Menyoal Sekolah 8 Jam Sehari Selama 5 Hari

Anak-anak di Sekolah Dasar.
Sumber :
  • VivaNews/ Nurcholis Lubis

VIVA.co.id – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy kembali menjadi sorotan publik di Tanah Air. Kali ini, terkait dengan rencana kebijakan mengenai lamanya waktu sekolah, atau mengajar pada tahun ajaran baru 2017-2018.

Dalam kebijakan tersebut, jumlah hari sekolah akan dipangkas menjadi lima hari, dari Senin sampai dengan Jumat. Namun, jam pelajaran setiap harinya ditambah menjadi minimum delapan jam, sehingga para siswa bisa libur selama dua hari pada Sabtu dan Minggu.

"Jadi, kalau minimum delapan jam, kalau lima hari masuk, sudah 40 jam per minggu. Dan, itu sudah sesuai standar kerja ASN (Aparatur Sipil Negara) untuk guru. Kalau itu dipenuhi, sudah melampaui standar kerja ASN, sehingga guru mengikuti standar itu," kata Muhadjir di Istana Negara, Jakarta, menjelang akhir pekan lalu.

Untuk itu, Muhadjir melanjutkan, pada Sabtu benar-benar tidak ada aktivitas sekolah lagi. Biasanya, pada Sabtu diisi dengan ekstrakurikuler.

"Iya benar. Full libur," katanya.

Namun, kebijakan itu segera menuai protes dari sejumlah kalangan. Salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid mengatakan, kebijakan Muhadjir itu berpengaruh besar pada sekolah diniyah yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat.

Selama ini, kata Zainut, sekolah seperti madrasah diniyah maupun pesantren, biasanya memulai pelajaran saat sekolah umum baik SD, SMP, dan SMA, selesai.

"Dengan diberlakukannya pendidikan selama delapan jam sehari, dapat dipastikan pendidikan dengan model madrasah ini akan gulung tikar. Padahal, keberadaannya masih sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat," kata Zainut, dalam siaran persnya, Minggu 11 Juni 2017.

Padahal, kata dia, model sekolah seperti ini sudah berlangsung lama. Bahkan, kontribusinya bagi sangat besar.

Zainut tidak bisa membayangkan, berapa jumlah sekolah yang menerapkan model seperti ini, akan tutup. Padahal, dikelola secara mandiri dan sukarela oleh masyarakat itu sendiri.

"Berapa jumlah pengajar yang selama ini mendidik anak siswa dengan ikhlas tanpa pamrih akan kehilangan ladang pengabdiannya. Hal ini sangat menyedihkan dan akan menjadi sebuah catatan kelam bagi dunia pendidikan Islam di negeri yang berdasarkan Pancasila," katanya.

Dia mengakui, dengan penambahan menjadi delapan jam sehari, bisa menambah penguatan pendidikan karakter dari para murid. Namun, tidak bisa diberlakukan untuk semua sekolah.

Zainut mengusulkan, kebijakan itu tidak diberlakukan kepada seluruh sekolah. Ada kriteria tertentu pada sekolah yang bisa menerapkan itu.

"Apakah semua sekolah memiliki sarana pendukung untuk terciptanya sebuah proses pendidikan yang baik? Seperti sarana untuk ibadah, olahraga, laboratorium, tempat bermain, dan istirahat yang nyaman bagi pelajar, serta kantin yang sehat dan layak. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah tersedianya jumlah pengajar yang cukup," katanya.

Namun, apabila fasilitas-fasilitas itu tidak bisa terpenuhi, dia juga tidak yakin kebijakan Mendikbud Muhadjir itu bisa berjalan baik. "Justru, yang terjadi adalah anak didik akan menjadi jemu dan stres," lanjutnya.

MUI lebih sepakat kalau kebijakan itu hanya untuk sekolah tertentu. Dengan kriteria yang bisa memenuhi standar dan dilakukan secara bertahap, tidak masif sekaligus.

"Misalnya, hanya diberlakukan bagi sekolah yang sudah memiliki sarana pendukung yang memadai. Sedangkan bagi sekolah yang belum memiliki sarana pendukung, tidak atau belum diwajibkan. Serta kebijakan tersebut ,tidak diberlakukan untuk semua daerah dengan tujuan untuk menghormati nilai-nilai kearifan lokal," kata Zainut.

Maka dari itu, pemerintah daerah juga dilibatkan dalam kebijakan ini. Pemerintah pusat, juga bisa menghargai kearifan lokal masing-masing daerah.

"Jadi, daerah diberikan opsi untuk mengikuti program pendidikan dari pemerintah, juga diberikan hak untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana yang selama ini sudah berjalan di masyarakat," katanya.

