Suriah, Meniti Kematian dalam Diam

Ganasnya Serangan Senjata Kimia di Idlib Suriah
Sumber :
  • REUTERS/Ammar Abdullah

VIVA.co.id – Rekaman video yang menampilkan wajah seorang bocah laki-laki dengan kondisi megap-megap karena kesulitan bernafas beredar di media sosial. Mata bocah tersebut nanar, seperti memohon pertolongan, deraian air mengalir dari sudut matanya. Dadanya naik turun, dan mulutnya terus terbuka.

Kalimat pengantar di video tersebut mengatakan anak tersebut adalah bocah Suriah. Ia mengalami kesulitan bernapas setelah serangan kimia, yang diberitakan dilakukan rejim Bashar al Assaad, di kota Khan Sheikhoun di Provinsi Idlib, Suriah, pada Selasa, 4 April 2017. Video itu segera menjadi viral. Seluruh dunia mengutuk serangan kimia tersebut.

Diberitakan oleh CNN, 6 April 2017, reaksi serangan kimia di kota Khan Seikhoun terjadi tak lama setelah militer pendukung pemerintah Suriah melakukan serangan udara. Dampak serangan kimia itu, 70 orang tewas, dan 20 diantaranya adalah anak-anak. Belum ada kejelasan, bahan kimia apa yang ada dalam serangan tersebut. Tapi, menurut CNN, berdasarkan indikasi awal, kemungkinan bahan kimia yang digunakan adalah Sarin.

"Gejalanya adalah kulit pucat, berkeringat, mata mengecil, gangguan pernapasan sangat intens. Semua gejala tersebut cocok dengan efek terpapar Sarin," ujar seorang dokter di sebuah rumah sakit di Khan Seikhoun, seperti dikutip dari CNN. Dokter tersebut menolak namanya disebut dengan alasan keamanan.

Pemerintah Suriah menuai hujatan dari seluruh dunia. Semua orang percaya rejim Bashar al Assad berada dibalik serangan kimia tersebut. Dan ini bukan pertama kalinya pemerintah Suriah menuai tudingan menggunakan senjata kimia dalam menghadapi serangan pemberontak. Dikutip dari Fox News, 6 April 2017, pada Maret 2013, pemerintah Suriah dan kelompok pemberontak saling tuding atas terjadinya serangan kimia yang terjadi di kota Khan al-Assal di sebelah tenggara Suriah. Serangan itu menewaskan 26 orang termasuk sejumlah tentara pemerintah. Tim penyelidik dari PBB menyimpulkan adanya kimia Sarin yang terhirup.

Bulan Agustus tahun yang sama, ratusan orang di wilayah pemberontak di ibu kota Suriah juga menunjukkan gejala yang sama. Saat tim investigasi dari PBB datang mereka menemukan fakta, sejumlah rudal berisi Sarin sengaja ditembakkan pada tengah malam saat warga tidur. Pemerintah AS dan pemimpin dunia lainnya menyalahkan pemerintah Suriah, pihak yang menurut mereka paling mungkin memiliki bahan kimia tersebut.

Pemerintah Suriah menampik tuduhan menggunakan senjata kimia. Merekamengatakan, zat kimia itu muncul justru dari gudang milik kelompok pemberontak yang menjadi sasaran serangan militer. Ketika militer Suriah berhasil meluncurkan serangan di wilayah pemberontak dan menghancurkan gudang senjata mereka, saat itulah gas kimia itu meruak.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa langsung menggelar pertemuan darurat di Brussels, Belgia, satu hari berikutnya. Sementara itu, AS mengancam Rusia dan PBB soal serangan senjata kimia di Suriah yang menyebabkan banyak korban dari kalangan anak-anak.

Pertemuan darurat ini adalah hasil desakan Inggris dan Prancis. Sementara itu, Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley mengingatkan bahwa negaranya akan mengambil aksi sepihak apabila organisasi bangsa-bangsa di dunia itu gagal bertindak cepat.

"Kalau PBB terus-menerus gagal dalam melakukan tugasnya untuk bertindak kolektif, maka ada saat-saat di mana kita terpaksa untuk mengambil tindakan sendiri," kata Haley, seperti dikutip Aljazeera, Kamis, 6 April 2017.

Inggris, Prancis, dan AS telah mengajukan rancangan resolusi yang berisi tuntutan penuh untuk menyelidiki serangan tersebut. Ketiga negara menuding pemerintah Suriah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam serangan tak bermoral itu.

Namun, pembicaraan berakhir tanpa suara setelah Rusia, sekutu Presiden Suriah Bashar al-Assad, mengatakan rancangan resolusi tersebut sebagai "kategori yang tidak dapat diterima".

***

Konflik Suriah Tak Bertepi

Konflik Suriah sudah memasuki tahun keenam.  Diberitakan oleh BBC, 29 Maret 2017, konflik Suriah diawali dengan terjadinya unjuk rasa damai yang dimulai pada Februari 2017. Terpengaruh oleh Arab Springs, era di mana tuntutan keterbukaan politik dan globalisasi menguat, Suriah juga terkena imbasnya. Kepemimpinan turun temurun dari keluarga Bashar al-Assaad ingin disudahi oleh penentangnya. Meski Assaad memenangkan pemilu, namun penentangnya menolak hasil pemilu dan menolak Assaad.

Mereka melakukan unjuk rasa damai. Para pengunjuk rasa menolak dipimpin kembali oleh rejim keluarga Assaad, karena selain Muslim Syiah, mereka menganggap kepemimpinan Assad tidak sah, dan menganggap Assad adalah pemimpin yang zalim. Berhari-hari unjuk rasa damai itu terjadi hingga akhirnya pecah menjadi konflik. Militer pro pemerintah mulai melakukan tindakan represif dan memburu pemberontak.

