Lahan untuk Rakyat dan Arti HUT RI ke-72

Ilustrasi tanah nganggur.
Sumber :
  • Antara/ Andreas Fitri Atmoko

VIVA.co.id – Hingga Maret 2017, angka ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia, atau Gini Ratio yang disurvei Badan Pusat Statistik mencapai 0,393. Angka tersebut tercatat turun sebesar 0,004 poin dibandingkan Maret 2016, yang sebesar 0,397.  

Capaian tersebut menandakan ketimpangan di seluruh masyarakat Indonesia hingga akhir Maret 2017, masuk dalam kategori sedang. Capaian yang turun tersebut, juga dinilai akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam catatan BPS, gini ratio terbesar masih berada di perkotaan, di mana pada Maret 2017, mencapai sebesar 0,407. Sedangkan gini ratio di daerah pedesaan tercatat sebesar 0,320.

Sedangkan berdasarkan distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah pada Maret 2017, sebesar 17,12 persen, yang mengartikan pengeluaran penduduk masih berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah.

Kemudian, jika dirinci menurut wilayah, di perkotaan angkanya tercatat 16,04 persen yang artinya berada di kategori ketimpangan sedang. Sementara itu, daerah perdesaan, angkanya tercatat 20,36 persen yang berarti dalam kategori ketimpangan rendah.

Atas kondisi tersebut, pemerintah kemudian membuatkan program andalan yang diharapkan dapat menciptakan pemerataan ekonomi, yaitu melalui kebijakan redistribusi aset dan reformasi agraria, serta kemitraan.

Sayangnya, program tersebut diakui Presiden Joko Widodo sangat terlambat dilakukan. Terlebih, jika melihat sejumlah negara-negara lain di dunia yang justru telah berpikir menetap di angkasa luar dan Indonesia masih berurusan sertifikasi lahan.

“72 tahun kita merdeka, di negara kita tercinta, urusan sertifikasi lahan untuk rakyat belum tuntas-tuntas juga,” kata Jokowi, sapaan akrab Presiden di gedung DPR, Rabu 16 Agustus 2017.

Menurut dia, akibat persoalan sertifikasi lahan, sampai saat ini masih ditemukan sengketa lahan, baik antarwarga, antarwarga dengan korporasi, atau bahkan antarwarga dengan pemerintah. Padahal, masalah ini bisa segera diselesaikan.

Untuk itu, pemerintah melalui kebijakan pemerataan ekonomi yang berkeadilan berupaya mempercepat sertifikasi lahan yang saat ini sudah mencapai 250 ribu bidang.

Tak hanya itu, pemerintah pun telah menjalankan redistribusi tanah untuk masyarakat.
"Dan, sudah memberikan 707 ribu hektare kawasan hutan kepada masyarakat adat untuk dikelola secara produktif,” katanya.

Jokowi menambahkan, selain redistribusi lahan pemerintah juga tengah menjalankan program perhutanan sosial, untuk rakyat di lapisan 40 persen terbawah mendapatkan akses untuk memanfaatkan hutan demi kesejahteraan. Belum lagi, hal ini ditambah dengan program kerakyatan yang dijalankan pemerintah.

“Utamanya Program Keluarga Harapan, Program Perlindungan Nelayan, percepatan pembangunan rusunawa, dan program peningkatan kualitas rumah tidak layak huni.”

Selanjutnya...126 juta lahan tersertifikasi

126 juta lahan tersertifikasi

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebutkan program redistribusi aset dan reformasi agraria, serta kemitraan diharapkan bisa mensertifikasi 126 juta tanah, dari saat ini yang baru sebanyak 46 juta lahan tersertifikasi.

Untuk itu, dia berharap 60 persen sisanya bisa tersertifikasi dalam waktu dekat. Saat ini, lahan yang belum tersertifikasi terkendala biaya dan tanah-tanah itu berada di posisi, yang memang tidak seharusnya untuk pemukiman maupun lahan garapan.

