Fenomena Geng Motor Tak Sekadar Kriminal

Rekaman CCTV penjarahan yang dilakukan sekelompok pemuda diduga geng motor.
Sumber :
  • ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Gerombolan remaja bersepeda motor membikin onar lagi. Ulah kawanan yang mengidentifikasi diri sebagai geng motor itu tak lagi hanya kebut-kebutan atau tawuran tetapi berkembang menjadi penjarahan.

Mereka seolah tanpa takut menjarah sebuah toko pakaian yang buka selama 24 jam di Kota Depok, Jawa Barat, pada Minggu dini hari, 24 Desember 2017. Komplotan itu terdiri tiga komunitas penggemar sepeda motor, yakni Jepang (Jembatan Mampang), RBR, dan Matador.

Dua puluh tujuh orang ditangkap sehari kemudian. Sebagian remaja tetapi enam di antaranya anak-anak dan tiga yang lain wanita. Empat positif mengonsumsi narkotika dan obat-obatan terlarang: dua orang mengonsumsi sabu-sabu dan ganja serta yang lain menenggak obat penenang.

Reputasi

Polisi membebaskan sembilan belas orang di antara mereka setelah menetapkan delapan sebagai tersangka. Hanya delapan yang terakhir itulah yang disangka terlibat dalam tindak kejahatan penjarahan, sementara yang lain cuma ikut-ikutan dalam komunitas sepeda motor itu.

Di antara delapan tersangka itu, lima laki-laki dan sisanya wanita. Rata-rata berusia 16 tahun sampai 18 tahun, kecuali seorang berumur 20 tahun. Tak ada tersangka anak-anak meski beberapa anggota geng motor itu di bawah umur. Namun keberadaan anak-anak dalam kelompok itu memperlihatkan adanya sistem rekrutmen dan semacam kaderisasi.

Gejala yang dapat disebut baru ialah keberadaan perempuan di antara mereka. Geng motor lazimnya dominan laki-laki dewasa, namun kini mulai terbuka untuk wanita. Keterlibatan mereka pun bukan cuma ikut-ikutan tetapi dianggap penting karena berperan dalam aksi penjarahan itu.

“Mereka (tiga perempuan) ini ada yang langsung mengambil barang, ada yang nunggu di motor, dan ada yang terima hasil,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Depok, Ajun Komisaris Besar Polisi Didik Sugiyarto, dalam konferensi pers pada Selasa, 26 Desember 2017.

Reputasi ketiga geng motor tak hanya dikenal melalui sekali penjarahan di toko pakaian itu tetapi sudah beberapa kali aksi. Polisi menerima sedikitnya lima laporan tindak kejahatan yang diduga ulah geng motor itu, di antaranya pencurian dengan kekerasan, pemerasan, dan perkelahian antarkelompok.

Satu kebiasaan mereka selama ini yang pantang melibatkan perempuan saat beraksi mengindikasikan bahwa geng motor itu bukan kelompok yang baru terbentuk dan beraksi spontan, melainkan terorganisasi dan terencana. Berdasarkan keterangan para tersangka, mereka sesungguhnya selalu menghindari melibatkan wanita kala beraksi, karena dianggap akan sial.

Namun dalam aksi pada dini hari itu pantangan dilanggar; tiga gadis ikut, dan tertangkaplah mereka setelah semua terekam kamera pengawas (CCTV). "Malam itu anggota perempuannya ada yang ikut, (dan) mereka anggap apes," kata Komisaris Putu Kholis Aryana, Kepala Satuan Reskrim Polresta Depok.

Pelanggaran atas kode etik geng motor itu dapat dimengerti kalau ditelisik peran tiga perempuan di dalamnya. Mereka, seperti keterangan polisi, bukan cuma ikut-ikutan melainkan berperan penting bagi organisasi geng motor, yaitu mencari atau merekrut anggota baru. Metode perekrutan sebagian besar melalui media sosial.

***

Ditumpas

Polisi sudah menyatakan dengan tegas tak segan-segan menindak geng motor yang sering berulah atau mengganggu keamanan dan ketertiban. Tidak hanya di Depok, tetapi juga di wilayah Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan daerah-daerah lain di Indonesia.

"Intinya, geng motor itu akan kami sikat terus. Polda Metro Jaya melalui Kapolda sudah komitmen dan menyampaikan statement-nya, kami akan tumpas geng motor itu," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Hubungan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Polisi Muhammad Iqbal, di Jakarta pada Selasa.

