiongkok agar menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM khususnya kepada masyarakat Uighur atas dalih apa pun. Penyelesaian hendaknya dilakukan lewat dialog dengan tokoh Uighur dan memberi kebebasan kepada Muslim untuk melaksanakan ibadah," ujar Abdul Mu'ti.
Pekan lalu, WSJ menyebut pandangan sejumlah ormas Islam di Indonesia soal kasus di Xinjiang berubah, setelah belasan ulama dan akademisi diundang secara langsung ke Xinjiang untuk melihat kondisi kamp-kamp pendidikan ulang di sana.
Para ormas tersebut dituding telah dibentuk opininya dengan didukung oleh sumbangan dan dukungan finansial lainnya. Upaya itu dituding berhasil menumpulkan kritik dari negara-negara mayoritas Muslim, terkait perlakuannya kepada etnis Uighur.
Meski begitu, tidak semua ulama Muslim yang melakukan perjalanan yang disponsori China ke Xinjiang, mendukung hal tersebut. Muhyiddin Junaidi, Kepala Hubungan Internasional di Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan bahwa kunjungannya pada bulan Februari lalu sangat dikendalikan dengan ketat dan bahwa warga Uighur yang ditemuinya tampak takut untuk mengekspresikan diri.
Dia menyebut undangan Beijing kepada para influencer Indonesia ditujukan untuk mencuci otak pandangan publik dan mengkritik Muslim Indonesia yang disebutnya telah menjadi pembela bagi Tiongkok