Misteri Pembelian Heli AW 101 Mulai Terkuak
- VIVA.co.id/Widodo S. Jusuf/Pool
VIVA.co.id – Kejanggalan pengadaan Helikopter Agusta Westland AW 101 akhirnya mulai terkuak. Dua perwira dan satu bintara ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi militer (POM) TNI.
Ketiga tersangka dari unsur militer tersebut yaitu Marsma TNI FA selaku pejabat pembuat komitmen, dan Letkol WW selaku pejabat pemegang kas. Lalu, Pembantu Letnan Dua (Pelda) SS yang menyalurkan dana ke pihak tertentu.
Tiga tersangka tersebut diduga menyalahgunakan wewenang yang berujung kerugian negara mencapai Rp220 miliar. Penetapan tiga tersangka tak lepas dari pembentukan tim investigasi yang dimulai sejak akhir 2016. TNI AU saat itu masih di bawah pimpinan Marsekal (Purn) Agus Supriatna.
Dilihat dari gonjang-ganjing pengadaan, heli buatan Inggris ini sejak awal menuai kontroversi. Awalnya, TNI AU akan membeli delapan unit AW 101. Namun, rencana mendatangkan 8 unit tersebut panen kritikan.
Beberapa alasan menjadi penyebabnya. Misalnya, peran AW 101 yang diisyaratkan akan bentrok dengan Helikopter Super Puma bila tetap didatangkan. Pihak istana pada akhir tahun lalu pernah menekankan bila helikopter Super Puma yang biasa dipakai Presiden Jokowi masih layak digunakan. Oleh karena itu, AW 101 akan mubazir dan belum tepat kalau didatangkan.
Usulan AW-101 menggantikan Super Puma yang dinilai sudah uzur memang memunculkan polemik. Bahkan, kritikan sempat datang dari dalam negeri agar lebih baik TNI AU menggunakan helikopter buatan PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Argumen ini karena PT DI punya produk heli antipeluru yang bisa disetel untuk keperluan pengangkutan VVIP seperti kepresidenan. Selain itu, harga yang mahal menjadi alasan lain ditolaknya AW 101.
Ditolak untuk peran pengangkutan VVIP, pembelian AW 101 diubah sebagai helikopter angkut berat militer. Helikopter ini juga dianggap multifungsi untuk bencana dan SAR. Pengadaan AW 101 dengan perubahan fungsi pada 2016 ditangani TNI AU yang saat itu dipimpin Marsekal (Purn) Agus Supriatna.
Meski ditolak, tapi heli mewah rancangan Eropa Barat ini tetap tiba di Tanah Air. Namun, kedatangan satu unit AW 101 di Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma pada akhir Januari 2017 tak dianggap sebagai kekuatan alutsista TNI AU. Apalagi, baik Panglima TNI maupun Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu saat rapat kerja dengan Komisi I DPR sempat sama-sama bingung dengan munculnya satu unit AW 101.
"Heli datang pada akhir Januari, tetapi satu heli itu belum kami terima sebagai kekuatan AU, sehingga yang ada hanya satu versi militer yang speknya belum memenuhi fleksibilitas itu," kata KSAU, Marsekal Hadi Tjahjanto, di kantor KPK, Jumat 26 Mei 2017.
Hadi menceritakan, usai dilantik menggantikan Agus Supriatna, ia mengaku mendapat tugas khusus. Tugasnya yaitu mengawal proses investigasi sesuai instruksi dari Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Setelah ada hasil investigasi, Hadi atas nama KSAU melapor kepada Panglima TNI. Menindaklanjuti hasil investigasi, Panglima TNI kemudian langsung menggandeng PPATK, KPK, dan Polri.
Hasilnya, dari penyidikan, POM TNI menjerat tiga tersangka dari unsur TNI terkait kasus mark up pembelian AW-101 tersebut. Sementara itu, berkaitan dengan terduga yang berasal dari sipil, diserahkan kepada KPK penanganannya.
Dalam pengadaan AW 101, dana yang digunakan berasal dari APBN tahun 2016, dengan nilainya Rp738 miliar. Namun, diduga angka korupsinya mencapai Rp220 miliar.
Selanjutnya... Janji Panglima TNI
Janji Panglima TNI
Meski sudah ada tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembelian AW 101, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo berjanji akan transparan dalam mengungkap kasus ini. Hal ini yang menjadi alasan TNI menggandeng KPK.
Gatot menegaskan bersama KPK akan mengawasi kasus ini sampai selesai dan tak ada yang ditutupi. Pembagian dengan KPK ini yaitu unsur militer akan diadili di pengadilan militer. Sementara, dari swasta atau sipil akan diadili di pengadilan tipikor.
"Jangan khawatir, kalau kita tidak terbuka tidak mungkin saya kerja sama dengan KPK. Saya minta untuk mengawasi sampai selesai, tidak ada yang ditutupi. Ini adalah uang rakyat, harus tanggung jawab kepada rakyat. Hukum adalah panglima tertinggi bagi TNI," kata Gatot di kantor KPK, Jumat, 28 Mei 2017.
Prajurit TNI diingatkan bahwa peran TNI adalah menjaga dengan menguatkan negara. Bukan justru melemahkan negara dengan melakukan perilaku korupsi. Tindakan korupsi dalam pembelian AW 101 dapat merugikan negara.
Kemungkinan tersangka lain bertambah pun terbuka dalam kasus ini. Gatot kembali berharap agar prajurit TNI yang diduga terlibat untuk kooperatif dan berani bertanggung jawab menghadapi kasus ini.
