Derita Perempuan Rohingya

Perempuan pengungsi Rohingya
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Jika suatu negara konflik atau perang, maka perempuan dan anak adalah korban yang paling menderita. Mereka kerap menjadi sasaran kekejaman dan kebrutalan pihak lawan.

Perempuan dan anak-anak etnis Rohingya di Myanmar sudah merasakan kepedihan itu. Lebih keji lagi, karena untuk kasus Rohingya, tim dari Perserikatan Bangsa Bangsa menemukan fakta bahwa kekejian terhadap perempuan Rohingya dilakukan secara terencana, terstruktur dan sistematis.

Sebuah pernyataan yang disampaikan oleh PBB pada Minggu, 12 November 2017, mengabarkan bagaimana tentara Myanmar memang secara sistematis menargetkan perempuan Rohingya sebagai sasaran perkosaan beramai-ramai. Hal ini yang menjadi alasan mengapa perempuan Rohingya akhirnya melakukan eksodus ke Bangladesh.

Utusan Khusus Sekjen PBB untuk kekerasan seksual dalam konflik, Pramila Patten, memberikan komentar dan kisah yang ia dapatkan dari pengungsi setelah mengunjungi distrik Cox's Bazaar di Bangladesh.  Selama 10 pekan terakhir, sekitar 610.000 warga Rohingya mengungsi ke lokasi ini. Mereka datang secara bergelombang dengan berbagai cara. Laki-laki, perempuan, dewasa, dan anak-anak terus berdatangan.

"Saya mendengar cerita mengerikan tentang pemerkosaan dan pemerkosaan geng, dengan banyak wanita dan anak perempuan yang meninggal akibat pemerkosaan tersebut," kata Patten kepada wartawan di Dhaka, seperti diberitakan Channel News Asia, Minggu 12 November 2017.

"Pengamatan saya menunjukkan pola kekejaman yang meluas, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan Rohingya yang telah ditargetkan secara sistematis karena etnis dan agama mereka," tuturnya.

Ia meyakini, di Rakhine telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.  Sebab, kekerasan seksual di negara bagian Myanmar di utara Rakhine. "telah diperintahkan, diatur, dan dilakukan oleh angkatan bersenjata Myanmar."

Patten melanjutkan, berdasarkan cerita yang ia dapat, bentuk kekerasan seksual yang terjadi bukan hanya pemerkosaan. "Korban yang selamat bercerita, selain terjadi pemerkosaan oleh kelompok tentara, perempuan ini juga dipaksa telanjang, dihina secara seksual, hingga dijadikan budak seks di pangkalan militer," ujarnya.

Ia menggambarkan pertemuannya dengan seorang korban yang selamat, yang bercerita bagaimana selama 45 hari ia disekap dan diperkosa berulang-ulang. Korban lainnya menunjukkan bekas luka, bekas gigitan dan memar-memar akibat siksaan. Pelakunya juga bukan hanya militer, tapi juga polisi perbatasan, milisi yang berasal dari umat Budha, dan kelompok etnis lain di Rakhine.


Laporan PBB Terkonfirmasi

Peter Bouckaert, Direktur Kondisi Darurat Human Rights Watch yang menyelidiki kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, mengatakan dalam sebuah wawancara, kebrutalan yang terjadi di sana bermula dari kampanye pembersihan etnis yang terus berlanjut terhadap orang-orang Rohingya.

"Dalam 20 tahun saya bekerja di Human Rights Watch, ini adalah beberapa pelanggaran paling mengerikan yang telah saya dokumentasikan. Mereka benar-benar membawa kembali kenangan akan genosida di Rwanda dalam hal tingkat kebencian dan kekerasan ekstrem yang ditunjukkan - terutama terhadap wanita dan anak-anak," katanya.

"Kami melihat pemerkosaan dan pelecehan seksual yang meluas pada wanita," tutur Bouckaert seperti dikutip dari Al Jazeera. "Mayoritas wanita yang diperkosa dibunuh. Tidak ada keraguan tentang itu," katanya. Ia menambahkan, motivasi di balik sebagian besar aksi kekerasan itu adalah "kebencian rasis."

"Kampanye dehumanisasi dan rasisme melawan Rohingya  benar-benar menjadi pendorong kekerasan ekstrem ini, termasuk kekerasan seksual, terhadap masyarakat," katanya. Bouckaert mengatakan "tujuan utama" militer Myanmar adalah untuk membersihkan Burma sepenuhnya dari populasi Rohingya.

