Dilema UU Ormas Era Jokowi
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi undang-undang. Paripurna pada Selasa, 24 Oktober 2017 berjalan alot dengan banjir interupsi.
Alotnya paripurna diwarnai tiga fraksi yang tegas menolak Perppu Ormas yaitu Gerindra, PKS, dan PAN. Ada juga empat fraksi yang dari awal mendukung yaitu PDIP, Golkar, Nasdem, dan Hanura. Tiga fraksi lain yakni Demokrat, PPP, dan PKB setuju perppu, namun dengan catatan.
Musyawarah mufakat gagal, mekanisme voting pun dipakai untuk menentukan keputusan. Dengan peta politik tujuh fraksi mendukung melawan tiga fraksi menolak sudah terlihat hasil kemungkinan disahkan bila menggunakan mekanisme voting.
Dalam mekanisme voting mengacu kehadiran anggota setiap fraksi dalam paripurna. Tiga fraksi komitmen menolak perppu yaitu Gerindra, PAN, dan PKS memiliki kehadiran 131 anggota. Angka ini kalah jauh dari anggota tujuh fraksi yang setuju yaitu mencapai 314 anggota.
"Karena itu, dengan demikian, mempertimbangkan berbagai catatan fraksi yang ada, maka rapat paripurna menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 perubahan atas UU 17 Tahun 2013 tentang Ormas menjadi UU," kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang memimpin paripurna sambil mengetok palu pengesahan di Gedung Nusantara II, kompleks parlemen, Senayan, Selasa, 24 Oktober 2017.
Baca: Peta Politik Suara Perppu Ormas, PDIP Cs di Atas Angin
Proses voting Perppu Ormas di Paripurna DPR. Foto: ANTARA/Wahyu Putro A.
Sebelum dibahas di DPR, Perppu Ormas sejak diterbitkan Presiden Joko Widodo memang sudah menjadi polemik. Penerbitan perppu ini untuk mengubah Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013. Perppu ditandatangani Jokowi pada Senin, 10 Juli 2017.
Terbitnya perppu ini memunculkan protes dan kritik yang mengalir kepada pemerintah terutama Presiden Jokowi. Pemerintah menegaskan penerbitan perppu ini sudah sesuai karena kondisi yang mendesak.
Namun, dari pihak yang kontra menilai pemerintah terkesan subjektif karena membubarkan ormas harus menerbitkan perppu. Apalagi, beberapa pasal perppu ini dianggap berbahaya karena membubarkan ormas tanpa proses peradilan. UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas sebenarnya sudah dianggap mengakomodasi.
Saat pembahasan hingga pandangan mini fraksi, pemerintah sudah menjamin akan siap merevisi pasal terkait sanksi pidana. Namun, ia meminta agar revisi ini tidak di luar konteks yang belum disepakati. Namun, revisi ini juga diminta untuk mengacu Pancasila.
Baca: Perppu Ormas, Sudah Genting atau Belum Penting?
"Soal mau revisi oke, tapi apa dulu dong revisinya? Oke saja kalau misalnya mengenai hukuman. Tapi yang sudah final, ya Pancasila. Jangan ada agenda lain di luar Pancasila, harus dicantumkan Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI itu prinsip sudah final," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, di Gedung K2 Nusantara, kompleks parlemen, Senayan, Senin, 23 Oktober 2017.
Selanjutnya, Jadi Beban Jokowi
***
Jadi Beban Jokowi
Pengesahan Perppu Ormas menjadi undang-undang justru dinilai seperti beban bagi Presiden Jokowi. Pemerintahan era Jokowi akan disoroti seperti apa implementasi UU Ormas ini. Pekerjaan rumah Jokowi akan bertambah karena merealisasikan aturan UU Ormas yang baru tak seperti UU sebelumnya.
"Banyak mata akan menjadi saksi pelaksanaan UU ini dan pada saat salah implementasi maka akibat politiknya akan dirasakan Jokowi," kata pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio kepada VIVA.co.id, Selasa, 24 Oktober 2017.
Hendri melihat beban politik dalam mengimplementasikan UU Parpol ada di tangan Jokowi. Bukan parpol-parpol yang memperjuangkan Perppu Ormas. Apalagi pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang menyebut pemerintah siap merevisi pasal Perppu Ormas.
"Ini dilema pemerintahan Jokowi. Perppu resmi jadi UU, tapi ada janji revisi dan bagaimana implementasinya juga disoroti karena saat penerbitan juga banyak protes, kritikan," ujar Hendri.
Baca: Pemerintah Setuju Revisi Pasal Sanksi Perppu Ormas
Mendagri Tjahjo Kumolo memberikan laporan ke pimpinan paripurna DPR. Foto: ANTARA
Ada beberapa pasal Perppu Ormas yang memang menjadi catatan karena dinilai kontroversial. Politikus senior PKS Jazuli Juwaini menekankan, mestinya Pemerintah era Jokowi memperhatikan poin ini. Ia mempertanyakan arah revisi yang akan dilakukan pemerintah.
"Ini mengancam kebebasan dan demokrasi yang dijamin konstitusi. Pemerintah harus tepati janji revisi pasal-pasal di perppu," tutur Jazuli kepada VIVA.co.id, Selasa, 24 Oktober 2017.
