Pengaruh Pilpres Timor Leste bagi RI

Warga Timor Leste antre menunggu giliran di sejumlah TPS, Senin, 20 Maret 2017.
Sumber :
  • REUTERS/Lirio da Fonseca

VIVA.co.id – Timor Leste, sebuah negara yang berlokasi di ujung Pulau Timor, kemarin, Senin 20 Maret 2017, menggelar pemilihan presiden. Ini adalah pilpres pertama sejak pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meninggalkan wilayah tersebut pada 2012.

Pemilu pertama tanpa pengawasan internasional ini mendapat sambutan dari rakyat Timor. Sejak pagi, mereka mendatangi lokasi-lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) dilakukan. Rakyat Timor bahkan rela mengantre dengan tertib agar bisa memberikan suara mereka.

Sejak Jumat, 18 Maret 2017, suasana menjelang pemilu sudah sangat terasa. Selain spanduk yang bertebaran, dukungan juga diberikan para pendukung dengan berbagai cara. Apalagi sejumlah warga masih terus melakukan konvoi keliling kota dengan menaiki mobil bak terbuka dan truk-truk besar untuk menyatakan dukungan pada kandidat mereka.

Ada delapan kandidat yang bersaing memperebutkan tahta pertama di negara mungil itu. Namun, Francisco "Lu-Olo" Guterres adalah kandidat terkuat yang diprediksi mampu memenangi kompetisi.

Ia mendapat dukungan dari Xanana Gusmao, mantan pejuang Timor Leste yang membuat negara tersebut lepas dari Indonesia. Gusmao juga menjadi presiden pertama dan perdana menteri keempat Timor Leste.  

Setelah mendapatkan dukungan dari Gusmao, maka jalan bagi Lu-Olo menjadi semakin terbuka. Mengikuti Gusmao, pemimpin Partai Fretilin dan mantan presiden dari parlemen nasional lalu memberi dukungan secara penuh pada Guterres.

Sejauh ini, Lu Olo, alias Guterres merasa berada di atas angin. "Saya yakin menang, tak akan ada putaran kedua," ujarnya, seperti diberitakan Reuters, 20 Maret 2017.

"Saya ingin mengubah kondisi masyarakat dalam segala aspek seperti dalam perawatan kesehatan, pendidikan, dan kehidupan ekonomi yang berkelanjutan," kata Guterres, setelah memberikan suaranya di Ibu kota Dili.

Sesuai aturan yang berlaku di Timor Leste, seorang kandidat presiden harus meraih 50 persen suara pemilih untuk menghindari pilpres tahap kedua. Jika tidak ada pemenang mutlak di putaran pertama, akan berlanjut pada tahap kedua yang akan digelar April.

Lawan terkuat Guterres adalah politisi Partai Demokrat Antonio da Coneicao. Ia mendapat dukungan dari partainya sendiri, serta dari Partai Pembebasan Rakyat (PLP) yang saat ini mendukung Presiden petahana Jose Maria de Vasconcelos.

Pemilu ini juga istimewa, karena ini untuk pertama kalinya warga Timor Leste yang tinggal di Australia dapat ikut serta memberikan suara. Selama 15 tahun merdeka dari Indonesia, warga Timor Leste yang berada di Australia tak pernah bisa ikut memilih, karena negara tersebut masih dalam pengawasan internasional.

Dulce Munn, seorang warga Timor Leste yang tinggal di Darwin, Australia, pada SBS.com.au, mengaku sangat bersemangat. "Saya sangat merasa emosional karena kami memiliki kesempatan memilih, karena ini adalah penantian yang sangat panjang bagi kami untuk memiliki hak memilih," ujarnya.

Selanjutnya, Warisan Berat

***

Warisan Berat dan Ancaman Kerusuhan

Siapa pun Presiden Timor Leste nanti, mereka akan mewarisi perjalanan berat karena krisis yang menjulang. Tingkat pengangguran di negara tersebut saat ini mencapai 60 persen. Mereka juga sempat dilanda konflik komunal.

Negara dengan penduduk 1,2 juta jiwa itu sangat mengandalkan keuntungan dari minyak, padahal ladang minyak utama yaitu Bayu-Udan, yang selama ini dioperasikan oleh Conoco Phillips sudah dikondisikan akan mengering pada lima tahun ke depan.

