Konflik Rohingya di Myanmar Membara Lagi
- REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
VIVA.co.id – Bagai api dalam sekam. Setelah sempat senyap, negara bagian Rakhine, Myanmar, ternyata masih menyimpan bara konflik. Panas permusuhan di wilayah yang sangat miskin di Myanmar itu kembali berkobar. Hanya dalam hitungan dua hari, puluhan orang tewas, dan ribuan lainnya mengungsi ke tempat aman.
Bentrokan antara warga Muslim etnis Rohingya di Rakhine dengan pihak keamanan Myanmar kembali pecah. Menurut versi pemerintah Myanmar, kerusuhan diawali oleh terjadinya serangan yang dilakukan oleh Harakah al-Yaqin alias Tentara Penyelamat Rohingya Arakan.
Serangan terjadi pada Kamis malam, 24 Agustus 2017. Kelompok Harakah al-Yaqin yang mengaku bertanggung jawab atas aksi itu diberitakan menyerang 30 pos polisi dan pangkalan militer di Maungdaw. Dilaporkan The Guardian, hingga Minggu malam kemarin, 98 orang tewas akibat bentrokan bersenjata itu. Korban dari kubu pemberontak mencapai 80 orang, sedangkan dari pihak keamanan 12 orang.
Gerilyawan Rohingya dikabarkan melakukan serangan menggunakan tongkat dan pedang. Mereka juga menggunakan bom atau ranjau darat untuk menghancurkan jembatan. "Serangan terjadi pada pukul 1 pagi, gerilyawan Bengali melancarkan serangan ke pos polisi. Mereka membawa bom dan senjata rakitan," kata seorang tentara pemerintah seperti dikutip dari Reuters, 25 Agustus 2017.
Dilaporkan The Guardian , hingga Sabtu bentrokan sengit terus berlanjut di pinggiran kota utama di Maungdaw. Penjaga perbatasan Bangladesh memberikan kesaksian, ribuan orang termasuk perempuan dan anak-anak berusaha menyeberangi sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh. Mereka juga mencoba melintas melalui perbatasan darat dua negara untuk menyelamatkan diri. Sementara pemerintah Myanmar mengatakan telah mengevakuasi lebih dari 4.000 non-Muslim, termasuk seluruh staf pemerintahan.
Serangan ini kembali menghangatkan konflik yang sempat memuncak pada Oktober tahun lalu. Konflik pada Oktober 2016 itu bahkan memicu operasi militer besar-besaran dan membuat perhatian dunia berpaling ke Rohingya. Militer Myanmar dikabarkan melakukan pelanggaran hak asasi dan melakukan kekerasan pada warga Rohingya atas nama etnis dan agama. Belasan ribu warga Rohingya mengungsi. Sebagian besar melarikan diri ke Bangladesh, bahkan ke Indonesia.
Minoritas yang Tertindas
Rakhine adalah negara bagian di Myanmar dengan penduduk mayoritas Muslim. Tekanan demi tekanan terhadap warga Rakhine terus dilakukan oleh militer Myanmar, negara dengan penganut keyakinan mayoritas Budha. Pada bulan Oktober tahun lalu, serangan militan Rohingya terhadap polisi perbatasan memicu pembalasan tentara secara brutal. Militer dikabarkan mengerahkan seluruh alat, termasuk helikopter untuk menyerang warga di desa-desa di Rakhine. Aksi pembunuhan dan perkosaan tercium publik internasional.
Seorang perempuan Rohingya dan anaknya terpaksa mengungsi dari konflik di Myanmar (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
Rakhine di sia-siakan oleh Myanmar, dan tak diakui oleh Bangladesh. Pemerintah Bangladesh, yang mayoritas warganya masih berada di bawah garis kemiskinan, merasa kehadiran pengungsi Myanmar sebagai beban berat negara mereka.
Nasib warga Rakhine makin apes, karena Aung San Suu Kyi, pemimpin kharismatik Myanmar yang juga pernah menerima Nobel Perdamaian pada tahun 1991 memilih bungkam menghadapi konflik internal yang memanas pada tahun 2016. Perempuan yang pernah menjadi tahanan rumah selama bertahun-tahun itu bahkan tetap tak bersuara meski pemimpin dunia sudah mengeluarkan kecaman atas aksi brutal militer Myanmar.
