Marak Persekusi, Kapan Penegak Hukum Beraksi?
- www.pixabay.com/Geralt
VIVA.co.id – Aksi persekusi atau main hakim sendiri marak terjadi dalam beberapa kasus terakhir ini. Persekusi biasa terjadi karena sebagai respons terhadap sebuah posting di media sosial yang menyinggung pihak tertentu.
Meski tak dibenarkan, namun aksi ini sudah terjadi dan “menjamur” di sejumlah daerah. Contohnya dialami dokter dari Solok, Sumatera Barat, Fiera Lovita, yang mendapat intimidasi setelah mem-posting status di akun Facebooknya.
Status Fiera diduga menyudutkan tokoh ulama. Imbas dari statusnya, Fiera pun sampai hijrah ke Jakarta karena tak tenang dengan intimidasi yang diduga dilakukan sejumlah elemen ormas di Solok.
Melihat kejadian itu ada anggapan aparat kepolisian telat dan tak adil dalam menyikapi kasus ini. Karena aparat lelet, persekusi dilihat sebagai cara untuk menyelesaikan agar pihak yang memulai posting kapok alias jera.
"Ini simpel saja. Karena hukum tak tegas, ya timbul makin hakim sendiri. Kalau tak adil, diskriminatif terjadi persekusi. Ini tak bisa dibiarkan, tapi faktanya demikian," kata anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, Kamis, 1 Juni 2017.
Selain faktor respons lamban aparat, persekusi marak karena dinilai banyak oknum yang memanfaatkan kesempatan di air keruh. Tujuannya memancing orang banyak agar memunculkan kegaduhan. Kemudian, korban yang mem-posting di media sosial tak tahu dampaknya.
"Ini seperti ada pihak yang memanfaatkan seperti sengaja mainin status postingan orang agar gaduh. Ini harus segera direspons," tutur Nasir.
Aksi persekusi dinilai dapat mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi. Dari data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), aksi persekusi sudah terjadi 59 kasus di beberapa daerah.
Jakarta menjadi tertinggi dibandingkan beberapa daerah lainnya seperti Jawa Barat. Persekusi ini terjadi karena postingan di media sosial yang diduga menghina tokoh tertentu.
Dari beberapa kejadian tersebut, diketahui ada pola dugaan akun korban yang dipalsukan. Identitas dipalsukan dengan mencari persamaan identitas etnis dan agama. Karena itu, ada beberapa korban persekusi yang tak mengetahui bila akunnya dipalsukan.
"Jadi, sesungguhnya, akun yang dianggap menghina ulama/agama bukan akun yang dibuat yang bersangkutan," kata Damar Juniarto, Regional Coordinator SAFEnet, Kamis, 1 Juni 2017.
Selanjutnya... Ancaman Serius
***
Ancaman Serius
Persekusi jelas salah di mata hukum. Menetapkan orang bersalah dengan mengintimidasi tanpa proses hukum tak bisa dibiarkan. Untuk meredam aksi yang sudah menjadi ancaman serius kebebasan berpendapat.
Hal ini terlihat dari kejadian dalam beberapa hari, aksi persekusi sudah terjadi. Pola persekusi ini pun sama. Dari Koalisi Anti Persekusi, pola persekusi ini, pertama dengan men-trackdown orang atau pihak yang dianggap menghina ulama atau agama.
Kedua, dilakukan dengan membuka identitas, foto, dan alamat kantor atau rumah orang dengan menyebarkannya. Ketiga, mengajak dan menginstruksikan untuk memburu target.
Keempat, melibatkan massa dengan menggeruduk ke kantor atau rumah yang diduga mem-posting status di medsos. Beberapa pola ini ada yang dilakukan dengan aksi kekerasan disertai ancaman.
"Kemudian, bisa dibawa ke kantor polisi untuk dilakukan sebagai tersangka dengan pasal 28 ayat 2 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronika atau Pasal 156a KUHP," tutur Regional Coordinator SAFEnet, Damar Juniarto, yang juga perwakilan Koalisi Anti Persekusi, Kamis, 1 Juni 2017.
Ada anggapan aksi persekusi sudah berlangsung sejak awal tahun ini. Pegiat media sosial, Nukman Luthfie, mengatakan, kejadian ini sudah berlangsung sejak 27 Januari, bersamaan persidangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus penodaan agama.
"Hingga kini sudah ada 54 orang pengguna media sosial yang dipersekusi di seluruh Indonesia. Saya melihat kasus dokter Fiera terjadi karena ada pembiaran dari aparat hukum," ujar Nukman, Senin, 29 Mei 2017.
