Pemerataan Pendidikan, Antara Harapan dan Kenyataan

Orangtua dan siswa mengamati pengumuman mengenai PPDB tahun 2017.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

VIVA.co.id – Fathir, bocah lima tahun ini merengek setiap pagi buta. Tangisnya menjadi-jadi ketika air dingin mengguyur kepalanya saat dimandikan sang ibu.

Setiap hari, tepat setiap jam 06.00, bocah yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak di salah satu kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, ini sudah harus duduk di mobil dan berseragam sekolah.

Bersama dua kakak perempuannya, ketiganya harus bergegas diantar sang ayah ke sekolah. Sebab pukul 08.00 kedua orang tuanya harus sudah bekerja.

Baik Fathir dan dua kakak perempuannya, bersekolah di lokasi yang berbeda. Paling cepat butuh waktu satu jam setengah untuk mengantar ketiganya ke sekolah.

Karena itu, pagi buta mereka harus menembus macet. Hiruk pikuk pagi setiap jam sekolah ini sudah menjadi pemandangan rutin keluarga ini. "Satu orang telat, maka akan berimbas ke semuanya," ujar Darmoko, sang ayah, saat dihubungi, Senin, 10 Juli 2017.

FOTO: Ilustrasi/Siswa Sekolah Dasar

 

Ya, ketiga putra dan putrinya memang ditempatkan di sekolah favorit. Ini semata dilakukan Darmoko untuk memperjuangkan pendidikan anaknya. Ia berkeyakinan, sekolah yang baik maka akan menghasilkan didikan yang baik.

Atas itu, ia rela “membunuh” pagi dengan bersusah payah menembus ramainya Jakarta untuk mengantar anaknya bersekolah, sebelum gerbang pagi sekolah ditutup penjaga gerbang sekolah.

Keluarga ini cuma contoh kecil perjuangan para orangtua. Tak peduli berapa jarak, asal anaknya bisa sekolah bergengsi, menjadi hal penting. Meski terentang jauh dari rumah, memakan biaya dan waktu semua dijalani.

Soal hasil mereka percaya, sekolah yang akan menentukan. Keletihan saat ini dianggap “perjuangan” dengan harapan akan berbuah baik di kemudian hari.

Pemerataan Pendidikan
***


Tahun ini, tepatnya pada bulan Mei 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Peraturan Mendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Dasar konsep ketentuan ini bertujuan untuk memeratakan pendidikan bagi siapa pun. Ketentuan yang berisi 39 pasal ini menjadi penjamin bahwa setiap penerimaan peserta didik baru berjalan objektif, akuntabel, transparan dan tanpa diskriminasi sehingga mendorong peningkatan akses layanan pendidikan.

Dan salah satu yang paling mendasar dari ketentuan ini adalah kewajiban setiap sekolah menerima siswa yang tinggal di sekitar lingkungan sekolah. Tak tanggung-tanggung, kewajibannya mencapai 90 persen. Sisanya baru untuk siswa berprestasi.

"Sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat sekolah paling sedikit sebesar 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima," tulis Pasal 15 Ayat 1 Peraturan Mendikbud Nomor 17 Tahun 2017.

FOTO: Peraturan Mendikbud Nomor 17 Tahun 2017.

 

Jelas dalam konsep ini bahwa tidak ada lagi istilah warga sekitar kececeran bersekolah lantaran dikalahkan oleh mereka yang berprestasi atau mungkin berduit.

Ini tentu menjadi kabar baik bagi mereka yang tinggal di sekitar sekolah dan dalam kategori miskin. Sebab mereka kini tanpa harus khawatir lagi bersaing dengan mereka yang berada jauh dari sekolah mereka.

Dan pastinya, kebijakan ini secara tegas memastikan bahwa ke depan tidak akan ada lagi sekolah favorit atau unggulan. Sebab, semuanya tidak lagi dibedakan dengan nilai.

"Semua harus dibikin semerata mungkin," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Surabaya, Minggu, 9 Juli 2017.

Bersama kebijakan ini juga kemudian menjadi sebuah pola baru bahwa setiap anak kini mendapatkan hak yang sama untuk bersekolah. Tak cuma itu, dengan anak-anak bersekolah di dekat tempat tinggal, maka bisa mengurangi kemacetan, sebab anak-anak kini tak perlu naik kendaraan namun cukup berjalan kaki.

Namun demikian, kebijakan zonasi ini tetap tak semulus dikira. Sejumlah orang tua kini mengeluhkan kebijakan itu. Sebabnya, mereka kecewa lantaran anak-anaknya yang sebelumnya sudah mati-matian berjuang dalam ujian dan mendapat hasil maksimal, justru kini tak bisa masuk ke sekolah favorit yang dituju.

Penyebabnya, rumah tinggal mereka jauh dari sekolah. Alhasil, kini anak-anak itu harus rela bersekolah di dekat rumah yang notabene bagi mereka kadang dinilai tidak baik.

