Menuju Indonesia Wajib Produk Halal 2019

Logo halal MUI.
Sumber :
  • Bimas Islam Kemenag

VIVA.co.id – Kewenangan menerbitkan sertifikasi halal kini resmi beralih ke tangan pemerintah. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah dibentuk pemerintah, untuk menyelenggarakan jaminan produk halal (JPH), yang sebelumnya menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Lahirnya BPJPH ini merupakan amanah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. BPJPH menjadi bagian dari struktur Kementerian Agama sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Agama No 42 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata Kerja (Ortaker) Kementerian Agama.

"Badan ini memiliki tugas mengeluarkan sertifikasi halal dan pengawasan produk halal," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat konferensi pers peresmian BPJPH di Gedung Kemenag, Jakarta, Rabu 11 Oktober 2017.

Tak bisa dinafikan, sejak UU itu masih berupa RUU Jaminan Produk Halal, terus bermunculan pro kontra seputar siapa yang berhak mengeluarkan sertifikasi halal, MUI atau pemerintah RUU itu dinilai telah mengambil kewenangan MUI yang sudah dilakukannya selama 28 tahun ini.

MUI sempat bersikeras sertifikasi halal adalah kewenangannya, karena halal merupakan aspek keagamaan yang menjadi domain ulama, bukan pemerintah. Disisi lain, pemerintah melalui Menteri Agama saat itu, Suryadharma Ali, berharap otoritas itu bisa dikelola pemerintah agar netral.
 
Bagaimanapun, UU JPH yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober 2014 itu, bisa menjadi jalan tengah. Walau MUI harus rela menyerahkan kewenangan menerbitkan sertifikasi halal ke pemerintah, tapi MUI tetap punya peran penting dalam menetapkan kehalalan suatu produk.

Berdasarkan Pasal 6 UU JPH, BPJPH berwenang diantaranya menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal suatu produk; melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri; Melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH); Melakukan registrasi auditor halal; Melakukan pengawasan terhadap JPH; dan melakukan pembinaan Auditor Halal.

Selanjutnya, Pasal 7 (c) mengatur soal kerjasama BPJPH dengan MUI, yang kemudian dijelaskan pada Pasal 10 bahwa kerjasama dengan MUI dilakukan dalam bentuk sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk dan akreditasi LPH.

Pasal 33 UU JPH secara eksplisit menerangkan peran MUI dalam JPH ini. UU menyebutkan bahwa penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI, melalui sidang fatwa halal. Keputusan penetapan halal produk nantinya disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan sertifikat halal.  
 
"Sebelum BPJPH mengeluarkan sertifikat halal, harus ada fatwa halal dari MUI," ujar Lukman.

Dengan demikian, Lukman menegaskan kewenangan MUI tetap penting dan strategis, yaitu menetapkan fatwa suatu produk, yang kemudian disampaikan ke BPJPH untuk diterbitkan sertifikat halal. Sedangkan, BPJPH hanya mengurusi administrasi di luar fatwa halal yang menjadi kompetensi MUI.

Ketua Umum MUI, KH Ma'ruf Amin berharap dengan adanya BPJPH ini segala pengurusan proses penyelenggaraan jaminan produk halal akan menjadi lebih baik. Sebab, segala prosesnya sudah diatur dalam UU dan mengikat bagi setiap warga negara, maupun pelaku usaha yang produknya beredar di Indonesia

"Di dalam UU itu wajib mandatori dan didukung oleh pemerintah dengan keterlibatan Kemenag dan lembaga-lembaga terkait lainnya dari pemerintah," kata Kiai Ma'ruf Amin di kantor Kemenag, Rabu, 11 Oktober 2017.

Menurut Ma'ruf, selama 28 tahun menyelenggarakan jaminan produk halal, MUI melakukannya dalam bentuk sukarela. Artinya, tidak kewajiban bagi pelaku usaha untuk mendaftarkan produknya dalam bentuk sertifikasi halal. Maka, dengan adanya BPJPH, penerbitan sertifikasi, pengawasan dan penegakan hukum akan menjadi kewenangan BPJPH.

"Sementara MUI berperan memberikan fatwa produk halal dan MUI akan melaksanakan tugas itu dan mendukung kepengurusan yang sekarang di tangan BPJPH," ujar Ma'aruf.

Alur Sertifikasi Halal

Sementara itu, UU JPH mengatur tata cara suatu produk memperoleh sertifikat halal. Pasal 29 menerangkan permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis kepada BPJPH. Permohonan harus dilengkapi dokumen, seperti data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk.

BPJPH bisa mengembalikan ke pemohon jika data usulan sertifikasi halal sebuah produk tidak lengkap. Jika lengkap, maka permohonan tersebut akan diteruskan kepada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). BPJH menunjuk LPH untuk melakukan audit terhadap proses produksi suatu produk.  

Usai itu, BPJPH akan meneruskan hasil audit tersebut kepada MUI untuk memperoleh sertifikasi dari MUI terkait dengan halal tidaknya produk yang diajukan. MUI juga bisa bertindak sebagai penilai petugas atau pihak yang bisa menjadi pemeriksa (penyelia) produk halal di LPH.

Sertifikat halal ini berlaku selama 4 tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, dan wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan pembaruan sertifikat paling lambat 3 bulan sebelum masa berlaku sertifikat halal berakhir.

Namun, meski telah resmi dibentuk, BPJPH yang diketuai Prof Sukoso ini dinilai belum sepenuhnya bisa aktif dalam menyelenggarakan sertifikasi halal produk. Selain infrastruktur yang belum rapi, BPJPH masih terkendala peraturan pemerintah (PP) mengenai pelaksanaan UU JPH yang masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.