Dalam Perppu Ormas diatur sanksi pidana bagi pelaku yang melanggar pasal 59 terkait larangan ormas. Sanksi itu, di antaranya tertuang dalam pasal 82A ayat 2 yang berbunyi:
“Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 3 huruf a dan b, dan ayat (4) dipidana dengan hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun".
Pasal 59 ayat 3 huruf a dan b, dan ayat 4 Perppu Ormas itu mengatur:
(3) Ormas dilarang:
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
b. Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
(4) Ormas dilarang:
a. Menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
b. Melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
c. Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang diwakili kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra, sebelumnya menilai beberapa pasal dalam Perppu Ormas tumpang tindih dengan norma-norma dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Yusril khawatir tumpang tindihnya dalam perppu ini akan berimbas menghilangkan kepastian hukum dalam UUD 1945.
"Perppu ini juga mengandung tumpang tindih pengaturan dengan norma-norma dalam KUHP, terkait delik penodaan agama, permusuhan yang bersifat suku, agama, ras, dan golongan, serta delik makar yang sudah diatur dalam KUHP. Adanya tumpang tindih ini bisa menghilangkan kepastian hukum yang dijamin oleh UUD 1945," kata dia, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Sah, Perppu Ormas Jadi Undang-undang
Namun, keyakinan pemerintah akan menepati janjinya disuarakan Fraksi PKB. Wakil Ketua Fraksi PKB Daniel Johan optimistis pemerintah akan merevisi pasal karet yang meresahkan. Apalagi tiga fraksi termasuk PKB memberikan catatan meski setuju Perppu Ormas menjadi undang-undang.
Hal ini akan menjadi catatan pemerintah karena sudah disampaikan secara terbuka saat forum rapat hingga pandangan mini fraksi di DPR.
"Karena ini yang buat gaduh dan resahkan, ya kami optimis pemerintah bisa tepati janjinya. Apa susahnya revisi dengan berkomunikasi kepada DPR," tutur Daniel yang juga wakil sekjen DPP PKB tersebut.
Selanjutnya, FPI Merasa Terancam
***
FPI Merasa Terancam
Perppu yang resmi menjadi UU Ormas disesalkan sejumlah pihak terutama ormas yang kerap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Juru Bicara DPP Front Pembela Islam (FPI) Slamet Maarif menilai keputusan DPR yang mengesahkan menjadi UU bukan aspirasi masyarakat.
"Kami jelas kecewa karena keputusan pengesahan itu tak mendengarkan aspirasi yang kami suarakan," ujar Slamet kepada VIVA.co.id, Selasa, 24 Oktober 2017.
Suara keras juga disampaikan Ketua Badan Hukum Front Pembela Islam, Sugito Atmo Pawiro. Bagi dia, pengesahan Perppu Ormas menjadi UU menunjukkan sikap pemerintah yang memonopoli penafsiran subjektif untuk kekuasaan. Salah satu yang disinggungnya terkait pembubaran ormas tanpa melalui proses peradilan.
"Pemerintah jelas ingin menempatkan kehendaknya sebagai hukum itu sendiri," tutur Sugito kepada VIVA.co.id, Selasa, 24 Oktober 2017.
Baca: FPI Protes Pasal Penistaan Agama di Perppu Ormas
Menurut dia, pemerintah semestinya tetap menggunakan UU Ormas yang lama dengan menempuh cara dialogis terhadap ormas yang dinilai meresahkan. Kekhawatiran ini lantaran UU Ormas yang baru mempresentasikan ormas yang tak sepaham dengan pemerintah langsung dibubarkan.
"Ditekan untuk mendukung kalau tidak mau dibubarkan. Potensi itu bisa terjadi di FPI. Kalau ganti nama, akan diganjal di Kemendagri," kata Sugito.
Hizbut Tahrir Indonesia yang merupakan ormas pertama yang dibubarkan pemerintah juga menyayangkan disahkannya Perppu Ormas menjadi UU. Pengesahan menjadi UU akan menyulitkan pihak HTI yang saat ini menempuh proses gugatan hukum. Ia kecewa dengan mayoritas fraksi di DPR yang akhirnya setuju perppu menjadi UU. Terkait upaya selanjutnya, HTI masih akan berkomunikasi lagi dengan kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra.
"Terus terang kami kecewa. Yang kami inginkan di DPR tak sesuai harapan. Apalagi mayoritas fraksi dukung perppu," kata juru bicara DPP HTI Ismail Yusanto, Selasa, 24 Oktober 2017.
Kuasa hukum HTI Yusril sudah memprediksi Perppu Ormas pasti diterima DPR bila melihat dinamika pembahasannya. Dengan komposisi tiga fraksi yang menolak sulit melawan tujuh fraksi pendukung perppu.
Dengan perppu yang sudah menjadi UU maka uji materi yang saat ini berjalan di MK akan berhenti. Alasannya, objek hukum sudah berganti dari perppu berubah menjadi UU. "Otomatis karena enggak ada lagi objeknya," tutur Yusril di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 24 Oktober 2017.