Ancaman kebangkrutan sudah membayang, jika pemerintah Timor Leste tak segera menyelesaikan sengketa dengan Australia soal ladang minyak The Greater Sunrise. Australia menahan pengembangan sumber minyak baru tersebut.

Padahal, ladang baru ini diperkirakan memiliki 5,1 triliun kubik gas dan 226 juta barel kondensat, nilainya diperkirakan mencapai US$40 miliar.

Pemilihan presiden Timor Leste kali ini juga menjadi pemilu pertama tanpa dukungan dari komunitas internasional. 

Muhammad Arif, peneliti kajian internasional dari The Habibie Centre mengatakan, memang ada kekhawatiran akan terjadinya konflik akibat pilpres. Namun, kekhawatiran itu tak terlalu besar mengingat para pemimpin politik masih bisa duduk bareng dan mencapai konsensus.

“Ini adalah pemilihan presiden pertama di Timor Leste tanpa pengawasan dan dukungan dari komunitas internasional. Maka banyak pihak yang khawatir akan pecah kerusuhan dan kekerasan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Senin, 20 Maret 2017.

Namun, Arif menambahkan, kemungkinan pecah kerusuhan itu masih bisa dicegah, karena adanya keinginan dari pemimpin politik di Timor Leste untuk duduk bersama dan berbicara untuk mencegah konflik. Apalagi, posisi presiden di Timor Leste tak lebih strategis dari perdana menteri.

“Pilpres itu sebenarnya tak sepenting pemilihan parlemen nanti. Presiden Timor Leste adalah pemimpin negara, sedangkan perdana menteri adalah pemimpin pemerintahan. Jadi, kekuasaan presiden tak sebesar perdana menteri,” ujar Arif.  

Arif juga menilai, kesempatan Guterres untuk menang sangat besar. Apalagi, dia mendapat dukungan dari Xanana.

“Dukungan dari Xanana sangat penting. Sebab hingga saat ini, Xanana masih dianggap sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di Timor Leste. Selain itu, Guterres seorang yang ambil bagian dalam perjuangan pembebasan negara tersebut dari Indonesia dan dekat dengan Xanana,” ujar Arif.

Selanjutnya, Pengaruh bagi Indonesia

***

Indonesia dan Pilpres Timor Leste

Bagi Arif, hal terpenting dari pemilihan presiden Timor Leste bagi Indonesia adalah kelanjutan pembahasan wilayah. Tapi, Arif meyakini, siapa pun yang akan menjadi presiden nanti, pembahasan soal batas wilayah pasti akan dilanjutkan. Karena, pembicaraan soal penetapan batas wilayah itu akan terkait juga dengan masa depan Timor Leste.

Pendapat Arif  juga senada dengan Melda Kamil, pengamat internasional dari Universitas Indonesia. Menurut Melda, pemilihan presiden Timor Leste sudah pasti akan memberi dampak bagi Indonesia.

“Timor Leste adalah negara tetangga Indonesia, di mana dua negara berbatasan tidak hanya di darat tetapi juga di laut,” ujar Melda melalui pesan singkat kepada VIVA.co.id, Senin, 20 Maret 2017.

Semua kebijakan yang diambilnya, termasuk dengan negara mana mereka akan berafiliasi akan memengaruhi Indonesia, karena akan berdampak pada hubungan kedua negara.

Melda menegaskan, masalah penanganan sumber daya laut menjadi perhatian bagi kedua negara, terutama di Arafura Sea. Itu sebabnya Indonesia dan Timor Leste menjadi anggota dalam kerja sama ATSEA yang bertujuan mengatur pemanfaatan yang bertanggung jawab di Laut Arafura dan Laut Timor. 

Kerja sama tidak hanya dari segi sumber daya alam, tapi juga kepentingan sumber daya manusianya.

“Kita tentu berharap agar Timor Leste dapat terus bekerja sama secara positif dengan Indonesia dalam menjaga sumber daya laut yang tergolong shared resources,” dia menambahkan.

Bagaimana pun, pemilihan presiden di Timor Leste masih menjadi perhatian Indonesia. Timor Leste pernah menjadi bagian dari Indonesia dan menjadi provinsi termuda di Indonesia.

Meski akhirnya wilayah itu memilih berpisah dari Indonesia setelah melalui referendum pada 2002, keterikatan emosional masih tersisa. (art)