Koalisi Arab Saudi Vs 'OKB' Qatar, Siapa Bertahan?
- REUTERS/Thomas White/Illustration
VIVA.co.id – Politik Timur Tengah kembali memanas. Pemain kunci negara-negara Teluk memutus hubungan dengan Qatar. Alasannya, negara kecil itu kelewatan, mencampuri urusan negara lain, pula dicap mendukung terorisme. Arab Saudi yang hampir satu dekade geram dibuat Qatar, menginisiasi putusnya relasi ini. Tak lama negara-negara lain, latah sikap. Lantas bagaimana posisi tawar Qatar?
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain memberi waktu dua pekan bagi warga Qatar di negaranya untuk hengkang. Hal itu sebagai konsekuensi putusnya hubungan diplomasi negara-negara tersebut dengan Qatar. Keputusan itu resmi diumumkan pada Senin pagi, 5 Juni 2017.
Tak lama, Mesir juga mengikuti langkah ini, disusul otoritas pemerintah Yaman yang diakui dunia internasional, pemerintah Libya yang sedang berkonflik dan Kepulauan Maladewa.
Empat negara aktor penting di Jazirah Arab, Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir juga segera menarik para duta besarnya dari Doha. Tak ayal, krisis diplomasi Arab ini menutup pula jalur transportasi Qatar ke negara-negara itu.
Sebagai contoh, Arab Saudi dan UEA langsung menutup jalur darat, udara dan laut ke Qatar. Maskapai penerbangan, kapal-kapal dan jalur darat tak lagi bisa mendarat dan melewati wilayah Arab Saudi.
Arab Saudi sebagai negara utama di Timur Tengah memiliki wilayah geografis yang berbatasan secara teritorial dengan Qatar. Sementara dengan Iran, Qatar juga memiliki batas wilayah laut. Meski bertetangga, namun hubungan Arab Saudi dan Qatar selama ini terkesan panas dingin. Buktinya bukan kali ini saja, Arab Saudi pernah memutus hubungan dengan Qatar.
Pada tahun 2002 hingga 2008, Arab Saudi pernah menarik duta besarnya sebagai upaya menekan Qatar yang dianggap getol “mengusik” Arab Saudi yang diperhitungkan sebagai pemimpin di Timur Tengah. Lalu pada tahun 2014, Arab Saudi dan beberapa negara lain termasuk Mesir dan Bahrain juga memutuskan hubungan diplomasi dengan Doha. Qatar saat itu dinilai terlalu ikut campur urusan Mesir mengalami krisis.
Qatar disebutkan membela Ikhwanul muslimin di Mesir yang dianggap sebagai bagian kelompok teroris. Tingkah Qatar itu makin menjadi-jadi sejak adanya fenomena Arab Spring.
Namun tensi politik yang memanas antara Arab Saudi dan Iran belakangan menjadi alasan yang tak bisa ditampik. Arab Saudi sejak lama tak harmonis dengan Iran baik dalam hal persaingan kepemimpinan di Timur Tengah, isu nuklir hingga bidang ekonomi termasuk persaingan pasar minyak mentah.
Arab Saudi juga menuding Iran selama ini membonceng kelompok militan Islam melakukan aksi-aksi terorisme yang juga didukung Qatar. Arab Saudi bahkan tak ragu menyebut Iran sebagai teroris. Negara itu menyatakan, telah siap menghadapi serangan Iran, setiap waktu.
Dalih soal Iran itu tentu hanya salah satu di antara berbagai alasan. Qatar dianggap terlalu berani mendukung Ikhwanul Muslimin, Kelompok Hamas di Jalur Gaza dalam konflik Palestina, Taliban hingga Hizbullah yang dicap sebagai pengacau di Timur Tengah dan negara-negara Islam.
Mengenai pemutusan relasi diplomasi ini, Arab Saudi dengan tegas menyatakan bahwa sikap tersebut sejalan dengan hukum internasional yang menentang segala bentuk terorisme di muka bumi. Arab Saudi juga mengecam Qatar yang tak sejalan dengan kesepakatan yang dituangkan dalam komitmen Dewan Kerja Sama Teluk atau Gulf Cooperation Council (GCC).
Sehari setelah krisis diplomasi Arab, Organisasi Kerja Sama Islam atau OKI juga turut menyatakan sikap. OKI menekan Qatar agar menghentikan manuver politiknya selama ini dan tidak turut campur urusan domestik negara lain seperti yang dilakukan Qatar terhadap Mesir, Palestina, Bahrain dan Yaman.
"OKI meminta Qatar untuk menghormati komitmen dan kesepakatan terutama yang berkaitan dengan menghentikan dukungan untuk kelompok teroris serta kegiatan mereka," demikian kata Sekjen OKI melalui keterangan tertulis, Selasa 6 Juni 2017.
Selanjutnya... Andil Amerika Serikat
Andil Amerika Serikat
Konflik Timur Tengah sedikit banyak tak bisa dilepaskan dari Amerika Serikat. Negara yang kini dipimpin Donald Trump itu sejak lama menjadi sekutu negara-negara utama di jazirah Arab termasuk Arab Saudi.
Bahkan Arab Saudi menjadi negara yang dikunjungi Trump dalam lawatan luar negeri perdananya. Tak tanggung-tanggung, pertemuan keduanya mampu membuat Arab Saudi membeli senjata AS hingga ratusan miliar dolar Amerika Serikat atau setara lebih dari Rp1.500 triliun.
