Film G30S/PKI dan Munculnya Lagi Sentimen Anti-Komunis
- cinema-xcinema.blogspot.com
VIVA.co.id – Sudah 19 tahun film karya sutradara legendaris Arifin C Noer yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI tak lagi mengudara di televisi nasional. Namun, sempat dicibirkan di awal era reformasi oleh sebagian pihak karena dianggap “alat propaganda” Orde Baru, film itu kini kembali jadi perbincangan hangat – seiring dengan munculnya lagi sentimen anti-komunis.
Bahkan, sudah muncul rencana bahwa film yang pernah wajib tayang di TVRI itu akan kembali diputar. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo termasuk yang bersemangat untuk kembali menayangkan film tersebut secara luas. Alasannya, agar rakyat tidak lupa sejarah, terutama bahaya komunisme yang dibawa PKI – partai yang sudah dibubarkan dan dinyatakan terlarang sejak 1966.
Film yang konon menghabiskan biaya hingga Rp800 juta dan memiliki durasi panjang mencapai 3 jam 37 menit itu tak lagi jadi program wajib tayang di televisi setiap tanggal 30 September. Kebijakan itu muncul hanya berselisih empat bulan setelah Presiden Soeharto lengser dari kekuasaan.
Ada yang mengaitkan penghentian ini dengan permintaan Angkatan Udara yang merasa terpojokkan dengan isi film tersebut. Beberapa lain berpendapat bahwa banyak 'kebohongan' dari film yang mulai ditayangkan sejak tahun 1984 tersebut. Selebihnya, beranggapan karena kala itu rezim orde baru telah runtuh, maka 'kewajiban' menontonnya pun ikut gugur.
FOTO: Diorama adegan pembantaian para jenderal dalam pemberontakan PKI pada tahun 1965
Tak ada lagi pemaksaan kepada siapa pun untuk menonton film yang menceritakan rencana pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965.
Ya, singkatnya ada banyak versi mengenai alasan penghentian film yang pernah meraih penghargaan penonton terbanyak atau terlaris dari periode 1984 hingga tahun 1995 itu.
Apa pun itu, kini setelah 19 tahun ia tersimpan rapat-rapat. Arsip film ini rencananya kembali akan dibuka. Salah satu pelopornya adalah militer.
Tak tanggung, TNI bahkan sempat menerbitkan edaran agar film Pengkhianatan G 30 S-PKI untuk ditonton lagi secara serentak.
"Jangan sampai kejadian yang sama terulang kembali. Seluruh anak bangsa harus tahu bahwa bangsa kita pernah punya sejarah yang hitam," kata Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo di Blitar, Senin, 18 September 2017.
Sejarah Kelam
FOTO: Salah seorang saksi sekaligus korban tragedi 1965 dalam sebuah aksi
Film Pengkhianatan G 30 S-PKI, harus diakui memang memunculkan ragam persepsi. Namun yang pasti, selama 14 tahun film ini menjadi tontonan wajib hingga 1998.
Bisa ditanyakan kepada siapa pun, khususnya mereka yang terlahir di bawah tahun 1990-an, pasti menyimpulkan begitu kejamnya PKI pada masa itu.
Aksi mereka menculik, menyiksa dan membunuh para jenderal, menjadi cerita menyeramkan yang membekas. Bagaimana tidak, oleh rezim orde baru film ini menjadi satu-satunya alat 'propaganda' tentang buruknya kisah pada 1965.
Entah itu di televisi, layar tancap sampai ke buku pelajaran, doktrin aksi brutal PKI yang hendak menggulingkan negara, menjadi sebuah hal yang lumrah, dan 'fasih' bagi siapa pun.
Namun demikian, setelah era itu runtuh. Publik pun kemudian dihadapkan dengan informasi baru. Sebuah penelitian malah menunjukkan fakta sebaliknya dari skenario di film G 30 S-PKI.
Riset itu dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan secara resmi pada tahun 2012 dipaparkan bahwa ada praktik pembantaian atau genosida terhadap mereka yang dianggap terlibat komunis.
Angkanya mengerikan, riset Komnas HAM ada 500 ribu sampai tiga juta orang dikabarkan mati, hilang, diperkosa, dianiaya, dan dirampas kemerdekaannya.
"Ada pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan yang bersifat sistematis dan meluas yang dilakukan negara (aparat negara) atau dibiarkan terjadi oleh negara," kata koordinator penyelenggaraan International People's Tribunal (IPT) 1965, Nursyahbani Katjasungkana kepada VIVA.co.id.
Ya, tumbangnya orde baru oleh era reformasi akhirnya menguak sisi lain sejarah yang telah diciptakan. Ternyata banyak hal yang berbeda, mengejutkan dan bahkan membuat siapa pun mengernyitkan dahi mempertanyakan mana yang benar.
Singkatnya, di balik penanaman paham bahwa PKI itu identik dengan kekejaman dan pemberontakan. Memang ada fakta lain yang berseberangan, yakni ada kekejaman lain yang justru diciptakan untuk membalas kejahatan PKI.
