Tersentak Senjata Kejut Polri
- Istimewa
VIVA.co.id – Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, dikabarkan kedatangan ratusan senjata impor beserta ribuan amunisinya, pada Jumat malam, 29 September 2017. Foto-foto bergambar tumpukan peti senjata dalam sebuah ruangan lantas beredar di media sosial. Sontak, isu kedatangan senjata itu langsung menarik perhatian publik.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, senjata dan amunisi dibawa menggunakan pesawat sewa model Antonov AN-12 TB, dengan Maskapai Ukraine Air Alliance UKL-4024. Senjata dan amunisi ini akan didistribusikan ke Korps Brimob Polri.
Polisi tak menampik jika senjata-senjata tersebut milik Polri dan untuk Korps Brimob. "Senjata di Bandara Soetta, yang dimaksud rekan-rekan (wartawan) adalah betul milik Polri, adalah barang yang sah,” kata Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu malam, 30 September 2017.
Menurut Setyo, keberadaan senjata dan amunisi itu semua sudah sesuai prosedur. Mulai dari perencanaan, proses lelang, di-review Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pengadaan dan pembelian pihak ketiga sampai masuk ke wilayah pabean Soekarno Hatta.
Berdasarkan data yang beredar, barang berupa senjata tersebut adalah Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) kaliber 40 x 46 milimeter sebanyak 280 pucuk. Kemudian, amunition castior 40mm, 40x 46mm round RLV-HEFJ dengan fragmentasi eksplosif tinggi Jump Grenade. Total ada 5.932 butir (71 boks) dengan berat 2.829 kg.
Soal impor senjata itu pun dibenarkan Komandan Korps Brigade Mobile Polri Inspektur Jenderal Polisi Murad Ismail. Dalam sebuah konferensi pers, dia menjelaskan, senjata diperlukan Brimob guna menunjang pelaksanaan tugas. Senjata juga bisa digunakan untuk membantu Tentara Nasional Indonesia (TNI) jika negara dalam keadaan perang.
Namun, senjata itu bukan senjata serang. Senjata api yang akan digunakan oleh Brimob ini merupakan senjata pengendali massa dalam kejadian huru hara atau unjuk rasa. "Perlu saya tekankan bahwa senjata ini sebenarnya bukan untuk membunuh, tetapi untuk memberi efek kejut," ujar Murad.
Amunisi pada senjata jenis itu ditembakkan dengan sudut kemiringan senjata sekitar 45 derajat dan mengarah ke atas. Hal itu akan membuat peluru terlempar ke jarak sekitar 85 meter di depannya. Senjata api jenis SAGL tersebut pernah dipakai dalam operasi pemberantasan teroris di Poso, Sulawesi Tengah, serta Papua.
Hingga Minggu, 1 Oktober 2017, ratusan senjata dan ribuan amunisi tersebut masih berada di Bandara Soekarno Hatta. "Sampai saat ini yang penting senjata itu aman dan dalam pengamanan kami. Kami pun terus melakukan pemantauan akan senjata tersebut," ujar Dandim 0506/Tangerang Letkol Inf M. Imam Gogor Aghni Aditnya saat dikonfirmasi VIVA.co.id.
Untuk dapat mengambil senjata impor tersebut dari bandara, Polri masih menunggu keluarnya rekomendasi dari Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI. "Nanti akan dicek oleh Bais terkait kesesuaiannya dengan manifes. Setelah itu, baru akan ada rekomendasi senjatanya bisa dikeluarkan," kata Murad.
Menurut Murad, pengadaan senjata jenis SAGL tersebut adalah hal yang lazim, serta sudah pernah dilakukan pada 2015 dan 2016. Dia menegaskan, senjata itu sama sekali tidak berbahaya dan tidak antitank.
Isu soal senjata penghancur tank sempat mencuat usai video rekaman polisi tengah latihan menggunakan senjata jenis Pelontar Granat Infanteri atau PGI, beredar luas di jejaring media sosial.