Ia juga bergeming ketika sejumlah pemimpin negara menulis surat terbuka kepada Dewan Keamanan PBB yang memperingatkan sebuah tragedi "dengan pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan" di negara bagian Rakhine. Bahkan bulan Juni lalu, Myanmar tak mengijinkan tim penyelidik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa memasuki negaranya. Paspor para penyelidik PBB ditolak pemerintah Myanmar.
Di sisi perbatasan, ratusan ribu pengungsi Rohingya sudah menempati kamp-kamp pengungsi di Bangladesh sejak tahun 1990-an, atau sejak awal kasus kerusuhan antar etnis meletus di Rakhine. Saat ini diperkirakan ada lebih dari 400.000 pengungsi Rohingya di negara tersebut. Keberadaan pengungsi ini menjadi sumber ketegangan dua negara, yang menganggap mereka bukan warganya.
Sejak pecah kerusuhan pekan lalu, hingga Jumat, 25 Agustus 2017, 2.000 warga Rakhine telah berhasil menyeberang ke Bangladesh. Namun pemerintah Bangladesh memulangkan sebagian di antara mereka. Diberitakan BBC, banyak pengungsi menangis dan memohon agar mereka tak dipulangkan ke Myanmar, dan tetap diijinkan tinggal di Bangladesh.
Konflik Tanpa Akhir
Konflik berdarah di Rakhine seperti berjalan tanpa akhir. Kelompok pejuang Harakah al-Yakin menyampaikan kabar tak akan menyerah. Seperti dikutip dari BBC, meski kehilangan banyak pasukan, namun kelompok ini mengancam akan melakukan lebih banyak lagi serangan.
Saat ini 1,1 juta warga Muslim Rakhine masih hidup dalam situasi yang tak aman. Mereka berada di antara gerakan militan Harakah al-Yakin, serta serangan tentara. Sementara mereka yang berada di pengungsian juga tak lebih baik nasibya. Laporan WHO awal tahun ini mengabarkan, lebih dari 80.000 anak usia di bawah lima tahun yang berada di pengungsian di Bangladesh berada dalam kondisi kelaparan.
Mantan Sekjen PBB Kofi Annan meminta pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan kasus di Rakhine tanpa mengerahkan kekuatan yang berlebihan. Menurutnya, radikalisasi akan menjadi bahaya jika tak ditangani. “Sebuah penanganan yang komprehensif diperlukan untuk memastikan, kekerasan tidak meningkat, dan ketegangan antar komunal bisa terkendali,” ujar Annan, seperti diberitakan oleh Reuters.
Penduduk etnis Rohingya di Maungdaw, Rakhine, Myanmar mengungsi. (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
Pemimpin umat Katolik Paus Fransiskus, pada bulan Februari, ia mengeluarkan kritik pedas terhadap perlakuan terhadap komunitas Rohingya di Myanmar. Paus mengatakan, bahwa mereka telah disiksa dan dibunuh hanya karena mereka ingin menjaga budaya dan kepercayaan Muslim mereka. Paus, yang berencana akan mengunjungi Myanmar dan Bangladesh pada November mendatang, secara serius meminta agar militer Myanmar mengakhiri pendekatan dengan kekerasan pada warga Rohingya.
"Berita yang menyedihkan telah sampai kepada kita atas penganiayaan terhadap saudara-saudara kita di Rohingya , sebuah kelompok dengan agama minoritas,. Saya ingin mengungkapkan kedekatan penuh saya dengan mereka, dan biarlah kita semua meminta Tuhan untuk menyelamatkan mereka, dengan niat baik untuk membantu mereka,” ujarnya.
Jika tokoh dunia seperti Paus Fransiskus dan lembaga dunia seperti PBB sudah bersuara namun tak membawa perubahan sikap pemerintah Myanmar pada Rohingya, kemungkinan bara api permusuhan dan dendam tak akan pernah padam di Rakhine. Dan seperti yang dijanjikan, kelompok pejuang Harakah al-Yakin bisa jadi menepati janji menyerang kembali.
Jika tak ada damai, maka warga Rohingya, akan terus tenggelam dalam situasi pahit yang tak pernah mereka inginkan terjadi dalam hidup mereka. (ren)