Polisi menyadari bahwa pendekatan hukum dengan penindakan sebenarnya tak cukup untuk menumpas geng motor yang kerap bikin onar itu. Soalnya ditangkap satu, bisa muncul puluhan anggota baru, yang bahkan lebih militan daripada senior-seniornya.

Satu formula yang digagas polisi ialah memutus regenerasi geng motor itu dengan menindak pemimpinnya dan elite-elite perekrut. Setelah rekrutmen berhenti atau minimal tak efektif akibat tak ada pemimpin, para anggota geng motor diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat, misalnya dibina menjadi pembalap bagi yang hobi balapan.

Polisi bekerja sama dengan Ikatan Motor Indonesia (IMI) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) untuk memfasilitasi remaja-remaja anggota geng motor itu.

"Lebih baik mereka hijrah; kalau memang mereka pembalap, nanti kita siapkan (fasilitas). Kami akan koordinasi dengan KONI, koordinasi dengan IMI; silakan menjadi pembalap, bukan kebut-kebutan, bahkan mereka melakukan tindak pidana, mengganggu ketertiban masyarakat umum," kata Iqbal.

"Kalau (mengganggu ketertiban) seperti itu," dia menegaskan, "jelas kita akan sikat, tangkap dan proses hukum, dan jangan main-main dengan geng motor ini."

Iqbal mengklaim, melalui pendekatan penyaluran hobi itu sebenarnya keberadaan geng motor, terutama di kota-kota besar, sebenarnya sudah jauh berkurang. Namun polisi tetap menindak tegas jika ditemukan geng motor yang kerap membuat kericuhan, termasuk pelaku di bawah umur dan wanita.

Hanya perlakuan terhadap anak-anak dan wanita dibedakan, sesuai Undang-Undang tentang Perlindungan Anak. "Itu lex specialis (hukum yang bersifat khusus), ada regulasi tertentu; kalau ada yang di bawah umur tujuh belas tahun ada undang-undang tersendiri, kami akan koordinasi dengan beberapa stakeholder yang membidangi itu," ujarnya.

Tetapi pendekatan yang digunakan polisi dianggap memiliki kelemahan karena belum menyentuh akar persoalan sebenarnya, sebatas solusi untuk dampak-dampak yang ditimbulkan. Masalah sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang menjadi pemicu atau berkembangnya geng motor itu.

***

Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI menganalisis, penyebab marak geng motor sebenarnya keluarga. Jasra Putra, komisioner KPAI, setelah menemui para anggota geng motor tersangka pelaku penjarahan di Depok, menemukan fakta bahwa mereka berlatar belakang keluarga prasejahtera atau tergolong kelas menengah ke bawah.

Para remaja itu, kata Jasra, kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tua masing-masing. "Karena orang tuanya sibuk bekerja," katanya dalam wawancara dengan tvOne pada Selasa pagi. "Dari segi pengasuhan," menurutnya, "mereka memiliki keterbatasan karena prasejahtera."

Analisis Jasra itu didukung keterangan polisi atas pemeriksaan terhadap para tersangka, terutama yang berhubungan dengan tindakan penjarahan. Barang-barang hasil jarahan tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun kelompok, melainkan untuk diberikan sebagai hadiah kepada kelompok lain.

“Barang jarahan dibagi-bagi dan sebagian dipersiapkan untuk bingkisan ketika kelompok ini diundang gabung untuk konvoi," kata Ajun Komisaris Besar Polisi Didik Sugiyarto.

Berdasarkan pengakuan tersangka berinisial AG, anggota Geng Jepang, tersimpul niat bahwa aksi mereka tidak hanya bermotif kriminal murni, melainkan sekadar demi eksistensi dan popularitas. “Biar eksis aja, Pak, enggak ada maksud lain,” katanya.

AG pun mengaku, kelompoknya sengaja menyewa sebuah rumah di kawasan Pitara, Kecamatan Pancoran Mas, untuk dijadikan base camp atau markas. Rumah itu, selain tempat berkumpul, juga untuk menaruh sejumlah senjata tajam perlengkapan beraksi.

Tak hanya menjarah toko pakaian, kelompok itu juga tercatat pernah melakukan aksi pidana lain, seperti menjarah makanan di warung, mencuri tabung gas tiga kilogram milik pedagang nasi goreng, pemerasan hingga tawuran antarkelompok. (umi)