Sejak itu tak ada lagi damai di Suriah. Rakyat Suriah mulai terpecah, antara pro pemberontak atau pro pemerintah. Intensitas kekerasan bahkan baku tembak makin sering terdengar. Perlahan warga mulai mengungsi dan menghindari daerah-daerah konflik.   Suriah dinyatakan dalam keadaan perang saudara oleh Palang Merah Internasional pada Juli 2012, atau selang sekitar 18 bulan sesudah pecahnya unjuk rasa damai pada bulan Februari 2011.

Sejak awal perang saudara hingga awal April 2017, sudah lebih dari 300 ribu orang tewas, termasuk perempuan dan anak-anak. Jumlah pengungsi mencapai lima juta orang.  Jumlah pengungsi tertinggi terjadi pada 2015, dimana sepanjang tahun tersebut tercatat satu juta warga Suriah memilih meninggalkan negaranya yang tak pernah selesai konflik.

Sebagian besar diantara pengungsi Suriah menuju ke Eropa. Mereka bertarung nyawa melalui jalur Laut Mediterania. Tak semuanya berakhir mulus. Tak semua negara Eropa bersedia membuka pintu bagi mereka. Sebagian lainnya mengakhiri perjalanan mereka di kamp-kamp pengungsi

Konflik yang Kompleks

Konflik di Suriah berkembang semakin kompleks setelah kelompok anti-pemerintah terpecah menjadi beberapa kelompok. Apalagi ketika kelompok Islamic State of Iraq and Syrian atau ISIS mendeklarasikan diri. Kelompok ini terkenal dengan keradikalan dan kesadisannya.

Tim Eaton, seorang ahli Timur Tengah dari lembaga penelitian Chatham House, mengatakan apa yang terjadi di Suriah bukan cuma satu peperangan. "Ini bukan cuma satu peperangan saja," katanya seperti diberitakan oleh BBC. "Perang yang berbeda-beda itu berkelindan satu sama lain di beberapa tempat dengan berbagai cara. Setiap kelompok bentrok dengan berbagai kelompok lain. Di beberapa tempat, rezim Bashar al Assad memerangi ISIS. Di beberapa tempat lain, pemberontak dan kelompok-kelompok bersenjata Kurdi memerangi ISIS," ujarnya.

"Kita tidak dapat melihat para pemberontak sebagai satu kelompok dengan satu sudut pandang, satu rantai komando dan satu pesan politik. Ada banyak kelompok. Beberapa di antaranya dianggap sebagai kelompok teror," ujarnya menjelaskan.

Pada dasarnya, tidak mungkin untuk menganggap suatu kelompok sebagai sepenuhnya baik dan menganggap kelompok lain sebagai sepenuhnya buruk. Tim Eaton  juga menyinggung keterlibatan negara lain dalam konflik Suriah. Ia berbicara tentang 'hitam, putih dan sejumlah wilayah abu-abu.'

"Ada kelompok pemberontak yang Barat tidak bisa mendukung, antara lain kelompok yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS. Dan kemudian di sisi lain, ada brigade Tentara Merdeka Suriah - yang merupakan mitra Barat dan dipercaya sebagai kelompok moderat," tuturnya.

"Di tengah, ada kelompok-kelompok Islam yang negara-negara Barat tidak tahu bagaimana cara menanganinya. Barat tidak nyaman, tetapi juga tidak bersedia menempatkan kelompok-kelompok ini dalam kotak yang sama dengan ISIS. Rusia akan menganggap kelompok-kelompok itu adalah teroris. Tetapi Barat tidak ingin menganggapnya begitu," katanya.

Arab Saudi, Amerika, dan sejumlah negara Eropa mendukung kelompok pemberontak anti-pemerintah. Namun tak semua kelompok mereka dukung. Bagi mereka rejim Assaad adalah rejim kejam yang bisa melakukan kekerasan pada warganya sendiri. Sementara di sisi Assaad adalah Rusia dan Iran. Dukungan kedua negara ini sangat penting bagi Assaad untuk terus mempertahankan kekuasaannya.

Bahkan hari ini, saat berita tentang penggunaan senjata kimia kembali ramai, Rusia dengan tegas tetap menyatakan dukungannya pada Assaad. Rusia percaya bahwa serangan kimia itu bukan dilakukan oleh pemerintah Suriah.

***

Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, seperti diberitakan oleh Al Arabiya, mengumumkan bahwa Rusia akan tetap melanjutkan operasi militernya untuk mendukung rezim Suriah dan Presiden Bashar al Assad. Peskov mengatakan bahwa ia juga terlibat dalam negosiasi. Rusia, ujar Peskov, akan mempertahankan pendapatnya saat Sidang Darurat Dewan Keamanan PBB, bahwa serangan kimia itu justru dilakukan oleh kelompok oposisi.

Seorang Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia di Moskow mengatakan, draft resolusi yang ditawarkan oleh PBB "tidak bisa diterima," dan dilandaskan oleh informasi yang salah. Rusia juga mengatakan, bahwa itu bisa semakin mengguncang stabilitas di wilayah tersebut.

Konflik Suriah yang kompleks begitu kabur. Tak ada yang tahu, kapan perang akan berakhir. Meski ratusan nyawa, termasuk nyawa anak-anak telah menjadi korban, ribuan lainnya mengalami luka, dan jutaan orang mengungsi, masa depan Suriah masih gelap.

Negara yang sebelumnya terkenal dengan berbagai kota kuno yang mewarisi bangunan indah berusia ratusan tahun kini mulai meniti kematiannya sendiri. Masa depan rakyat Suriah makin meredup, entah sampai kapan konfik ini tak berkesudahan, dan membiarkan Suriah meniti kematiannya sendiri, dalam diam. (umi)