Aksi persekusi ini diibaratkan Nukman seperti pelanggaran lalu lintas. Dianalogikan jika ada pengendara yang melanggar, tapi aparat petugas mendiamkan maka pengendara lainnya akan ikut-ikutan.
Ilustrasi Facebook
Saran dari persoalan ini harus ada ketegasan dari tangan penegak hukum. Ketegasan aparat diperlukan karena aksi mengintimidasi dengan kekerasan serta menakut-nakuti masuk ranah pidana.
"Ya (aparat) harus tegas. Komentar di medsos, kemudian di-bully masih enggak masalah. Karena diskusi. Tapi kalau sampai meneror dengan cara diburu. Itu sudah pidana," kata Nukman.
Sementara, anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, tak menampik jika banyaknya pengguna media sosial yang marak dipersekusi sejak kasus penistaan agama oleh Ahok. Namun, ia tak setuju jika seolah-olah kasus Ahok menjadi kambing hitam.
Secara rasional, menurutnya, ada pihak yang sengaja memainkannya usai kasus Ahok agar memunculkan kegaduhan. Momentum ini dimanfaatkan karena ketidaktegasan aparat terkait dalam memberikan sanksi.
"Sanksi kita tegas. Ada UU ITE, 156a KUHP, ada juga UU Penanganan Konflik Sosial yang di bawah tanggung jawab kepala daerah masing-masing," ujar Nasir.
Selanjutnya... Respons Kepolisian
***
Respons Kepolisian
Pihak kepolisian menjadi yang ditunggu dalam maraknya kasus aksi persekusi. Ketegasan aparat dalam memberikan respons dinantikan berbagai pihak agar persekusi tak makin menjamur ke daerah lain.
Tugas berat bagi kepolisian dalam meredam ini. Namun, polisi bisa memulai dengan perannya sebagai pengayom masyarakat. Memberikan pelayanan yang tulus dengan melakukan sosialisasi ke masyarakat agar bijak dalam mem-posting status akan lebih dihargai.
"Mulailah dengan cara itu. Sebagai pengayom masyarakat, lakukan sosialisasi ke masyarakat bahaya nulis status mengandung unsur SARA," kata anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, Kamis, 1 Juni 2017
Kebebasan berpendapat harus menjadi prioritas tanpa ada tekanan dan intimidasi. Koalisi Anti Persekusi dalam hal ini mengimbau kepada pihak-pihak terkait agar merespons dengan cepat.
Seruan Koalisi Anti Persekusi meminta kepolisian menjadi harapan dalam kasus ini agar bisa menegakkan hukum dengan adil. Sesuai aturannya, Indonesia merupakan negara hukum dengan ada aturan dalam masalah persekusi seperti Pasal 1 angka 3 UUD 1945 dan amandemennya.
Negara dituntut harus aktif menghentikan tindakan sewenang-wenang individu atau kelompok yang menetapkan seseorang bersalah atas tuduhan sepihak.
"Kepolisian agar menegakkan hukum secara berkeadilan dengan tidak mengaktifkan pasal karet seperti pasal penodaan agama terlebih berdasarkan tuduhan sepihak," jelas Damar Juniarto.
Ilustrasi status di Facebook.
Kemudian, masyarakat juga diminta bijak dalam setiap melakukan posting di media sosial. Memikirkan dampak apa yang akan ditulis lebih bijak untuk mencegah kegaduhan di masyarakat.
"Masyarakat luas harus menahan diri untuk tidak melakukan siar kebencian," ujarnya.
Sementara, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Setyo Wasisto, mengimbau agar masyarakat bersikap bijak dan tak main hakim sendiri bila menemukan konten di media sosial yang dinilai menghina tokoh tertentu. Upaya terbaik persoalan ini diselesaikan dengan jalur hukum.
"Jangan main hakim sendiri. Karena negara kita punya undang-undang yang punya aturan. Percayakan kepada Polri," kata Setyo.
Dia menekankan polisi tak bisa memantau semua status di medsos. Sumber daya manusia yang ada di Polri terbatas dan tak bisa mengendalikan semua dinamika di media sosial.
Namun, ia mengingatkan agar diperlukan kerja sama dari semua pihak terutama masyarakat. Bagi yang menemukan konten yang diduga menyudutkan atau menghina, diharapkan langsung melapor polisi.
"Harus lapor. Polisi juga membutuhkan kerja sama dari masyarakat. Tempuh proses hukum. Dengan somasi, mediasi agar damai. Kalau mediasi tak bisa ya lapor ke polisi," tuturnya. (one)