Nestapa dari Lereng Gunung Agung
- ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana
VIVA – Sudah tiga pekan ini Ni Komang Sucadri (39) tinggal di pengungsian. Bersama suami dan anaknya, Sucadri mulai jenuh. Mereka harus meninggalkan rumah dan ladang, diminta tinggal di pengungsian sejak status Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, naik ke level IV atau berstatus 'Awas' pada 22 September 2017 lalu.
Berbagai kegiatan dilakukan pengungsi asal Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem Bali ini untuk mengusir rasa jenuh. Mulai dari membuat kerajinan dan makanan. Tapi, beberapa hari ini, Sucadri disibukkan dengan membuat canang, semacam perlengkapan upacara keagamaan umat Hindu di Bali.
Dari tangan terampilnya, Sucadri dibantu anaknya, Ni Komang Gita (5,5), mampu menjual puluhan canang setiap harinya. Hasilnya, cukup untuk sekadar uang jajan anaknya. Maklum, sebelum tinggal di pengungsian, Sucadri adalah peternak babi. Kini, ternak babinya ludes dijual gara-gara ditinggal mengungsi.
"Saya jual 3 biji seribu rupiah. Sudah seminggu ini bikin canang. Modalnya untuk beli janur Rp20 ribu. Kalau habis semua dapat untung Rp10 ribu," kata Sucadri saat ditemui VIVA.co.id, Kamis, 19 Oktober 2017.
Tak jauh berbeda dengan Sucadri, Ni Ketut Seni (29) selama tinggal di pengungsian rajin membuat Kue Sumping untuk dijual seharga Rp1.000 sebijinya. Lumayan juga penghasilan Seni setiap harinya. "Modalnya Rp70 ribu. Kalau habis semua dapat untung Rp30 ribu," ucapnya.
Sucandri dan Seni adalah segelintir dari 185 ribu warga Kabupaten Karangasem yang tinggal di sejumlah titik lokasi pengungsian. Mereka berasal dari 202 dusun di 28 desa yang berpotensi terdampak letusan Gunung Agung.
Ribuan pengungsi mulai diliputi kebimbangan, mengingat hampir sebulan ini mereka tinggal di pengungsian. Nyaris tidak ada yang bisa mereka lakukan, selain menanti kejelasan kapan kondisi Gunung Agung dinyatakan aman sehingga mereka bisa kembali ke rumah dan beraktivitas seperti sedia kala.
Saking jenuhnya, sekitar 2.000 pengungsi memilih kembali ke rumahnya yang berada di kawasan rawan bencana. Siang hari mereka kembali ke rumahnya untuk mengurus ladang dan ternak yang mereka tinggalkan, kemudian malam harinya kembali ke lokasi pengungsian.
Terang saja, status tanggap darurat Gunung Agung yang semula berakhir pada 12 Oktober 2017, diperpanjang selama 14 hari, mulai 13 Oktober 2017 hingga 26 Oktober 2017. Perpanjangan itu menyusul aktivitas vulkanik Gunung Agung yang masih tinggi dan fluktuatif. Kendati, tanda-tanda letusan gunung yang memiliki ketinggian 3.142 mdpl itu belum tampak.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terakhir mencatat gempa tremor non-harmonic muncul satu kali dengan durasi 143 detik pada periode 00.00 WITA hingga pukul 12.00 WITA, Kamis 19 Oktober 2017.
Dalam 12 jam terakhir (terhitung Kamis, 19 Oktober 2017 pukul 00.00 WITA-12.00 WITA), gempa vulkanik dangkal mencapai 116 kali, vulkanik dalam 421 kali, tektonik lokal 86 kali, gempa terasa 1 kali. Secara keseluruhan, dalam 12 jam terakhir, Gunung Agung diguncang sebanyak 624 gempa dan 1 kali tremor non-harmonic.
"Karena untuk gunung api yang jarang meletus memang sukar sekali untuk memastikan letusannya. Sebetulnya tidak ada juga yang bisa memastikan," kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana, Kamis 19 Oktober 2017.
Tunggakan Rp1 Triliun
Dengan kondisi alam tak menentu ini, tentu mempengaruhi sendi perekonomian warga di Kabupaten Karangasem. Ratusan ribu warga mengungsi dan tak dapat melanjutkan aktivitasnya sehari-hari membuat perekonomian di wilayah yang dihuni 500 ribu jiwa itu lumpuh. Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga ikutan lumpuh.