Berikutnya, tidak komprehensif>>>

***

Tidak komprehensif

Protes juga disampaikan oleh unsur dari Nahdlatul Ulama. Dosen STAI Darussalam Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Krempyang Tanjunganom Nganjuk Jawa Timur, Toha Ma'sum, dilansir dari situs nu.or.id, menuliskan catatannya.

Dia mengakui, Mendikbud Muhadjir dalam mengeluarkan kebijakan itu, tentu memiliki pertimbangan-pertimbangan. Antara lain, pertama, bahwa dengan masuk sekolah lima hari, maka dapat menambah waktu untuk keluarga bagi siswa.

Kedua, dengan sekolah hanya lima hari, guru dapat tambahan waktu untuk keluarga. Ketiga, dapat menambah waktu untuk meramaikan dunia wisata di negeri ini. Keempat, dapat mengurangi anggaran, baik bagi pemerintah, pihak sekolah maupun masyarakat. Dan, kelima, siswa atau anak dapat waktu lebih untuk mengembangkan diri, dan atau menambah kegiatan ketrampilan lainnya.

Namun, dia menilai, mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu tidak memperhatikan sisi-sisi lain yang lebih penting. Misalnya ,keilmuan ilmiah maupun fakta dengan lebih komprehensif.

Toha mengungkapkan, ada beberapa hal yang menjadi keilmuan ilmiah dan fakta di negeri ini. Pertama, mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim.

"Bagi umat Muslim, hari yang harusnya diliburkan adalah hari Jumat, bukan hari Ahad (Minggu), dan bahkan mau ditambah Sabtu. Seharusnya, hari Jumat, yang merupakan hari yang penting bagi umat Muslim, dan waktu yang ada relatif pendek karena terpotong kegiatan Jumatan. Maka, kenapa justru tidak libur hari Jumat?" kata Toha.

Kedua, lanjut dia, di negeri ini, sejak belum lahirnya negeri ini, sistem pendidikan yang berkembang dan dikelola oleh masyarakat adalah berbentuk pondok pesantren, madrasah diniyah, dan taman pendidikan Alquran yang kegiatannya rata-rata dilaksanakan setelah Zuhur sampai Asar, yang kesemuanya itu telah lama ada dan eksis sampai sakarang.

Bahkan, perannya dalam membantu pemerintah dalam mewujudkan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa dan membentuk generasi yang berkarakter, sangat besar sekali, dan secara formal, lembaga-lembaga itu telah diakui oleh pemerintah sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, dan PP Nomor 55 Tahun 2007.

"Maka, jika sekolah lima hari diterapkan, lembaga-lembaga pendidikan tersebut akan mengalami kemunduran dan bahkan akan tutup secara pelan-pelan, karena selesainya sekolah sudah jam 16.00 dan sampai di rumah, para siswa mungkin sudah jam 17.00, dan mungkin bisa lebih," kata dia.

Ketiga, dengan dikuranginya jumlah hari masuk, hal itu menurutnya berarti jumlah jam setiap hari bertambah, dan ini menuntut tenaga dan biaya yang ekstra.

"Hal ini dapat kita lihat bagaimana kemampuan dan daya tangkap siswa kita, mulai pagi sampai sore diforsir sedemikian rupa. Maka, bagaimana bisa mereka dapat mencerna dan menerima ilmu? Padahal, kemampuan jasmani dan rohani dari anak didik kita sangatlah terbatas. Di sisi lain, jika jumlah jam bertambah, tentunya semua siswa butuh tambahan biaya untuk uang makan siang, dan ini tentu menambah pengeluaran bagi orangtua," lanjutnya.

Keempat, dengan penerapan sekolah lima hari, tentunya tenaga pendidik/guru berkurang jumlah hari masuknya. Namun, di sisi lain mereka dituntut untuk menyelesaikan segudang administrasi dan kegiatan pendidikan lainnya yang menjadi tugasnya, dan ini perlu kita sadari, bahwa kekuatan dan kemampuan guru-guru kita, baik secara fisik maupun keilmuannya.

Kelima, dengan diterapkannya lima hari masuk sekolah, berarti waktu luang bagi siswa bertambah, yang mungkin dengan alasan menambah waktu bermain dan untuk keluarga, hal ini jadi pertimbangan.

"Namun, coba kita perhatikan, dengan ditambahnya waktu luang, bukankah waktu untuk bermain bertambah, siapa yang mengontrol dan mengawasi? Bukankah, berarti juga tambah biaya, jika mereka mau ke tempat wisata? Lalu, siapa yang bisa menjamin, bahwa dua hari libur itu akan benar-benar bermanfaat bagi mereka?" ujarnya.