Dengan kata lain di sejarah kelam pemberontakan itu, ada sejarah lain yang lebih kelam setelahnya. "Sejarah kelam itu menjadi isu yang tabu untuk diperbincangkan. Bahkan pengungkapan fakta atas kejadian itu seolah menjadi hal yang haram untuk dibuka," ujar peneliti Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia Saras Dewi.
Siapa yang takut
FOTO: Para korban kekerasan tahun 1965 yang menyuarakan protest kepada pemerintah soal nasib mereka
Di luar itu, film G 30 S-PKI harus diakui tetaplah sebuah karya. Apakah itu sesuai fakta atau tidak, memang sulit untuk ditemukan. Sebabnya film ini bukanlah film dokumenter.
Ini rekaan yang dibuat oleh pemerintah, dan kebetulan 'dipaksakan' menjadi tontonan wajib sehingga mahfum kemudian bisa 'mencuci' pikiran beberapa generasi tentang sejarah masa lalu Indonesia.
Sutradara kenamaan Hanung Brahmantyo, mengaku tak mempersoalkan film G 30 S-PKI diputar kembali. Suami dari artis Zaskia Adya Mecca yang dikenal dengan beberapa film terpopuler Indonesia ini mengajak publik untuk berpandangan tak perlu mencemaskan film itu.
Senada dikatakan Direktur Perum Produksi Film Nasional (PFN) Elprisdat M Zen. Menurutnya, secara prinsip memang film G 30 S-PKI kembali diputar bukan dalam posisi untuk memaksa kembali puiblik untuk mempercayainya.
"Bukan berarti kita sedang mengklaim kebenaran," katanya di Kantor Menkopolhukam, Kamis, 14 September 2017.
Dalam perspektifnya, justru dengan diputar ulang film yang telah dibekukan selama 14 tahun itu maka akan memunculkan ide kepada publik untuk mendiskusikannya lebih dalam.
"Justru, dengan ditampilkan kembali seperti itu, akan muncul, kristalisasi sudut mana yang benar. Fungsi film kan seperti itu. Menjadi trigger untuk open discussion," katanya.
Elprisdat justru meyakini, dengan diputarnya kembali film itu maka akan bisa membuat publik memetakan sendiri bagaimana reaksi orang yang belum atau sudah pernah menonton film G 30 S-PKI.
"Apa semua orang memang betul-betul benci dengan semua yang berbau masa lalu, atau sebaliknya?" ujar Elprisdat.
Yang pasti, yang mesti dibenahi saat ini adalah, persepsi negara soal ketakutan akan kebangkitan PKI. Sebabnya, salah satu yang ditekan TNI hingga 'memaksa' kembali memutar film G 30 S-PKI adalah agar jangan ada kejadian serupa terjadi.
Ini sepertinya menjadi biang masalah. Ditambah lagi latah mengenai segala hal yang beraroma PKI mulai dari baju palu arit, diskusi korban 1965, buku-buku, dan lain sebagainya jelas menjadi biang lain yang tak kalah penting untuk diluruskan.
Film Rambo
Seperti dikatakan Sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam. Bahwa saat ini yang mencuat justru bukan soal PKI itu akan hidup, namun lebih kepada pihak-pihak yang hendak mengubur tragedi kemanusiaan pada tahun 1965 yang kebetulan berkaitan dengan isu PKI ketika diembuskan.
Pihak ini, lanjut Asvi, khawatir jika borok mereka pada masa lalu akan terkuak ke publik. "Lebih pada upaya defensif, mempertahankan diri, menyelamatkan diri supaya kejahatan masa lalu tidak terungkap," ujar Asvi.
FOTO: Sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam
Atas itu, Asvi mengingatkan, idealnya negara mengabaikan soal publik yang kini mendalami lebih bijak sejarah masa lalu negaranya. Apa yang dulu keruh kini telah menjadi jernih berkat keterbukaan dan pemaksaan.
"Kebangkitan PKI itu sesuatu yang absurd. Penyebaran komunis adalah sesuatu yang tidak menarik lagi bagi orang Indonesia, bahkan di dunia. Karena itu, ketakutan terhadap komunisme seharusnya tidak dipelihara terus," ujar Asvi.
Lalu apa kata Jokowi soal ini? Yang pasti, dalam pernyataannya Jokowi tak mengambil pusing soal rencana TNI kembali mempopulerkan film G 30 S-PKI ke publik.
Ia hanya berharapa jika film itu diperbaharui, sehingga dapat lebih diterima generasi berikutnya. "Akan lebih baik kalau ada versi yang paling baru. Agar lebih kekinian, bisa masuk ke generasi milenial," kata Jokowi.
Ya, film tetap film. Soal mempercayai atau tidak, publik harus cerdas. Seperti kata seorang pengguna sosial. "Anggap saja lg nonton film Rambo. Soal kenyataan bhw Amerika kalah perang Vietnam itu soal lain. Namanya jg film," tulis akun bernama Firman Baso. (ren)