Kabag Penum Humas Polri Komisaris Besar Polisi Martinus Sitompul tak menampik isi video tersebut. Pelatihan itu untuk pengenalan senjata bagi anggota Brimob, pada dua atau tiga tahun lalu. Senjata penghancur tank itu merupakan peninggalan saat Polri masih bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Saat ini, Polri tak melakukan pengadaan senjata itu lagi.
"Jadi itu peninggalan yang sebelumnya ada dan digunakan untuk pengenalan kepada calon Brimob," ujar Martinus.
Video itu terbit di tengah hangatnya isu rekaman pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang bocor ke publik. Pernyataan Jenderal Gatot tersebut muncul di sela-sela acara silaturahmi dengan para mantan petinggi TNI di Mabes TNI Cilangkap, Jumat, 22 September 2017.
Dalam rekaman itu, Jenderal Gatot mengutip data intelijen TNI yang mengungkap ada institusi negara non-militer akan membeli 5.000 pucuk senjata. Video rekaman tersebut lantas menjadi viral di media sosial.
Jenderal Gatot tak menampik isi rekaman itu. "Ya benar itu kata-kata saya, benar. Seribu persen benar itu kata-kata saya. Tapi saya tidak pernah press release maka saya tidak perlu menanggapi itu," kata Gatot di Cilangkap, Jakarta Timur, Minggu, 24 September 2017.
Terkait mekanisme pengadaan senjata, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menegaskan, setiap pembelian senjata harus melalui menteri pertahanan. "Tentara atau TNI, Polisi, Bakamla, Lapas Kumham, Bea Cukai, Kehutanan, itu harus minta kepada Menteri Pertahanan. Dan Menhan menentukan, ini enggak boleh, ini boleh," kata Ryamizard di kantor Kemenhan, Jakarta, Selasa, 26 September 2017.
Dia menambahkan, pembelian senjata tanpa sepengetahuan dan seizin dirinya, sesuai undang-undang akan dikenai sanksi. Undang-undang yang dimaksud adalah UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Penelusuran VIVA.co.id, soal pengadaan peralatan pertahanan diatur dalam Pasal 143 UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Dalam ayat 4 pasal itu disebutkan:
Dalam hal alat peralatan pertahanan dan keamanan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dipenuhi oleh industri pertahanan, pengguna dan industri pertahanan dapat mengusulkan kepada KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) untuk menggunakan produk luar negeri dengan pengadaan melalui proses langsung antar pemerintah atau kepada pabrikan.
Adapun yang dimaksud pengguna, berdasarkan Pasal 8 UU Nomor 16 Tahun 2012 tersebut yaitu:
a. Tentara Nasional Indonesia;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. Kementerian dan/atau lembaga pemerintah non kementerian; dan
d. Pihak yang diberi izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setop Gaduh
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Charles Honoris menyayangkan terjadi kegaduhan soal impor senjata ini. Padahal, impor senjata jenis SAGL tersebut pernah dilakukan Polri pada 2015 dan 2016. “Kenapa 2017 ini dapat kesulitan dari Bais TNI," kata Charles kepada VIVA.co.id, Minggu, 1 Oktober 2017.
Namun, Charles mengakui, parlemen tidak bisa lagi mengawasi secara detail terkait pembelian senjata oleh Mabes Polri. Hal itu sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau dikenal sebagai UU MD3.
Untuk pengawasan detail sekarang hanya dilakukan oleh internal Mabes Polri, yaitu Irwasum, dan pengawasan keuangan oleh BPK dan BPKP. "DPR sekarang hanya bisa mengawasi anggaran gelondongan," ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanana Wiranto meminta, semua pihak menghentikan desas-desus kedatangan senjata api impor tersebut. Dia berjanji akan menyelesaikan masalah senjata itu bersama dengan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Hasilnya nanti akan disampaikan kepada masyarakat.
"Tugas saya sebagai Menkopolhukam atas perintah Presiden mengkoordinasikan lembaga di bawah saya untuk menyelesaikan," kata Wiranto di Lubang Buaya, Minggu 1 Oktober 2017.