Keenam, tambah Toha, jika lima hari sekolah diterapkan, pulang sekitar pukul 15.30 atau 16.00. Dia berpendapat itu adalah waktu mereka keluar dari sekolah.

"Lalu, jika mereka bermukim jauh dari sekolah, berarti sampai rumah bisa sudah Magrib. Lalu, bagaimana dengan salat Ashar mereka? Salat Magrib mereka? Siapa yang bertanggung jawab, jika sebab pulang yang sore, kemudian mereka tidak salat? Belum lagi, beban mereka yang telah menerima banyak pelajaran sejak pagi, bukankah sampai di rumah sudah letih? Lalu, bagaimana mereka akan mengerjakan tugas/PR. Lalu, kapan mereka akan membantu orangtua? Kapan mereka akan bersosialisasi dengan masyarakat?" kritiknya.

Selanjutnya, jangan seragam>>>

***

Jangan seragam

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi juga memberikan catatannya. Pertama, apakah delapan jam setiap hari itu juga berlaku untuk mereka yang kelas satu sampai tiga SD? Bila benar, maka dia menilai hal itu tidak sewajarnya.

"Itu tidak bisa, ketahanan fisik mereka tidak mampu dan sekolah juga repot," ujar Unifah, saat dihubungi VIVA.co.id, Minggu 11 Juni 2017.

Kedua, Unifah menyarankan pelaksanaanya tidak boleh ditetapkan secara seragam. Ketiga, tidak boleh mematikan sekolah madrasah dan kegiatan lain.

"Keempat, tidak boleh semua daerah di Indonesia melaksanakan ini. Bagi mereka yang secara geografis berbahaya seperti jauh, gelap, menyeberangi jembatan, tentu menyulitkan," ujarnya.

Kelima, apakah pemerintah telah menyiapkan programnya secara detail. Seperti, asupan gizinya untuk para murid, siapa yang tanggung jawab.

"Jangan sampai, karena tidak jelas isinya, nanti anak-anak bermain-main saja," katanya.

Keenam, aspek guru, bagaimana guru melakukan tugas-tugas keluar. Dia menegaskan bahwa standar operasional prosedur, atau SOP harus jelas.

"Apa program guru, sekolah, orangtua murid," katanya.

Unifah juga menyarankan, agar pemerintah menyusun semacam buku panduan, atau guideline. Alasannya, keunikan di daerah beda-beda. "Jangan menganggap, semua sama," lanjutnya.

Selain itu, persoalan infrastruktur. Dia berpendapat, program itu harus didiskusikn dengan pemerintah daerah terlebih dahulu, tidak bisa langsung jalan.

"Sanggupnya seperti apa? Apakah bertahap? Yang penting, jangan menyeragamkan," tegas dia.

Namun, dalam konteks kebijakan itu, Unifah mengemukakan bahwa dirinya tidak dalam posisi setuju, atau tidak setuju. Dia hanya menginginkan, agar pemerintah menyiapkan setiap program secara matang, supaya tidak menimbulkan persoalan dan justru berdampak negatif.

Meskipun demikian, dia mengaku pihaknya tidak diajak diskusi dalam merumuskan kebijakan tersebut.

"Hampir tidak pernah ngajak ngomong dengan PGRI. Kalau di daerah, justru diajak bicara. Kalau pusat agak lain, mungkin merasa ini pusat," kritiknya.

Sementara itu, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menuturkan bahwa kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan Mendikbud. Dia meluruskan, kebijakan itu adalah kebijakan presiden, dan sudah diatur dalam sebuah peraturan presiden tentang sekolah lima hari.

"Delapan jam selama sekolah itu tidak semuanya jam belajar mengajar, tetapi kegiatan-kegiatan yang terstruktur. Misalnya berupa pembinaan karakter, Pramuka, atau kegiatan-kegiatan lain seperti pengembangan bakat minat. Tidak belajar mengajar saja," kata Mu'ti, saat dihubungi VIVA.co.id.

Mu'ti mengatakan, konsekuensi dari kebijakan itu lebih kepada sarana dan prasarana sekolah, serta kemampuan untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan di luar kurikulum yang sifatnya non struktur.

"Sekolah-sekolah tertentu itu bukan hal yang baru. Lima hari dalam satu minggu, dan itu tidak masalah, berjalan dengan baik. Tinggal bagaimana kesiapan dari sekolah itu saja," kata Mu'ti lagi.

Mu'ti mengemukakan, nilai plus dari kebijakan itu adalah para siswa itu sebagian besar berada di sekolah. Dengan demikian, mereka akan terbina dengan baik.