Padahal, menurut Bupati Karangasem, IGA Mas Sumantri, Karangasem selama ini mengandalkan PAD dari galian C dan juga pariwisata. Tapi, sejak Gunung Agung di wilayahnya berstatus 'Awas', semua pemasukan daerah itu berhenti. Ia pun harus memutar otak mencari cara agar roda ekonomi di wilayahnya tetap bergerak.
"Sekarang bagaimana kita memohon kegiatan apa yang bisa dibawa ke Karangasem dari kementerian, kegiatan CSR, dari provinsi dan lain-lain. Tentu Karangasem mesti diperhatikan," kata Mas Sumantri kepada VIVA.co.id di Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Gunung Agung di Pelabuhan Tanah Ampo, Kabupaten Karangasem, Bali, Selasa 17 Oktober 2017.
Mas Sumantri memaparkan, dari 500 ribu penduduk Karangasem, separuh dari penduduknya di 28 desa mengungsi. Meski separuhnya lagi tak mengungsi, tetap saja roda perekonomian di kabupaten paling timur di Pulau Dewata ini mandek. Karena, penduduk yang tak mengungsi juga tidak bisa bekerja dan menghasilkan uang.
"(Pendapatan ekonomi warga) Itu turun. Boleh saya katakan pekerjaan tidak ada lagi. Meski tak mengungsi pun tak ada kerjaan, ekonomi terancam," ujarnya. [Baca: Amlapura Menjelma Jadi Kota Mati di Kaki Gunung Agung]
Gara-gara aktivitas ekonomi lumpuh, Mas Sumantri mengakui banyak warga yang pada akhirnya menunggak pembayaran utang pinjaman atau kredit di perbankan. Warga tak bisa membayar tunggakan kredit karena tak ada keegiatan ekonomi yang bisa dilakukan.
"Kita sedang menghitung berapa jumlahnya. Kemarin saya dapat laporan sudah Rp1 triliun sekian. Itu utang mereka di bank. Angka pastinya belum dapat. Itu laporan kredit yang belum bisa dilunasi warga," kata Mas Sumantri.
Ia menduga, angka sesungguhnya akan jauh lebih besar dari laporan sementara itu. "Itu mungkin baru satu atau dua bank saja. Bank lainnya masih banyak. Begitu kondisi kita (Kabupaten Karangasem) sekarang," ungkapnya.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika meminta kepada industri perbankan untuk me-reschedule utang-utang para pengungsi dari 28 desa terdampak bencana Gunung Agung. Pastika percaya perbankan memahami situasi bencana yang terjadi. Disamping itu, asuransi kredit juga bisa berperan dalam hal ini.
"Jadi kalau yang sudah dijamin oleh asuransi dan lain sebagainya, biasanya kredit itu ada jaminannya. Saya kira itu juga harus membantu hal-hal seperti ini," kata Pastika saat menghadiri Internasional INSARAG Team Leader Meeting 2017 di Padma Resort Legian, Kuta, Rabu 18 Oktober 2017.
Hanya saja, Pastika meminta kegiatan ekonomi yang masih bisa dilakukan oleh warga Karangasem agar tetap dijalankan. "Yang penting, tetap memperhatikan keselamatan jiwa manusia," ungkapnya.
Ia berjanji akan memikirkan roda ekonomi warga Karangasem. Pastika juga bertekad menghidupkan kembali ekonomi Karangasem pasca bencana nanti. Terkait masalah utang piutang, Ia akan segera membahasnya dengan perbankan agar diberikan keringanan bagi warga yang tertunggak imbas bencana Gunung Agung.
"Sudah pasti akan ada program khusus. Kita akan bicara dengan dunia perbankan yang betul-betul force major istilahnya, harus kita berikan toleransi untuk itu, mau tidak mau. Kan tidak mungkin kita memaksa," tegasnya.
Efek Domino
Di sisi lain, Pastika menyebut status 'Awas' Gunung Agung tidak saja berdampak serius pada roda perekonomian di Kabupaten Karangasem, tapi juga berdampak pada kehidupan sosial masyarakat dan pemerintahan di Provinsi Bali secara keseluruhan. Gubernur akan terus memantau perkembangan Gunung Agung.