"Itu urusan menteri, tahu saya target itu harus bisa diselesaikan. Kalau tidak selesai, urusannya akan lain, bisa diganti, bisa digeser, bisa dicopot, dan lainnya. Karena, kalau tak diberi target konkret sampai kapan pun 126 juta tak bisa," kata Jokowi.

Potret kemiskinan masyarakat di pedesaan

Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil mengatakan, saat ini tanah milik swasta maupun pemerintah di Indonesia masih banyak yang belum bersertifikat.

"Dari 100 persen aset tanah di Indonesia, yang bersertifikat cuma sekitar 44 persen. Masih jauh sekali, termasuk aset yang dimiliki pemerintah, juga Polri 83 juta meter persegi," kata Sofyan.

Untuk itu, Sofyan mengaku akan mempercepat dan memproses, serta memberikan bantuan dalam sertifikasi tanah di seluruh Indonesia, baik pemerintah maupun swasta.

"Tujuannya nanti, tanah yang minim konflik. Sekarang ini, sangat tinggi konflik yang disebabkan berbagai hal, salah satunya tanah," ujarnya.

Selanjutnya... urusan teknis BPN bermasalah

Urusan teknis BPN bermasalah

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, upaya pemerintah untuk mensertifikasi lahan masih terkendala urusan teknis. Seperti verifikasi data dan administrasi yang lambat di Badan Pertanahan Nasional.

Sedangkan dari sembilan juta hektare lahan yang dijanjikan untuk reforma agraria, sebagian besar hanya formalisasi aset tanah, atau bagi-bagi sertifikat tanah bukan redistribusi lahan produktif.

"Padahal, untuk menurunkan ketimpangan, yang paling dibutuhkan sekarang adalah pembagian lahan untuk petani miskin," ujar Bhima kepada VIVA.co.id, Rabu 16 Agustus 2017.

Ia mengungkapkan, agar reformasi agraria berjalan efektif, perlu dibentuk sistem pengelolaan yang jelas. Sistem itu yaitu dengan segera membentuk Badan Pengelola Reforma Agraria.

"Jadi, bukan hanya mendistribusikan lahan saja kepada masyarakat, tetapi mengelola lahan agar terus produktif dan menghasilkan keuntungan bagi petani yang pada akhirnya turunkan ketimpangan," ujarnya.

Salah satu pembangunan irigasi guna mendukung ekonomi desa

Selain itu, pemerintah dalam upaya menekan ketimpangan di daerah juga mesti fokus pada pemanfaatan dana desa yang jumlahnya mencapai Rp60 triliun pada RAPBN 2018 nanti.

Bhima menuturkan, dana desa yang sangat besar tersebut harus didorong untuk lebih banyak masuk ke BUMdes, sehingga multiplier effect-nya langsung dirasakan ke peningkatan pendapatan masyarakat.

RAPBN 2018 ke Indonesia Timur

Kemudian, dalam upaya mendorong pemerataan pendapatan masyarakat Indonesia, Pemerintah mengakui juga perlu langkah lain selain lahan. Upaya tersebut bisa dilakukan dalam bentuk program dan proyek melalui anggaran belanja negara.

Dalam RAPBN 2018, pemerintah menargetkan ekonomi Indonesia dapat tumbuh sebesar 5,4 persen. Capaian tersebut didorong oleh konsumsi rumah tangga, peningkatan investasi, dan perbaikan kinerja ekspor dan impor.

Tingginya angka pertumbuhan tersebut, kemudian diharapkan juga berasal dari ekonomi kawasan Maluku, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Langkah ini diakui Presiden sebagai upaya keluar dari anggapan Jawa Sentris.

"Peningkatan dan pembangunan infrastruktur, baik konektivitas maupun ketersediaan energi, merupakan kunci dari upaya pemerataan ekonomi ini," jelas Jokowi. (asp)