"Selama ini kan, banyak siswa pulang sekolah itu tidak langsung pulang ke rumah, justru kongkow, main game, atau melakukan kegiatan lain yang berdampak negatif. Dengan dia berada di sekolah dalam waktu yang lama, kemungkinan dia melakukan kegiatan kontra produktif dikurangi, punya pengaruh besar terhadap pembentukan karakter," katanya.

Sedangkan minus, atau kelemahannya adalah bagi daerah-daerah tertentu, yang secara geografis lokasi rumah dengan sekolah cukup jauh.

"Itu dia harus menyiapkan transportasi yang memungkinkan dapat tiba di rumah tidak sampai larut malam, dan selamat," kata dia.

Kelemahan kedua, adalah untuk sekolah-sekolah sore seperti madrasah diniyah, atau bentuk lainnya. Selama ini, tambah Mu'ti, madrasah diselenggarakan setelah pukul 15.00.

"Kalau sekarang anak-anak sampai rumah pukul 16.00, ini harus ada penyesuaian terhadap sekolah yang lama. (Jamnya) terserah mereka (apakah misalnya setelah magrib)," tuturnya.

Berikutnya, Fraksi PPP menolak>>>

***

Fraksi di DPR  menolak

Sementara itu, anggota Komisi X Reni Marlinawati menyatakan bahwa Fraksi PPP DPR menolak rencana kebijakan sekolah delapan jam lima hari. Dia mengajukan, setidaknya empat alasan.

Pertama, rencana Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan yang akan memberlakukan jam belajar selama delapan jam sehari dan lima hari sekolah (Senin-Jumat) pada tahun ajaran baru Juli 2017 mendatang, hakikatnya adalah program full day school yang akhir tahun lalu telah menimbulkan polemik di publik.

Padahal, sejak awal pemerintah berkomitmen untuk melakukan kajian secara komprehensif soal rencana tersebut.

"Rencana tersebut, dipastikan bakal menimbulkan polemik dan kegaduhan baru di tengah masyarakat. Karena, sampai saat ini kita belum mendapatkan kajian atas rencana penerapan program tersebut," kata Reni dalam keterangannya kepada viva.co.id.

Kedua, persoalan yang muncul akibat penerapan jam belajar selama delapan jam dalam sehari di antaranya: 1) persoalan ketersediaan infrastuktur sekolah yang tidak memadai. Masih banyak dalam satu sekolah dibuat dua gelombang jam sekolah, pagi dan sore, karena keterbatasan lokal sekolah.

2) Kebijakan tersebut bakal menggerus eksistensi pendidikan non-formal keagamaan maupun kursus lainnya di luar jam sekolah seperti madrasah diniyah (madin) yang telah inherent (melekat) dalam praktik pendidikan bagi anak-anak usia sekolah.

Waktu belajar madin yang dilakukan usai salat Asar setiap harinya, dipastikan secara pelan tapi pasti akan hilang di tengah masyarakat. Waktu anak-anak usia sekolah akan habis waktunya di bangku sekolah.

3) Pendidikan keagamaan melalui jalur madrasah diniyah akan semakin minim diterima anak didik, padahal di sisi lain kebijakan full day school sama sekali tidak memberikan alokasi penambahan materi pendidikan keagamaan kepada anak didik.

Tiga, lanjut Reni, Fraksi PPP DPR secara tegas menolak rencana kebijakan penerapan jam sekolah delapan jam dalam sehari, karenaselain belum dilakukan kajian yang mendalam atas dampak penerapan tersebut baik dampak pada siswa, guru maupun kesiapan sekolah, kebijakan tersebut potensial berbenturan dengan eksistensi lembaga pendidikan non formal, seperti madrasah diniyah (madin) yang telah eksis bersama kehidupan masyarakat Islam Indonesia.

Empat, meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan klarifikasi secara komprehensif tentang rencana tersebut dan melakukan kajian secara komprehensif terhadap dampak penerapan kebijakan tersebut. Jangan sampai masalah ini menambah kebingungan masyarakat.

"Saat ini, masyarakat, khususnya wali murid tengah berkonsentrasi menyiapkan tahun ajaran baru, daftar ulang anak sekolah, dan persoalan lainnya. Rencana penambahan jam belajar tersebut jelas akan menambah persoalan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat," demikian Reni.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih berpendapat, kebijakan itu secara teknis diperlukan. Namun, saat sekarang ini, dia menyarankan Menteri Muhadjir perlu menyerap aspirasi penyelenggara pendidikan.

"Penyelenggara pendidikan terbesar itu Ormas (organisasi masyarakat). Sebaiknya, semua Ormas diminta pendapatnya. Karena, kondisi negara masih tidak kondusif," kata Fikri yang merupakan politisi Partai Keadilan Sejahtera itu, mengingatkan. (asp)