Patut dicatat, secara politik, Amerika Serikat tak anteng dengan Qatar khususnya terkait dukungan Doha terhadap kelompok militan Islam dan negara yang berseberangan dengan AS selama ini. Namun demikian, posisi Qatar juga tidak bisa dipandang sebelah mata.
Pasalnya di negara tersebut, tepatnya di al-Udeid, berdiri pangkalan militer AS terbesar di Timur Tengah yang sudah ada sejak tahun 1990-an. Oleh karena itu, Qatar, sekalipun dianggap negara kecil di teluk, dengan adanya pangkalan itu, otomatis diperhatikan kepentingannya oleh AS.
Namun muncul pula dugaan bahwa sikap Arab Saudi memberi “sanksi” terhadap tetangga kecilnya menguat setelah Trump berkunjungi. Harmonisnya hubungan AS-Arab Saudi membuat Arab tak lagi ragu menyentil Doha.
Diberitakan kantor berita Iran, IRNA yang dikutip Arabnews, Ketua Parlemen Iran bidang Keamanan Nasional, Alaeddin Boroujerdi menuding bahwa retaknya hubungan negara-negara teluk pada saat ini tak lain adalah imbas kunjungan Donald Trump ke Arab Saudi.
“Intervensi dari negara lain khususnya Amerika Serikat tak akan bisa menjadi solusi damai bagi negara-negara di Kawasan Timur Tengah,” kata Alaeddin Boroujerdi.
Selanjutnya... Negara OKB
Negara OKB
Profil negara Qatar dalam dua dekade terakhir tak bisa dianggap sepele. Dengan luas geografis yang relatif kecil dan penduduk sekitar 2,7 juta orang, negara tersebut pernah tercatat menjadi salah satu negara paling miskin di semenanjung Arab.
Namun dengan eksplorasi cadangan gas yang cukup besar dan sebagian minyaknya, Qatar kini termasuk negara paling makmur. Pendapatan per kapita negara itu paling tinggi di kawasannya. Oleh karena itu, Qatar layak disebut sebagai orang kaya baru alias OKB di Kawasan Timur Tengah. Dengan kekuatan ekonomi Qatar pada saat ini, FIFA juga tak segan-segan meloloskan ambisi Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia pada tahun 2022 mendatang.
Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani adalah Emir, pemimpin Qatar pada saat ini. Dia melanjutkan tahta ayahnya pada tahun 2013. Sebagaimana sang ayah, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani diketahui menempuh pendidikan di Sherborne School di Dorset, Inggris dan jebolan Akademi Militer Inggris di Sandhurst.
Meski kuat secara ekonomi, Qatar disebutkan banyak mengimpor bahan makanan dari negara tetangganya dan negara-negara lain. Pasokan akan kebutuhan impor makanan ini yang kemudian menjadi potensi lemahnya posisi tawar Qatar menghadapi Arab Saudi dan koalisinya. Meski belakangan, Iran menyatakan siap memasok karena hanya butuh 12 jam perjalanan laut untuk bisa mengirim bahan makanan ke negara pendukungnya itu.
Terdesak
Tak lama, Qatar secara resmi sudah merespons soal krisis Arab ini. Pemutusan hubungan yang dilakukan Arab Saudi Cs dianggap tak memiliki dasar yang kuat. Namun begitu, suka tak suka, mau tak mau, negara itu harus berhitung kembali untung rugi dimusuhi ramai-ramai. Hal itu demi kepentingan keamanan nasional dan keberlangsungan ekonominya.
Doktor David Roberts, ahli pertahanan negara dari King’s College London dalam tulisannya di laman BBC menilai bahwa kali ini, posisi Arab Saudi sangat kuat saat berhadapan dengan Qatar. Hanya dengan dukungan Iran, maka Qatar dianggap tak bakal cukup kuat. Apalagi sikap menjadikan Qatar musuh bersama itu terkesan “direstui” oleh Amerika Serikat.
Roberts menilai bahwa Qatar memang terlalu banyak membuat ulah dan tak sejalan dengan negara-negara pionir di kawasannya. Arab Saudi karena itu sudah berhitung matang untuk memberi si “anak nakal” pelajaran.
Sementara Israel juga mendukung sikap Arab Saudi cs. Israel selama ini menilai Qatar menjadi masalah karena mendukung Hamas, kelompok yang radikal menentang pendudukan Israel di Jalur Gaza. Bahkan pimpinan Hamas selama ini diberi tempat bebas dan tinggal di Doha.
Karen Young, pakar senior Timur Tengah dari Gulf States Institutes di Washington, AS sebagaimana dikutip The Washington Post menilai bahwa sikap yang diambil Arab Saudi adalah upaya untuk mengembalikan postur kekuatan di Kawasan Arab seperti semula. Dia menilai, kepercayaan diri Arab Saudi memusuhi Qatar secara terang-terangan tak bisa dipungkiri karena adanya dukungan Trump yang gamblang menyatakan perang terhadap terorisme.
“Jadi ini memang cara Arab Saudi dan UEA untuk membentuk ulang iklim politik keamanan Timur Tengah sebagaimana yang mereka inginkan selama ini,” kata Karen Young. (one)