Direktur Eksekutif Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, mengatakan pemerintah harus segera menuntaskan PP mengenai pelaksaan UU JPH. PP ini sangat penting dalam membantu BPJPH  melaksanakan fungsi tugas dan kewenanganya sehingga berjalan dengan baik.

"PP belum selesai lembaganya sudah lahir, ini persoalan. Bagaimana bisa bergerak sebagai badan sementara aturan pelaksanaannya belum ada," kata Ikhsan kepada VIVA.co.id, Rabu, 11 Oktober 2017.
 
Selain itu, masalah lain yang perlu segera dipikirkan kata Ikhsan, adalah terkait keberadaan perwakilan BPJPH di daerah yang mampu menjangkau 34 provinsi dan 540 kabupaten/kota. Perwakilan inipun lanjutnya, harus terintegrasi dalam sebuah sistem online.

Kemudian, kerjasama dan harmonisasi dengan MUI juga perlu disorot. Karena UU memerintahkan sertifikasi halal baru bisa diterbitkan setelah ditetapkan dalam sidang fatwa MUI. Menurut Ikhsan, kerjasama ini selain perintah UU juga perlu dikukuhkan melalui nota kesepahaman atau MoU.

Dengan kondisi itu, praktis BPJPH belum bisa bekerja secara efektif dalam menyelenggarakan jaminan produk halal suatu produk, apalagi di masa transisi seperti ini. UU terang Ikhsan, mengatur peralihan kewenangan itu pada MUI, sebagai lembaga yang sebelumnya mengurusi urusan ini.

"Sekiranya belum efektif, LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) yang lama, bisa berfungsi sehingga tidak mengganggu industri," ujar Ikhsan.

Sekretaris Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Sholeh, memastikan MUI sebelum dan sesudah UU JPH, atau sebelum dan sesudah ada BPJPH, tetap berwenang dalam proses penetapan fatwa kehalalan suatu produk pangan, obat-obatan dan kosmetika.

"Sehingga penetapan kehalalan produk tidak beranjak dari MUI, dengan demikian ada sinergi antara kelembagaan amanah UU dengan MUI," kata Ni'am kepada VIVA.co.id, Rabu, 11 Oktober 2017.

Sedangkan di masa transisi seperti ini, Ni'am mengatakan UU telah menegaskan sembari proses pemenuhan infrastruktur BPJPH, maka proses penerbitan sertifikat halal masih tetap di MUI.
 

Wajib Halal 2019

Disisi lain, UU JPH memberikan penegasan terkait kewajiban sertifikat halal untuk seluruh produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Perintah ini termaktub dalam Pasal 4 UU JPH.

Lebih lanjut, Pasal 67 menerangkan bahwa tenggat waktu kewajiban semua produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia bersertifikat halal, yakni berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Artinya, semua produk wajib bersertifikat halal pada tahun 2019.

"Masih banyak masyarakat yang belum tahu bahwa di tahun 2019, semua produk harus bersertifikat halal," ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR Noor Ahmad di Kementerian Agama dalam peresmian BPJPH, Rabu, 11 Oktober 2017.

Karena itu, kata Noor, BPJPH kini memiliki tugas yang berat. Sebab, ia harus menerbitkan sertifikasi bagi seluruh produk yang sebelumnya dikelola oleh MUI. "Kerjanya lebih berat dibanding, misalnya, sistem Pemilu karena ini akan mendaftar sekian juta produk di Indonesia," ujarnya.

Direktur Eksekutif Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, menambahkan penerapan kewajiban sertifikasi halal bagi seluruh produk di Indonesia sangat bermanfaat dalam rangka meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Sertifikasi halal juga menjadi nilai tambah bagi seluruh produk-produk nasional.

"Ini (sertifikasi halal) bisa menjadi daya tahan menghadapi industri asing, karena (produk asing non halal) mereka enggak bisa masuk, jadi semacam jadi barrier," imbuhnya.

Karena itu, UU JPH ini juga memiliki konsekuensi pidana bagi pelaku usaha atau produsen yang memaksakan produknya beredar di Indonesia, namun tidak bersertifikat halal. "Ada sanksi pidananya 5 tahun penjara, denda Rp2 miliar, itu di Pasal 56," tegas Ikhsan.

Ketua Komisi VIII DPR, menjelaskan sertifikasi halal terkait dengan halal haramnya produk konsumtif yang bisa dikonsumsi masyarakat, yang terkait dengan prinsip syariah Islam. Sehingga ia menyambut baik sertifikasi ini ditangani pemerintah.

"Karena pemerintah memiliki perangkat infrastruktur sampai ke bawah, fungsi pengawasan, punya alat laboratorium, dan anggaran supaya memberi rasa nyaman pada masyarakat pengguna jasa," kata Ali Taher kepada VIVA.co.id, Rabu, 11 Oktober 2017.

Ia menjelaskan semangat UU Jaminan Produk Halal ingin agar persoalan halal dan haram ini bisa dikelola secara profesional, mandiri, dan memberikan rasa nyaman secara syari pada masyarakat. "Sedang kita tunggu bussiness plan-nya untuk bisa kita dengar pada RDP yang akan datang. UU itu berikan jaminan perlindungan konsumen pada masyarakat," kata Ali.

Sementara  Kepala BPJPH, Prof Sukoso optimistis lembaga yang dia pimpin mampu melaksanakan amanah UU JPH, dimana goal-nya, pada 2019 mendatang, seluruh produk yang beredar di Indonesia bersertifikat halal. “Insya Allah, Amiin,” kata Sukoso kepada VIVA.co.id, Rabu 11 Oktober 2017.