“Dan saya sebagai Panglima TNI meminta kepada personel TNI kooperatif, jujur dan bertanggung jawab agar bisa diungkap secara profesional,” tuturnya.
Ketua KPK Agus Rahardjo dan Panglima TNI saat konferensi pers bersama.
Keseriusan TNI dalam mengungkap kasus heli AW 101 direspons positif KPK. Bagi Ketua KPK, Agus Rahardjo, keinginan TNI merupakan komitmen bersama yang sudah dilakukan sejak tiga bulan lebih.
"Ini komitmen dari panglima, sudah kerja sama lebih dari tiga bulan, penyelidikan dan pengumpulan data bersama, terkait pembelian heli AW 101," ujar Agus di KPK, Jumat, 26 Mei 2017.
Kerja sama antara KPK dengan TNI sebelumnya sudah terjalin di beberapa kasus dugaan korupsi seperti suap PT PAL dan Bakamla. "Kami sudah sepakat tersangka dari TNI akan dilakukan di peradilan militer, swasta di tipikor. Kerja sama kami berlanjut, dari sebelumnya soal PT PAL dan Bakamla," katanya.
Sinergi antara KPK dengan TNI diharapkan menjadi contoh ke depannya. Menurut anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, sinergi lembaga yang terbentur perbedaan sistem peradilan harus punya solusi. Langkah Panglima TNI dinilai positif untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Sinergi semacam ini memang sudah menjadi suatu keharusan yang perlu terus dibangun di negara. Alhamdulillah Panglima TNI mendorong sinergi semacam ini. Tentu ini sesuatu yang patut kita apresiasi," kata Arsul saat dihubungi VIVA.co.id, Minggu 28 Mei 2017.
Kendala sistem peradilan yang sering dikeluhkan yaitu militer semoga akan dijawab dalam persoalan ini. Sebagai legislatif, tentu, kata Arsul, DPR terutama Komisi III, akan mendukung agar proses hukum kasus ini lebih terbuka atau melalui peradilan koneksitas.
"Peradilan koneksitas merupakan proses peradilan di mana hakimnya terdiri dari hakim peradilan umum dan hakim peradilan militer. Terdakwanya yang diadili juga terdiri dari personal sipil dan militer. Dan JPU-nya juga merupakan tim yang terdiri dari jaksa pada kejaksaan, dengan jaksa dari oditurat militer," tuturnya.
Selanjutnya... Evaluasi Pembelian Alutsista
Evaluasi Pembelian Alutsista
Transparansi dalam pengadaan alutsista dinilai sangat penting. Poin ini harus menjadi prioritas agar bisa menjalankan prosedur dengan semestinya. Selain itu, dengan transparansi bisa mengurangi celah kerugian negara, baik dari sisi kualitas barang ataupun pendanaan.
"Transparansi dan akuntabilitas makanya menjadi penting. Di sini yang perlu ada pengikatan perjanjian saat pembelian. Ini berlaku untuk pengadaan pesawat harus jelas overwhole dan retrofit-nya," kata perempuan yang akrab disapa pengamat militer, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, kepada VIVA.co.id, Minggu, 28 Mei 2017.
Nuning menilai dalam pengadaan AW 101 dinilai ada kesalahan prosedur yang tak dijalani. Hal ini yang menjadi polemik sehingga tak ada satu suara dalam pengadaan alutsista.
Pembelian helikopter AW 101 diharapkan juga menjadi evaluasi ke depannya. Pihak TNI dan Kementerian Pertahanan diminta bisa lebih bisa menjalankan koordinasi dalam membeli alutsista.
Hal ini mengacu pembelian alutsista pesawat yang sebelumnya tak pernah bermasalah dalam periode pemerintahan yang berbeda. Menurut dia, jangan sampai ada saling lempar pernyataan yang justru membingungkan publik.
"Itu biar diselesaikan pihak pemerintah. Dalam rapat kerja, kami pernah menekan hal tersebut. Ini harus jadi evaluasi," tutur Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanudin.
Heli AW 101 yang saat ini diberi garis polisi
Ia mencontohkan proses pengadaan alutsista, harus menyesuaikan prosedur dari perencanaan sampai pembelian. Biasanya dalam setiap matra saat mengajukan alutsista maka akan dibawa ke Mabes TNI terlebih dulu. Jika sudah dipresentasikan ke Mabes dan disetujui maka selanjutnya mengajukan kepada Kementerian Pertahanan.
Dalam alutsista, setiap pembelian pasti Kementerian Pertahanan mengetahui datanya. Begitu pun termasuk pengadaan alutsista helikopter AW 101. Jika tak mengetahui pembelian alutsista yang menggunakan dana besar maka harus ada evaluasi dalam teknis prosedur.
"Kalau dari rangakaian pembelian alutsista seharusnya pihak TNI dan Kemhan itu saling mengetahui," ujar Hasanudin.
Terkait pembelian AW 101, diakuinya sudah menjadi pertanyaan sejak awal. Hal ini mengacu undang-undang tentang industri pertahanan yang mesti produk dalam negeri harus menjadi prioritas. Faktor ini menjadi perkecualian jika memang industri pertahanan di dalam negeri tak bisa membuatnya.
Sementara, yang ia ketahui masih ada produk seperti rancangan PT Dirgantara Indonesia yang bisa merancang heli sendiri.
"Nah, ini kan yang dari awal jadi sorotan. Tapi, itu ada kewenangan di TNI, bukan DPR," tuturnya. (one)