Baik itu dalam kondisi infrastruktur, kualitas guru dan hasil lulusan. "Kalo kayak gini sistemnya, ngapain juga pake ada UN. Dapet nilai UN tertinggi se Kota Tengarang juga nggak bisa diterima di SMP negeri," tulis salah satu pengguna jejaring sosial, Sulistyawati, mengeluhkan sistem PPDB tahun 2017.

FOTO: Calon siswa beserta wali murid antre pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP melalui sistem zonasi di SMPN 2 Tulungagung, Tulungagung, Jawa Timur, Senin (12/6/2017).

 

Keluhan itu jelas bukan satu-satunya. Ini menjadi masalah seragam bagi seluruh orangtua yang terpatok paradigma lama bahwa prestasi anak akan menentukan sekolah yang baik.

Hasil ujian yang dulu diperjuangkan mati-matian oleh anak mereka kini bak sia-sia bagi para orang tua ini. Harapan bahwa mendapat sekolah bergengsi kini buyar sudah.

Suka tidak suka, para orangtua kini harus menerima kenyataan bahwa tak ada lagi sekolah favorit. Alhasil PPDB pun ricuh di mana-mana. Konsepsi yang mengakar di kepala orangtua siswa menjadi akar masalah utama.

Dalih mereka pun sama bahwa zonasi telah membuat percuma perjuangan anak mereka untuk mendapatkan hasil ujian yang maksimal. "Sistem zonasi enggak akan membuat anak didik termotivasi untuk belajar lebih giat agar dapat NEM tinggi," tulis pengguna sosial lainnya, Tanti.

Sengkarut Masalah
***
Suka atau tidak, PPDB tahun ini terlanjur membuat sejumlah orang menggerutu. Baik masalah zonasi wilayah yang membuat kelimpungan, akses internet yang digagas lewat pendaftaran online atau dalam jaringan juga bermasalah.

Bagaimana tidak, meski dikonsepkan lewat online dengan tujuan mulia agar semua proses transparan dan tidak merepotkan dalam hal antrean.

Ternyata faktanya tidak begitu. Tak seluruh sekolah akhirnya menjalankan sistem online. Bahkan di Jawa Barat misalnya, akses laman PPDB mereka sangat sulit diakses hingga tanggal 10 Juli 2017 atau di hari terakhir pendaftaran online.

Alhasil orangtua dan siswa pun ketar-ketir menanti kejelasan nasib sekolah mereka. Sengkarut masalah ini pun diakui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

FOTO: Laman resmi PPDB Jawa Barat yang tak bisa diakses

 

Catatan Inspektorat Kemendikbud total aduan mengenai PPDB 2017 bahkan mencapai 240,30 persen. "(Paling) Banyak ditemukan di Jawa Barat," ujar Irjen Inspektorat Kemendikbud Daryanto.

Dan dari laporan itu, yang paling banyak dikeluhkan adalah sistem yang bermasalah. Di mana orangtua dan siswa kesulitan mengakses laman yang akan dituju untuk mendaftar PPDB.

Bahkan, saking paniknya para orangtua, mereka pun nekat menggeruduk Kantor Dinas Pendidikan Jawa Barat. Mereka mendesak agar dinas menjamin anak mereka bisa diterima.

"Setelah didesak, dinasnya janji akan buat surat tertulis," ujar seorang wali murid yang mengaku nama anaknya justru tidak muncul meski telah melampaui Passing Grade yang ditetapkan sekolah.

Di Kabupaten Tangerang, pemerintah setempat bahkan telah berencana akan menyurati Kemendikbud terkait polemik PPDB. Mereka berharap agar Kemendikbud dapat merespons keluhan mereka.

"Saya telah menyurati Kemendikbud terkait aturan ini, kita minta aturan ini ditinjau ulang dan kembali seperti yang dulu yakni, penerimaan sesuai dengan nilai bukan zonasi," ujar Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar, Senin, 10 Juli 2017.

Apa pun itu, kebijakan mekanisme PDB yang belum seumur jagung ini memang telanjur menjadi polemik. Di luar tujuan mulianya untuk pemerataan pendidikan, faktanya ketakutan orangtua soal anaknya memang cukup beralasan.

FOTO: Potret kemiskinan di Indonesia

 

Bagaimana tidak, saat ini tidak seluruh sekolah di Indonesia memiliki infrastruktur dan kualitas tenaga pengajar yang merata. Sehingga harapan meratanya pendidikan hanya menjawab soal akses mereka yang tidak mampu dalam segi ekonomi.

Namun belum tentu menjawab pemerataan kualitas, selama sekolahnya juga masih dalam kondisi memprihatinkan dan buruknya kualitas guru yang disediakan.

Benar adanya zonasi menghilangkan dikotomi sekolah eksklusif yang kini sudah mengakar di mata masyarakat. Namun tak adil juga membiarkan pelajar yang berprestasi justru tenggelam di kubangan sekolah.

Tinggal pertanyaannya sampai kapan kita menunggu pemerintah menyamaratakan kualitas sekolah di Indonesia? (one)