"Mereka tidak diakui sebagai warga negara di negara mereka sendiri, dan mereka bahkan tidak dikenali sebagai pengungsi saat mereka melarikan diri dari kebrutalan ini. Jadi sulit untuk memikirkan orang-orang yang lebih ditinggalkan di dunia. Identitas mereka yang hancur," tuturnya.

Kate White, Koordinator Kondisi Darurat Medis dari lembaga Doctors Without Borders (MSF), yang sudah membuka posko kesehatan di kamp pengungsi di Bangladesh mengakui, aksi kekerasan seksual terhadap perempuan Rohingya "benar-benar meluas."

Kabar tersebut jelas dibantah oleh militer Myanmar. Mereka menolak semua tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan keamanan. Tapi pimpinan militer Myanmar memutuskan segera memindahkan Mayor Jenderal Maung Maung Soe dari posisinya sebagai Komandan wilayah barat yang menguasai Rakhine, di mana militer Myanmar yang juga dikenal dengan nama Tatmadaw meluncurkan operasi kontra pemberontakan pada Agustus lalu.

"Saya tidak tahu alasan mengapa dia dipindahkan," kata Mayor Jenderal Aye Lwin, Wakil Direktur Persiapan Psikologis dan Departemen Hubungan Masyarakat di Kementerian Pertahanan, kepada Reuters. "Dia tidak pindah ke posisi apapun saat ini. Dia telah dimasukkan ke dalam 'cadangan'. "

Katina Adams, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS mengatakan Amerika Serikat mengetahui laporan penggantian jenderal tersebut. "Kami tetap prihatin dengan  laporan tentang kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan keamanan dan warga negara Burma. Mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran harus dimintai pertanggungjawaban," ujarnya.

ASEAN Bungkam

Sayangnya, meski kasus kekejian itu begitu terang benderang dan baru saja disampaikan, pemimpin ASEAN ternyata memilih tak melakukan intervensi untuk menghentikan aksi kekerasan biadab di Rakhine.  Sehari setelah PBB mengumumkan temuannya soal kasus pemerkosaan brutal pada perempuan Rohingya, para pemimpin ASEAN, termasuk Aung San Suu Kyi menggelar ASEAN Summit di Manila, pada 13 hingga 14 November 2017.

Melalui pernyataan yang dibacakan oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada akhir pertemuan, para pemimpin ASEAN menegaskan, kasus Rohingya adalah kasus internal Myanmar. Diberitakan oleh Al Jazeera, kasus Rohingya sempat menjadi salah satu isu yang diagendakan dalam pertemuan. Tapi pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi meyakinkan para pemimpin ASEAN bahwa negaranya sedang melakukan sesuatu untuk menangani hal tersebut.

Dalam pertemuan itu, Suu Kyi juga mengatakan negaranya bersedia membuka diri untuk bantuan kemanusiaan, hal yang selama ini dipertanyakan dan digugat karena Myanmar dianggap menutup akses bantuan kemanusiaan ke Rakhine.

Jawaban Suu Kyi dianggap cukup. Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam, yang tergabung dalam ASEAN, telah sepakat untuk tidak pernah mengatakan atau melakukan apapun karena mereka berada dalam "konsensus", sehingga mereka tak akan saling mengganggu satu sama lain untuk urusan dalam negeri

Analis geopolitical dari De La Salle University di Manila Richard Heydarian, sangat menyesalkan sikap ASEAN.  Heydarian mengatakan bahwa desakan ASEAN pada "konsensus" dan "tidak campur tangan" telah membatasi kelompok tersebut untuk secara langsung menangani masalah-masalah krusial. “Negara itu menolak menangani kasus krusial dengan alasan terikat consensus, dan mereka malah menggantikan sikap itu dengan retorika yang sopan namun impoten,” ujarnya.

Sikap diam ASEAN atas nama tak ingin mencampuri urusan dalam negeri Myanmar mungkin melegakan bagi para pemimpinnya, namun mengutip Heydarian, konsensus itu impoten. Melegakan bagi para pemimpin ASEAN, namun pasti menimbulkan luka mendalam bagi perempuan Rohingya. Mereka tak hanya kehilangan harga diri, tapi juga kehilangan harapan hadirnya pembelaan. (ren)