"Apakah mungkin menurunkan status awas itu? Status itu dari tanggal 22 September lalu. Sudah lebih dari dua minggu. Kalau satu bulan, dampaknya panjang," kata Pastika di Denpasar Bali, Kamis 19 Oktober 2017.
Mangku Pastika ingin memastikan dengan stakeholder terkait, apakah status 'Awas' yang terjadi sekian lama trennya akan menurun atau sebaliknya. Menurutnya, meski kondisi Gunung Agung saat ini fluktuatif, tetap bisa diambil kesimpulan bagaimana kemungkinan mengantisipasi tren gunung ini ke depan.
"Ini kan gunung. Akibat ada gerakan di sini, maka statusnya awas. Kan begitu. Ini kan pasti ada kalkulasi untuk menyatakan awas ini. Hitung-hitungannya bagaimana, ini harus kami pelajari," kata dia.
Sebab, kata Pastika, bencana Gunung Agung telah berdampak luas bagi hampir ke seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali secara keseluruhan. Tak hanya dalam konteks persiapan logistik pengungsi belaka, namun juga di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pariwisata dan lain sebagainya.
"Semua ini berdampak. Ekonomi yang paling terasa. Yang tadinya ada penghasilan, sekarang tidak ada penghasilan. Yang tadinya bisa bayar kredit, sekarang tidak bisa bayar kredit. Yang tadinya bangunan berjalan, sekarang setop. Kalau bangunan setop, buruhnya juga harus setop," tuturnya.
Belum lagi jika proyek pembangunan itu ternyata milik pemerintah. Hal itu akan berdampak pada mangkraknya proyek tersebut. Jika hingga tahap akhir proyek itu tidak kelar, akan terkena penalti. Apalagi, saat ini tahun anggaran 2017 sudah akan berakhir.
Sementara untuk anggaran proyek yang tidak selesai konsekuensinya harus dikembalikan ke kas negara, dan untuk mengusahakan lagi anggaran tersebut harus menanti anggaran perubahan tahun depan. Itu pun kalau anggaran tersebut masih bisa dianggarkan.
"Jadi panjang akibatnya. Mangkrak lah bangunan ini sampai nanti akhir tahun depan. Itu baru dari segi pemerintahan saja, runyam ini. Bukan hanya setoran kredit urusannya. Itu hanya salah satu sisi," terang Pastika.
Kemudian, dalam hal logistik bagi 180 ribu lebih pengungsi, Pastika mengatakan pemerintah setiap harinya harus mengeluarkan 50 ton beras. Kebutuhan itu di luar dana mengurus para pengungsi yang terjangkit penyakit dan perekonomian mereka yang mandek usai mengungsi.
"Banyak sekali rentetannya dengan status awas dan radius itu. Jadi, saya sedang bersama-sama menghitung, mengalkulasi kembali apa yang terjadi dan apa dampaknya kalau status itu terus dipasang," ujarnya
Direktur Bantuan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Eko Budiman, memastikan kebutuhan logistik pengungsi seluruhnya tercukupi. Menurutnya, yang dibutuhkan pengungsi saat ini adalah bagaimana usahanya semula bisa berlangsung kembali.
"Misalnya mereka pengrajin patung gitu, bagaimana mereka bisa melanjutkan itu. Kan perlu modal. Siapa yang akan kasih modal itu? Itu sampai ke sana kita bahas dan pikirkan. Kalau tidak dipikirkan, nanti orangnya bosan terus pergi (pulang ke rumah di zona bahaya)," kata Eko kepada VIVA.co.id, Kamis, 19 Oktober 2017.
Eko menegaskan, solusi bagi para pengungsi tak semudah membalik telapak tangan. Semua dilakukan bertahap, dan apa yang jadi aspirasi masyarakat akan diperhatikan pemerintah untuk dipikirkan solusi dan alternatifnya.
"Orang yang tadinya pengusaha ternak, tiba-tiba kita suruh bikin abon kan tidak nyambung. Kita pikirkan mereka latar belakangnya apa? Yang tadinya pengusaha keripik ya, buat keripik. Pengrajin kembali merajin. Jadi tidak serta merta kita punya ide apa gitu ya, kita suruh mereka kerjakan. Tidak," tegasnya. (umi)